Afghanistan, Indonesia, dan Hari-Hari ’’Mengisi Baterai’’
HARUS saya akui, saya kangen dengan Bali, Makassar, dan banyak tempat indah lainnya di Indonesia. Saya juga rindu dengan atmosfer sepak bola Indonesia: ketatnya pertandingan, antusiasme suporter, dan riuhnya stadion.
Tapi, inilah risiko pelatih sepak bola profesional. Bahkan, di saat tak lagi menangani tim pun, saya harus terus berkeliling. Selama sebulan terakhir, saya menonton pertandingan di Jerman, Italia, Swiss, dan Austria.
Saya menyambangi pula Krosia dan BosniaHerzegovina. Menyaksikan beberapa laga juga. Menikmati sajian taktik yang berbeda dibandingkan yang saya saksikan di belahan barat Eropa.
Sebagai pelatih, saya memang harus terus menambah ilmu dan wawasan. Sangat menyenangkan berbincang dan berbagi dengan banyak pelatih, yang sebagian adalah kawankawan lama saya.
Saya juga akan mengunjungi kawan-kawan saya di Afghanistan. Ini sebagai bentuk rasa hormat saya kepada semua warga Afghanistan.
Setahun penuh kesuksesan selama saya melatih timnas Afghanistan tak akan terlupakan. Meski, kebersamaan saya dengan timnas Afghanistan harus berakhir dengan cara yang tidak saya inginkan...
*** Afghanistan kalah 0-1 dalam uji coba melawan tuan rumah Tajikistan di Dushanbe pada 13 November tahun lalu ketika AFF (Federasi Sepak Bola Afghanistan) mengontak saya kembali. Mereka meminta saya kembali menangani timnas.
Dengan segala kecintaan saya kepada generasi baru timnas Afghanistan yang telah saya bentuk, saya terpaksa menolak tawaran itu. Saya sudah tidak percaya kepada AFF. Mereka sudah pernah menahan paspor dan uang tunai saya setelah saya mengundurkan diri meski belakangan saya bisa mendapatkannya lagi. Tapi, yang perlu digarisbawahi, sepak bola profesional semestinya tak boleh dijalankan seperti yang dijalankan AFF.
Selama setahun saya menangani timnas Afghanistan, dari delapan pertandingan resmi, kami memenangi enam di antaranya. Kami lolos ke final SAFF Championship (Piala AFFnya Asia Selatan) 2015. Di partai puncak yang harus berlangsung sampai perpanjangan waktu, kami akhirnya kalah 1-2. Tapi, pemain kami, Khaibar Amani, berhasil menjadi top scorer.
Untuk kali pertama pula kami lolos ke babak ketiga Kualifikasi Piala Asia 2019 setelah mengalahkan Singapura 2-1. Euforia pun lang- sung menyelimuti negeri yang tak henti dirundung konflik itu.
Namun, setelah kesuksesan demi kesuksesan itu, persisnya ketika kami bersiap menghadapi Tajikistan, AFF malah memanggil kembali pemain yang sudah tidak saya panggil. Itu dilakukan tanpa berkonsultasi dengan saya.
Saya tidak memanggil pemain tersebut karena saya tahu, dia penyebab masalah di dalam tim pada era pelatih sebelum saya. Terbukti, tanpa dia, Lions of Khurasan (julukan timnas Aghanistan) malah mencatat progres signifikan.
Tapi, AFF sudah mengambil keputusan dan saya pun harus meresponsnya. Terus terang, saya sedih meninggalkan Afghanistan. Sebab, Afghanistan –di luar perang dan konflik– adalah negeri yang sangat menyenangkan. Warganya demikian ramah dan suportif.
Kendati sudah tidak menjadi pelatih Lions of Khurasan, saya akan tetap dengan senang hati membantu persepakbolaan Afghanistan. Mereka punya potensi, tapi memang juga butuh banyak bantuan. Namun, saya tidak akan pernah bekerja sama lagi dengan rezim AFF yang sekarang.
*** Sekembalinya saya ke Eropa, hari-hari saya isi dengan menyaksikan pertandingan di Jerman, Italia, Swiss, dan Austria. Termasuk laga Liga Champions antara Bayern Muenchen melawan Real Madrid di Allianz Arena.
Saya juga menyempatkan diri menyaksikan proses latihan sejumlah klub Bundesliga. Ini bagian dari ’’mengisi baterai’’ bagi saya, sesuatu yang sangat penting untuk seorang pelatih profesional.
Saya berjumpa banyak kawan lama selama di Jerman. Itu saya manfaatkan betul untuk berdiskusi dengan mereka. Juga, menimba ide-ide baru yang turut membantu meningkatkan kemampuan saya sebagai pelatih.
Saya sempatkan pula menonton pertandingan di Italia, Swiss, dan Austria. Bagi saya, itu penting untuk melihat kesamaan dan perbedaan taktik yang diterapkan klub-klub di semua negara tersebut. Semua itu memperkaya wawasan.
Itu pula yang saya lakukan saat bertemu pelatih timnas Jerman Joachim Loew beberapa bulan lalu. Ketika itu, Jerman akan beruji coba melawan Italia di Stadion San Siro.
Saya dan Jogi –sapaan akrab Joachim Loew– saling kenal sejak 20 tahun silam. Sangat menyenangkan bisa berdiskusi dengan dia dan (manajer timnas Jerman) Olivier Bierhoff.
Mereka bukan hanya pelatih dan manajer hebat. Tapi juga karakter yang sangat menyenangkan. Tetap membumi meski sudah mengantarkan Jerman juara Piala Dunia 2014.
*** Apa yang saya kerjakan setelah ini? Yang pasti, saya sudah memutuskan ingin melatih klub-klub di Eropa. Atau jika memang ada tawaran, melatih timnas.
Semua itu proses dan saya akan menjalaninya dengan senang hati. Sebab, memang inilah hidup yang saya inginkan. (*)