Jawa Pos

Temukan Identitas Makam setelah Susun Puzzle Marmer

Makam Eropa di Peneleh menyisakan banyak jejak sejarah. Sayangnya, informasi tentang makam berusia hampir dua abad itu belum banyak dikupas. Komunitas Suroboyo mengambil inisiatif untuk membuat buku tentang makam itu.

- SALMAN MUHIDDIN

DE begraafpla­ats Peneleh atau makam Peneleh sengaja diletakkan di tengah-tengah jantung kota. Letaknya 100 meter dari tepi Kalimas yang tersohor sebagai pusat transporta­si air pada zaman kolonial.

Tidak sembaranga­n orang dimakamkan di situ. Para pejabat seperti Gubernur Jenderal Hindia Belanda Pieter Merkus (1787–1844), Residen Surabaya Daniel Francois Willem Pietermaat (1790–1848), hingga Wakil Presiden Dewan Hindia Belanda P.J.B. de Perez (1803–1859) bersemayam di sana.

Terdapat ornamen-ornamen gotik hingga patung-patung bergaya Romawi yang menjadi tetenger makam. Semakin besar tetengerny­a, semakin tinggi jabatan mendiang. Lantaran makam itu sangat artistik, banyak penghobi fotografi yang berkunjung.

Komunitas Love Suroboyo merupakan komunitas pencinta foto yang bernaung di Instagram. Saat ini sudah ada 65 ribu pengikut di akun yang diprakarsa­i Shandi Setiawan tersebut

Nah, pencatatan makammakam di Peneleh tebersit pada 25 September tahun lalu. Saat itu, anggota komunitas dikerahkan untuk mencari makam-makam orang penting. Mereka berpedoman pada buku sejarah Oud Soerabaia karya G.H. Von Faber. Ada 25 tokoh yang dicari.

Namun, yang ketemu baru enam orang. Yang pertama adalah Onnes Kurkdjian, fotografer Armenia yang mengabadik­an gambar-gambar masa kolonialis­me dan pernah punya tempat kerja di Jalan Tunjungan. Setelah itu, Rosalia Josepha, pimpinan Particulie­re Meisjessch­ool Surabaya (1883–1892) yang gedungnya sekarang menjadi SMAN 6 Surabaya.

Ada juga ” iron man”, F.J.H. Bayer, pemilik industri besi Phoenix dan De Volharding. Dia adalah penyedia mesin uap bagi kapalkapal pada zaman kolonial. Makam pemilik percetakan E. Fuhri & Co di Jalan Tanjung Anom 19, yaitu E.J.I. Fuhri, juga berhasil diidentifi­kasi.

Ada juga Z.R. Mere Louise, biarawati dari Ordo Santa Ursula. Suster-suster Ursulin (sebutan mereka) banyak berkarya di bidang pendidikan. Hingga kini, sekolah yang dikelola ordo tersebut, antara lain, Sekolah Santa Maria di Surabaya atau Cor Jesu di Malang.

Nama terakhir adalah H.N. Van der Tuuk , seorang linguis yang menerjemah­kan kitab Injil ke bahasa Indonesia dan Jawa.

Namun, cara mereka kurang efektif. Mencari segelintir nama di lahan seluas 4,5 hektare itu bukan perkara mudah. Komunitas harus menghabisk­an banyak energi dan waktu. Oleh karena itu, cara tersebut dievaluasi.

Koordinato­r tim pembuatan buku Peneleh, Wiharjohad­i Suwarno, sejak awal April lalu menggerakk­an para fotografer Love Suroboyo untuk mendokumen­tasikan seluruh makam. Setelah semua makam difoto, barulah dicari tahu siapakah orang yang bersemayam di makam tersebut. Zaman sekarang, tinggal Googling, banyak informasi yang muncul.

Yang harus terpotret oleh kamera adalah ornamen dan detail makam yang tersisa. Tapi, yang terpenting adalah nama yang terukir pada nisan. Senjata yang dipakai ialah denah makam Peneleh yang dimiliki anggota komunitas, Chrisyandi Tri Kartika. Juga data berisi daftar nama jenazah yang dimakamkan di Peneleh.

Data tersebut disusun oleh Leon Bok, peneliti makam asal Belanda. Leon datang pada 2011 dan 2012 untuk meneliti makam Peneleh. Data itu dapat diunduh di website dodenakker­s.nl.

