Jokowi, Mega, dan Krisis Korea A
YO, move on. Tantangan Indonesia tak hanya persoalan domestik. Kini datang ancaman yang bisa menjadikan wajah dunia berubah drastis: krisis di Semenanjung Korea. Menyadari bahayanya, Presiden Joko Widodo pun telah memanfaatkan forum KTT ASEAN untuk mengupayakan peredaan ketegangan. Selain Jokowi, Presiden Filipina Rodrigo Duterte juga menyuarakan kecemasan. Bahkan, undangan Trump untuk Duterte, menurut juru bicara Gedung Putih, lebih banyak karena persoalan Korea itu.
Krisis tersebut terancam meluas setelah Korea Utara (Korut) mengancam ’’menghukum’’ Israel. Menteri Pertahanan Israel Avigdor Lieberman memang menyebut pemimpin Korut Kim Jong-un sebagai ’’orang gila’’. Dan, menuduhnya punya aliansi dengan Syria, Iran, dan Hizbullah (musuh Israel). Korut membalas dengan menyebut komentar itu kasar dan jahat, sembari menyebut Israel melakukan kejahatan kemanusiaan kepada Palestina dengan lindungan AS.
Terkait amanah konstitusi mewujudkan perdamaian dunia, Jokowi pantas menyeriusi persoalan Korea itu. Pantas kiranya Jokowi menengok kedekatan Korut (dan Korsel) dengan Megawati Soekarnoputri. Presiden kelima RI tersebut tercatat punya hubungan akrab dengan pemimpin Korut. Mega mulai akrab dengan Korut sejak diajak ayahandanya, Bung Karno, berkunjung ke Pyongyang pada 1964, memenuhi undangan Kim Il-sung, pemimpin besar Korut.
Tercatat tiga kali lagi Mega berkunjung ke Korut. Termasuk saat menjadi presiden pada 2002. Mega disambut hangat Kim Jong-il, putra penerus Kim Il-sung. Mega juga menapaktilasi lawatan Bung Karno pada 2008 dan berkunjung sebagai ketua partai pada 2011. Sebenarnya tahun lalu Mega juga dikabarkan diundang Kim Jong-un, putra Jong-il dan cucu Il-sung. Namun, lawatan itu belum sempat terlaksana.
Mega pernah menyatakan siap menjembatani kedua Korea untuk reunifikasi. Untuk itu, Jokowi layak menyambut kesiapan Mega tersebut. Yakni, menjadikan Indonesia sebagai honest broker (perantara yang jujur) untuk menyudahi ketegangan yang berisiko ke perang nuklir itu. Apalagi, Mega juga punya kesejarahan manis dengan Korsel. Di antaranya, memperoleh doktor honoris causa dari universitas di Busan.
Indonesia perlu melunakkan sikap para pemimpin yang berseteru. Kim Jong-un jelas orang yang sulit ditebak dan gampang mengeluarkan retorika agresif. Dulu, pemimpin dunia, terutama Amerika Serikat, mengambil sikap strategic patience (kesabaran strategis) ketimbang menanggapi retorika kompor untuk perang. Kini, kebijakan sing waras ngalah itu ditinggalkan Trump. Duh, kegilaan ditanggapi kegilaan, dunia bisa ’’kiamat’’ nuklir. (*)