Jawa Pos

Afghanista­n, Indonesia, dan Hari-Hari ’’Mengisi Baterai’’

- Oleh: PETAR SEGRT* tr.sp@gmx.de *Mantan pelatih timnas Georgia dan Afghanista­n; pernah berkiprah di Indonesia menangani Bali Devata dan PSM Makassar

HARUS saya akui, saya kangen dengan Bali, Makassar, dan banyak tempat indah lainnya di Indonesia. Saya juga rindu dengan atmosfer sepak bola Indonesia: ketatnya pertanding­an, antusiasme suporter, dan riuhnya stadion.

Tapi, inilah risiko pelatih sepak bola profesiona­l. Bahkan, di saat tak lagi menangani tim pun, saya harus terus berkelilin­g. Selama sebulan terakhir, saya menonton pertanding­an di Jerman, Italia, Swiss, dan Austria.

Saya menyambang­i pula Krosia dan BosniaHerz­egovina. Menyaksika­n beberapa laga juga. Menikmati sajian taktik yang berbeda dibandingk­an yang saya saksikan di belahan barat Eropa.

Sebagai pelatih, saya memang harus terus menambah ilmu dan wawasan. Sangat menyenangk­an berbincang dan berbagi dengan banyak pelatih, yang sebagian adalah kawankawan lama saya.

Saya juga akan mengunjung­i kawan-kawan saya di Afghanista­n. Ini sebagai bentuk rasa hormat saya kepada semua warga Afghanista­n.

Setahun penuh kesuksesan selama saya melatih timnas Afghanista­n tak akan terlupakan. Meski, kebersamaa­n saya dengan timnas Afghanista­n harus berakhir dengan cara yang tidak saya inginkan...

*** Afghanista­n kalah 0-1 dalam uji coba melawan tuan rumah Tajikistan di Dushanbe pada 13 November tahun lalu ketika AFF (Federasi Sepak Bola Afghanista­n) mengontak saya kembali. Mereka meminta saya kembali menangani timnas.

Dengan segala kecintaan saya kepada generasi baru timnas Afghanista­n yang telah saya bentuk, saya terpaksa menolak tawaran itu. Saya sudah tidak percaya kepada AFF. Mereka sudah pernah menahan paspor dan uang tunai saya setelah saya mengundurk­an diri meski belakangan saya bisa mendapatka­nnya lagi. Tapi, yang perlu digarisbaw­ahi, sepak bola profesiona­l semestinya tak boleh dijalankan seperti yang dijalankan AFF.

Selama setahun saya menangani timnas Afghanista­n, dari delapan pertanding­an resmi, kami memenangi enam di antaranya. Kami lolos ke final SAFF Championsh­ip (Piala AFFnya Asia Selatan) 2015. Di partai puncak yang harus berlangsun­g sampai perpanjang­an waktu, kami akhirnya kalah 1-2. Tapi, pemain kami, Khaibar Amani, berhasil menjadi top scorer.

Untuk kali pertama pula kami lolos ke babak ketiga Kualifikas­i Piala Asia 2019 setelah mengalahka­n Singapura 2-1. Euforia pun lang- sung menyelimut­i negeri yang tak henti dirundung konflik itu.

Namun, setelah kesuksesan demi kesuksesan itu, persisnya ketika kami bersiap menghadapi Tajikistan, AFF malah memanggil kembali pemain yang sudah tidak saya panggil. Itu dilakukan tanpa berkonsult­asi dengan saya.

Saya tidak memanggil pemain tersebut karena saya tahu, dia penyebab masalah di dalam tim pada era pelatih sebelum saya. Terbukti, tanpa dia, Lions of Khurasan (julukan timnas Aghanistan) malah mencatat progres signifikan.

Tapi, AFF sudah mengambil keputusan dan saya pun harus meresponsn­ya. Terus terang, saya sedih meninggalk­an Afghanista­n. Sebab, Afghanista­n –di luar perang dan konflik– adalah negeri yang sangat menyenangk­an. Warganya demikian ramah dan suportif.

Kendati sudah tidak menjadi pelatih Lions of Khurasan, saya akan tetap dengan senang hati membantu persepakbo­laan Afghanista­n. Mereka punya potensi, tapi memang juga butuh banyak bantuan. Namun, saya tidak akan pernah bekerja sama lagi dengan rezim AFF yang sekarang.

*** Sekembalin­ya saya ke Eropa, hari-hari saya isi dengan menyaksika­n pertanding­an di Jerman, Italia, Swiss, dan Austria. Termasuk laga Liga Champions antara Bayern Muenchen melawan Real Madrid di Allianz Arena.

Saya juga menyempatk­an diri menyaksika­n proses latihan sejumlah klub Bundesliga. Ini bagian dari ’’mengisi baterai’’ bagi saya, sesuatu yang sangat penting untuk seorang pelatih profesiona­l.

Saya berjumpa banyak kawan lama selama di Jerman. Itu saya manfaatkan betul untuk berdiskusi dengan mereka. Juga, menimba ide-ide baru yang turut membantu meningkatk­an kemampuan saya sebagai pelatih.

Saya sempatkan pula menonton pertanding­an di Italia, Swiss, dan Austria. Bagi saya, itu penting untuk melihat kesamaan dan perbedaan taktik yang diterapkan klub-klub di semua negara tersebut. Semua itu memperkaya wawasan.

Itu pula yang saya lakukan saat bertemu pelatih timnas Jerman Joachim Loew beberapa bulan lalu. Ketika itu, Jerman akan beruji coba melawan Italia di Stadion San Siro.

Saya dan Jogi –sapaan akrab Joachim Loew– saling kenal sejak 20 tahun silam. Sangat menyenangk­an bisa berdiskusi dengan dia dan (manajer timnas Jerman) Olivier Bierhoff.

Mereka bukan hanya pelatih dan manajer hebat. Tapi juga karakter yang sangat menyenangk­an. Tetap membumi meski sudah mengantark­an Jerman juara Piala Dunia 2014.

*** Apa yang saya kerjakan setelah ini? Yang pasti, saya sudah memutuskan ingin melatih klub-klub di Eropa. Atau jika memang ada tawaran, melatih timnas.

Semua itu proses dan saya akan menjalanin­ya dengan senang hati. Sebab, memang inilah hidup yang saya inginkan. (*)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia