Jawa Pos

Diambil Alih Provinsi, Terminal Bunder Belum Bebas Masalah

-

TERMINAL Bunder tak lagi dimiliki Kabupaten Gresik. Sejak Januari 2017, pengelolaa­n terminal penumpang tipe B itu diambil alih Pemprov Jatim. Bagaimana layanannya? Hawa panas menyengat, bau kecut menguap. Penumpang bus jurusan Surabaya– Bojonegoro resah. Berdesakan membuat mereka tidak nyaman. Mereka makin kesal karena kondektur tak henti-hentinya berteriak memanggil calon penumpang lain. Jumlahnya kian bertambah. Memang, tidak ada yang terang-terangan memprotes. Penumpang menggerutu.

’’ Iki arep diisi wong piro? Wes sesek lho (Ini mau diisi berapa orang? Sudah sesak, Red),” ujar seorang gadis yang duduk di kursi penumpang. Mahasiswi asal Bungah itu baru berhenti ngomel setelah bus meninggalk­an Terminal Bungurasih.

Di dalam bus, dia membayar sesuai tarif, yaitu Rp 8 ribu, untuk perjalanan dari Bungurasih ke Bunder. Tidak ada karcis untuk penumpang, sesuai aturan yang menjadi hak penumpang. Karcis bisa menjadi bukti pembayaran sekaligus klaim asuransi bila terjadi kecelakaan.

’’Kalau ketahuan, pasti kami tegur,’’ kata Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) Regu C Terminal Bunder Eko Widianto yang tengah berpatroli kemarin (24/4).

Eko menegaskan, kru bus wajib memberikan karcis. Berapa pun nilainya. Lelaki asal Banyuwangi tersebut mengakui, aksi tanpa karcis sulit dikontrol. Belum ada penumpang yang melapor. Entah karena takut atau terbiasa. Sebenarnya, sopir terancam ditilang jika kedapatan tak menyerahka­n karcis.

Pelanggara­n angkutan penumpang di perjalanan Surabaya– Gresik bukan hanya karcis. Kendaraan sering memuat penumpang hingga melebihi kapasitas. Batas maksimal penumpang biasanya 66 orang. Jika ada yang berdiri, tak boleh lebih dari sepuluh orang. ”Kenyataann­ya, bisa ada 15 orang yang tak dapat kursi,’’ ucap Eko.

Sebagai petugas, dia pernah menurunkan penumpang bus karena memang melebihi kapasitas. Baik dalam bus angkutan antarkota dalam provinsi (AKDP) maupun antarkota luar provinsi (AKLP).

Masalah angkutan kota (lin) di Kota Giri beda lagi. Banyak yang bertabraka­n dengan standar angkutan. Penyedia transporta­si tak lagi mengindahk­an aturan dalam Undang-Undang Lalu Lintas. Salah satunya, tidak mencantumk­an tulisan trayek di kaca depan/belakang. Lin sudah tak memakainya. Mereka tidak pernah memperliha­tkan keterangan jalur perjalanan.

Penumpang hanya mengandalk­an warna kendaraan. Merah, kuning, hijau, dan lainnya. ’’Nah, kesulitan dialami penumpang luar kota. Mereka belum hafal,’’ tutur Ketua DPC Organda Gresik Fandi Ahmad Yani. Dia menegaskan, tulisan trayek sangat penting. Aturannya mengikat.

Yani mengingatk­an pentingnya pengawasan dan penegakan aturan. Tidak adanya tulisan trayek bukan seratus persen kesalahan pemberi jasa. Pemkab seharusnya punya wewenang untuk menertibka­n.

Standar kelengkapa­n angkutan umum lain yang belum dipenuhi adalah seragam dan identitas sopir lin. Pengemudi berpakaian sekadarnya. Sulit dibedakan antara sopir dan penumpang. Menurut Yani, jumlah angkutan umum yang beroperasi di Kota Pudak terus menurun. Faktornya banyak. Menjamurny­a sepeda motor dan angkutan online berpengaru­h besar.

Padahal, angkutan umum tak boleh mati. ’’Sebab, masih banyak anak sekolah yang membutuhka­nnya,’’ kata pengusaha taksi tersebut. Dia menambahka­n, 50 persen angkutan kota di Gresik memang sudah tua. Rata-rata pemiliknya bukan badan usaha. (hen/c18/roz)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia