Jawa Pos

Haggana Tumbuhkan Rasa Memiliki

Awalnya didominasi etnis Arab dan Madura, kini para pemain Haggana sudah lintas etnis. Produk binaan mereka, selain di Persebaya, bersebar ke banyak klub.

-

NAMA Haggana diambil dari bahasa Arab, haqqana. Secara harfiah, haqqana berarti milik kita. Filosofi memiliki itulah yang ditularkan kepada semua yang ada di dalam klub tersebut.

’’Semua orang, pelatih, pemain, atau pengurus, wajib mempunyai rasa memiliki terhadap klub ini. Jadi, bagi kami, kebersamaa­n adalah yang utama,’’ kata sang pemilik Haggana Ali Mohammad Smith.

Semua berawal dari pengalaman pribadi Ali. Saat kecil, pria 53 tahun itu ingin menjadi pemain sepak bola. Namun, cita-cita tersebut gagal terwujud karena saat itu dia tidak bisa membeli sepatu.

Selain itu, akses untuk belajar sepak bola kurang karena harus membantu usaha keluarga. Akhirnya, mimpi masa kecil itu dia wujudkan pada 2000 dengan mendirikan Haggana bersama Syekh Al Jufri dan Rozak Al Baghdadi.

Dengan berbasis di Surabaya Utara, Haggana awalnya berisi para pemain dari etnis etnis Arab dan Madura. Namun, seiring dengan perkembang­an waktu, banyak pula etnis lain yang melebur.

’’Kami juga pernah punya pemain dari Papua, etnis Tionghoa, dan Jawa tentu saja,’’ imbuh pengusaha busana muslim itu.

Selama ini tidak banyak pemain Haggana yang bisa menembus skuad utama Persebaya Surabaya. Sebab, saat sistem kompetisi masih berkelas, mereka lebih sering menghuni kelas II.

Namun, beberapa pemain jebolan Haggana justru merumput bersama klub lain, misalnya Per- sewangi Banyuwangi, Persinga Ngawi, dan Madura United. Bahkan, pernah ada empat pemain Haggana yang masuk Mitra Kukar U-21 pada 2005.

Klub yang berlatih di Lapangan Pasiran ini pernah ditangani beberapa nama beken. Sebut saja Saleh bin Agil, Abdul Kirom, dan Abdul Rozak Baghdadi yang sempat dijuluki sebagai Maradona dari Ampel. Selain itu, Ahmad Rosidi yang kini menjadi asisten pelatih Persebaya pernah menukangi klub ini.

Raihan secara tim selama ini memang belum terlalu apik. Tetapi, menurut Ali, penyebabny­a tidak tunggal.

’’Salah satu di antaranya, pemain kami menganggap sepak bola adalah hobi. Padahal, sepak bola bukan saja soal itu. Curahan emosi juga ada di sini,’’ katanya.

Ali melanjutka­n, jika serius menekuni satu bidang, itu akan menjadi karir. ’’Nah, kami sedang membangun pemahaman seperti itu,” terang Ali. (dit/c4/ttg)

 ?? DIKA KAWENGIAN/JAWA POS ??
DIKA KAWENGIAN/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia