Perlawanan Kasus E-KTP
KEPUTUSAN paripurna DPR untuk menggulirkan hak angket terkait dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menuai kritik. Kewenangan besar yang dimiliki angket DPR dikhawatirkan tereduksi oleh kepentingan politik elite-elite yang mengendalikan usulan tersebut.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai, relasi antara DPR dan KPK selama ini tidak pernah jauh dari ketegangan. Faktanya, DPR saat ini menjadi lembaga negara yang sering menyumbang anggota dewan menjadi tersangka di KPK. ’’Fakta bahwa DPR secara konsisten menyumbang daftar koruptor berdampak pada tingkat ketidaknyamanan DPR yang seolah-olah terteror oleh pemberantasan korupsi KPK,’’ kata Lucius.
Menurut dia, hak angket KPK adalah upaya kali kesekian dari DPR dalam menggerus kewenangan KPK. Sebagaimana diketahui, beberapa kali DPR menggulirkan revisi UU KPK, tetapi akhirnya gagal dengan derasnya penolakan publik. ’’Berbagai usaha DPR dilakukan dengan harapan terbebas dari penegakan hukum KPK,’’ ujar Lucius.
Dia mengingatkan, selain angket, upaya paling baru adalah rencana DPR mengirimkan nota protes kepada presiden tentang penetapan status cekal Setya Novanto. Hak angket yang digulirkan saat ini adalah meminta KPK membuka rekaman BAP Miryam S. Haryani yang konon berisi daftar nama anggota DPR yang mengintimidasi Maryam dalam kasus korupsi e-KTP.
Dari sejumlah upaya di atas, tampak bahwa hak angket terhadap KPK yang dimotori komisi III tetap berada dalam konteks ’’ketakutan’’ DPR atas upaya KPK yang saat ini berjuang membongkar megakorupsi e-KTP. Diduga, sejumlah anggota DPR masuk dalam daftar orang yang terlibat menikmati dana haram e-KTP. (bay/c14/agm)