Menagih Nawacita Perburuhan
PADA hari peringatan Hari Buruh ini, dapat kita jadikan sebagai momen untuk membantu mengingatkan Presiden Jokowi terhadap visi-misi ketika mencalonkan diri sebagai presiden, yang terkenal dengan sebutan Nawacita, yang saat ini sudah memerintah lebih dari separo masa jabatan sebagai presiden.
Dalam Nawacita tersebut, terdapat beberapa hal yang terkait dengan visi dan misinya di bidang perburuhan. Pada cita ketujuh yang akan mewujudkan kemandirian ekonomi, dengan program aksi yang akan membangun pemberdayaan buruh. Dengan Nawacita pula negara berjanji akan hadir dalam membangun tata kelola pemerintah yang bersih, sehingga jika terjadi ketidakadilan bagi buruh tentu negara tidak akan absen untuk menghapuskan segala ketidakadilan tersebut.
Namun, pemerintah belum memberdayakan buruh dalam kerangka mewujudkan kemandirian ekonomi belum secara konkret. Alih-alih memberdayakan buruh (negeri sendiri), malah pemerintah melonggarkan penggunaan tenaga kerja asing (TKA). Hal ini terbukti pada dua hal, yakni aspek regulasi dan aspek supervisi. Pada aspek regulasi, pelonggaran masuknya TKA ke Indonesia dengan diterbitkannya Permenaker No 35 Tahun 2015 ten- tang Perubahan Permenaker No 15 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan TKA. Pada aspek supervisi, pemerintah tidak secara optimal melakukan pengawasan terhadap praktik penggunaan TKA ilegal.
Pelonggaran penggunaan TKA dalam Permenaker 35 tersebut, antara lain, pertama, menghapuskan ketentuan mengenai kewajiban perusahaanmerekrut10pekerjalokal jika perusahaan mempekerjakan satu orang TKA. Kedua, menghapus aturan kewajiban bagi TKA untuk dapat berbahasa Indonesia, sehingga tenaga kerja asing kini lebih leluasa untuk berkarir di Indonesia.
Pada sisi lain, dalam visi-misinya pada agenda ekonomi berdikari, ditegaskan bahwa sebagai salah satu komitmen untuk membangun pemberdayaan buruh akan dilakukan penambahan iuran BPJS Kesehatan yang berasal dari APBN dan APBD perlu dilakukan. Namun, alih-alih pemerintah meningkatkan pemberdayaan buruh, malah tahun lalu melalui Perpres No 28 Tahun 2016 justru menaikkan iuran BPJS, yakni besaran iuran kelas I yang semula Rp 59.500 naik menjadi Rp 80 ribu. Iuran kelas II yang semula Rp 42.500 naik menjadi Rp 51 ribu dan iuran kelas III yang semula Rp 25.500 menjadi Rp 30 ribu. Iuran BPJS boleh saja dinaikkan, tapi harus terlebih dahulu diperbaiki tata kelola organisasi BPJS beserta layanan-layanannya.
Dalam Nawacita pula tercantum, Jokowi berjanji akan melakukan pelarangan kebijakan alih tenaga kerja di BUMN. Sampai saat ini belum satu kebijakan pun yang telah dikeluarkan pemerintah untuk melakukan pelarangan kebijakan outsourcing pekerja di BUMN, bahkan upaya untuk meminimalisasi saja belum dilakukan. Demikian pula dalam pelaksanaannya, BUMN masih nyaman dengan penggunaan outsourcing pekerja dan bahkan tidak sedikit BUMN yang menerapkan konstruksi hukum outsourcing yang melanggar UU Ketenagakerjaan.
BUMN sebagai salah satu garda depan pelaku perekonomian negara semestinya memelopori keteladanan dalam berbagai aspek, termasuk keteladanan untuk menghargai pekerjanya dengan tidak menggunakan outsourcing buruh yang melanggar ketentuan. Alih-alih menjadi pelopor keteladanan, malah banyak BUMN yang menyengsarakan rakyat sebagai pekerjanya, padahal dari pajak rakyatlah BUMN ini bisa ada dan hidup dalam percaturan usaha perekonomian. Bahkan, terdapat suatu BUMN yang ditindak tegas oleh pengawas ketenagakerjaan karena menyalahgunakan outsourcing buruh justru dibela oleh lembaga pemerintah itu sendiri.
Dalam Nawacita, juga dijanjikan adanya UU mengenai sistem pengupahan dan perlindungan upah. UU Pengupahan ini pun sampai sekarang tidak pernah terwujud dan bahkan tidak masuk Prolegnas Tahun 2017 ini. Cita-cita untuk mewujudkan UU Pengupahan ini sejalan dengan tema-tema kampanye saat itu, yaitu upah layak, kerja layak, dan hidup layak. Namun, tema kampanye dan Nawacita tersebut sampai saat ini belum terlihat implementasinya. Memang pemerintah telah mengeluarkan PP No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, namun dalam PP 78 ini tidak ada upaya yang progresif dari pemerintah untuk melayakkan upah buruh. PP 78 malah mematok kenaikan upah minimum dengan patokan rumus upah minimum adalah upah minimum tahun berjalan ditambah dengan hasil perkalian antara upah minimum tahun ber- jalan dengan penjumlahan tingkat inflasi nasional tahun berjalan dan tingkat pertumbuhan produk domestik bruto tahun berjalan.
Penentuan upah minimum dengan rumus (formula) tersebut berarti mengabaikan fungsi dewan pengupahan, padahal UU Ketenagakerjaan secara tegas menentukan dalam pasal 89 ayat (3) bahwa upah minimum ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dewan pengupahan provinsi. Dengan demikian, PP 78 tersebut mematisurikan lembaga dewan pengupahan, baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota.
Masa kerja Presiden Jokowi masih cukup untuk merealisasikan citacita luhur tentang buruh yang sejahtera dan berkeadilan yang termaktub dalam visi-misi yang dikenal dengan Nawacita tersebut. Sehingga, kita sebagai komponen bangsa ini memiliki kewajiban untuk membantu mengingatkan Presiden Jokowi yang tentu memiliki beban yang sangat luar biasa berat dalam menakhodai bangsa dan negara ini. Selamat Hari Buruh. (*) *Dosen hukum perburuhan FH Unair dan pernah diundang menguji disertasi S-3 doktor hukum perburuhan di Universitas Leiden, Belanda