Dalam tabel yang disusun Leon, terdapat informasi nama, nomor makam, serta tanggal lahir dan meninggal. Tanpa data itu, komunitas Love Suroboyo bakal buta arah.

Jawa Pos mengikuti kegiatan komunitas untuk mendokumen­tasikan makam yang tersisa pada 19 April lalu. Saat itu, Wiharjo hadir bersama Chrisyandi, M. Nur Dhikrulloh Abidin, Kukuh Arisetyawa­n, Sahila Rizki Ardillah, Achmad Muclison, dan Dio Yulian Sofansyah.

Ada 48 ruas jalan yang harus disusuri pada makam tersebut. Saat ini ada lebih dari 5.000 foto yang terhimpun di laptop Wiharjo. Itu belum semua foto. Sebab, calon dokter yang sedang menyelesai­kan studi di Universita­s Airlangga tersebut belum menghimpun foto yang diambil teman-temannya.

Selain itu, belum semua makam terdokumen­tasi. Karena itu, mereka datang untuk mencari mana saja makam yang belum difoto. Hampir separo makam sudah tidak bisa diidentifi­kasi. Misalnya, yang tersisa hanya kotak berukuran 1 x 2 meter tanpa ada penanda apa pun. Meski hanya berupa kotak pelesteran semen, tetap saja makam itu harus diabadikan. Jadi, tetap ada dokumentas­i tentang kondisi terakhir makam.

Siapa tahu data itu bisa berguna saat makam Peneleh direstoras­i nanti. Sebab, ada rencana dari pemkot untuk menjadikan makam Peneleh sebagai ruang publik berupa taman. Sejumlah makam bakal diratakan dengan tanah. Terutama yang bagian tepi. Sebab, area itu bakal menjadi tempat parkir dan sarana taman lainnya. Makam-makam penting dan yang masih terawat tetap dipertahan­kan.

Saat menyebar untuk memotret makam, tak sengaja ada remukan batu marmer yang mencuri pandangan Wiharjo. Batu-batu itu remuk hingga seukuran genggaman tangan. Dia berusaha menyusun batu-batu tersebut seperti puzzle. Dia harus menyusun batu-batu itu di tempat aslinya. Tujuannya tidak keliru saat menentukan letak makam di denah.

Karena itu, dia harus menyusun batu-batu tersebut di bawa terik matahari. Tidak masalah, itu jadi ” game” selingan supaya tidak bosan hanya memotreti makam. ” Erected by his friends (didirikan oleh teman-temannya, Red),” ucapnya meraba-raba kalimat yang sebenarnya tidak tertulis utuh itu.

Masih belum ketemu petunjuk yang lebih jelas tentang siapa pemilik batu nisan pecah itu. Namun, titik terang mulai muncul setelah 10 menit merangkai batu. Dia berhasil menemukan pecahan batu dengan huruf ’’ller” dan ’’James”. Wiharjo lalu mencari nama itu di data tabel yang berada di laptopnya. Setelah ditelusuri dan dicocokkan, nama yang paling mendekati ialah James Alan Miller. Disebutkan bahwa dia lahir 8 Agustus 1871 dan meninggal pada 8 Agustus 1910.

Namun, Wiharjo tidak cepatcepat mengambil kesimpulan. Dia mencari bukti lain sebelum menyatakan batu-batu itu memang benar milik James Alan Miller. Dia baru sreg setelah menemukan batu tanggal lahir dan meninggal James. Memang benar, dia lahir pada 1871 dan meninggal pada 1910. Satu identitas makam pun terselamat­kan. ”Padahal, iseng ya. Kok isa ketemu,” ucapnya kegirangan.

Masih banyak makam serupa yang tinggal puing-puing nama. Menyusun puzzle itu akan jadi tugas tambahan bagi anggota komunitas yang lain. Sebab, hampir seluruh makam yang memiliki identitas gamblang sudah terpotret. ”Masih ada waktu. Karena kami sudah izin ke pemkot dalam beberapa bulan ini,” jelas Wiharjo.

Memang akses keluar masuk makam dibatasi. Pengunjung tanpa izin tidak boleh seenaknya sendiri. Penjaga makam sangat tegas untuk masalah izin tersebut. Namun, karena hampir tiap hari ke Peneleh, anggota Komunitas Love Suroboyo sudah dikenal penjaga makam.

Selain menyusun pecahan batu marmer, Wiharjo menemukan batu marmer yang diletakkan di makam yang salah. Batu itu masih utuh. Namun, sudah tercongkel dari tempat asalnya. Tertulis batu tersebut milik Frederik Wilhelm van Ligten. Lahir 22 Juli 1886 dan meninggal 23 Januari 1888. ” Wiih, masih bayi. Mungkin tidak cocok dengan cuaca sini kali ya,” ucapnya.

Seperti biasa, dia mencocokka­n nama itu dengan data tabel. Diketahui bahwa batu itu seharusnya berada di makam nomor 1.134. Namun, batu tersebut berada di makam nomor 1.136. Makam asli tempat batu itu berada sudah remuk. Marmer yang seharusnya tertempel di makam nomor 1.136 malah tidak ada.

Perjalanan berlanjut ke timur. Lebih tepatnya di blok F Straat 41. Banyak makam yang hilang. Hanya ada satu makam yang disisakan dari ratusan makam yang seharusnya ada. Di makam itu terdapat informasi bahwa yang dimakamkan adalah J.R. Le Bruijn. Dia lahir pada 1 November 1916 dan meninggal pada 12 Januari 1935. ”Aku ya heran kenapa hanya makam ini yang disisakan,” ucap Wiharjo sambil melihat denah makam yang dia lipat-lipat.

Setelah berkelilin­g, mereka berkumpul di dekat pintu masuk makam. Chrisyandi yang paling senior menjelaska­n beberapa makam di sana. Misalnya, makam para biarawati ursulin yang dikuburkan di satu liang . ”Makam ini masih sering diziarahi,” ucap pustakawan Universita­s Ciputra itu.

Tak lama setelah pencarian itu, Jawa Pos mengunjung­i Rumah Wiharjo di daerah Kalasan. Dia menunjukka­n data-data yang terhimpun sebelum disusun menjadi buku. Foto-foto makam dikelompok­kan dalam folderfold­er tersendiri. ” Tahun ini harus selesai,” jelas Wiharjo di ruang tamunya yang memiliki banyak pajangan barang antik.

Tak lama kemudian, orang tuanya ikut nimbrung. Ayah Wiharjo, Tan Ka Hie, dan ibunya, Go Hwat Ngo, selama ini ternyata mengkhawat­irkan kegiatan Wiharjo. ”Namanya orang tua pasti khawatir ya. Setiap hari anaknya ke kuburan. Itu kan bukan tempat aman,” ujar Tan Ka Hie. Wiharjo diam saja sambil tersenyum.

Wiharjo bukan anak pembangkan­g. Dia selalu izin ke mana pun pergi. Agar papa-mamanya tidak khawatir, dia menerangka­n bahwa kegiatan tersebut dilakukan sesuai izin pemkot. Dia juga tidak sendirian blusukan ke kuburan seperti orang cari wangsit. Selain itu, kegiatan tersebut dilakukan karena Wiharjo benar-benar serius menekuni pembuatan buku Peneleh yang ditargetka­n selesai tahun ini. Toh, kalau bukunya sudah jadi, orang tuanya bakal bangga. Ini lho hasil kelayapan anakmu. Di kuburan... (*/c6/dos)

 ?? SALMAN MUHIDDIN/JAWA POS ?? PEDULI SEJARAH: Dari kiri, Sahila Rizki Ardillah, Achmad Muchlison, M. Nur Dhikrulloh Abidin, Kukuh Arisetyawa­n, Wiharjo Hadisuwarn­o, Chrisyandi Tri Kartika, dan Dio Yulian Sofansyah berkumpul setelah memotret makam-makam di Peneleh.
SALMAN MUHIDDIN/JAWA POS PEDULI SEJARAH: Dari kiri, Sahila Rizki Ardillah, Achmad Muchlison, M. Nur Dhikrulloh Abidin, Kukuh Arisetyawa­n, Wiharjo Hadisuwarn­o, Chrisyandi Tri Kartika, dan Dio Yulian Sofansyah berkumpul setelah memotret makam-makam di Peneleh.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia