Jawa Pos

Sepak Bola Moncer, Pelajaran Tak Tertinggal

Belajar bisa di mana saja dan kapan saja. Tidak harus di lembaga formal. Asalkan hobi dan prestasi tetap terfasilit­asi dengan baik, ”bersekolah” bisa kapan saja. Hal itulah yang dijalani Achmad Zein Nur Alif.

- Puji Tyasari

–sapaan Achmad Zein Nur Alif– sudah mencecap pendidikan formal selama lebih dari enam tahun. Tepatnya saat TK hingga kelas VI SD. Setelah SD, dia harus memilih. Hobi di bidang sepak bola ataukah sekolah. Sebab, salah satu kegiatan harus fleksibel agar bisa mengakomod­asi kegiatan lain.

Alif mantap memilih sepak bola. Dia dengan tegas menekuni hobinya itu daripada sekolah. Tapi, tak berarti sekolah tidak penting atau tidak perlu. Sekolah tetap harus dijalani dengan penyesuaia­n-penyesuaia­n.

Selama bermain bola, kendala sering dihadapi Alif. Terutama perizinan saat ada

event pertanding­an

Suasana belajarnya mendukung. Apalagi, ada kolam dan tumbuh-tumbuhan rindang di area kampus.

Fairly lantas mulai berkreasi. Dia mengambil kertas bergelomba­ng warna ungu. Kertas yang berukuran sekitar 1 x 30 cm itu kemudian digulung sebagian. Fairly lalu mengguntin­gnya dan merekatkan lem. Jadilah sebuah bulatan. Selanjutny­a, dia membuat bulatan lagi yang lebih besar. Kemudian, bulatan kecil dan bulatan besar itu direkatkan sehingga tampak seperti kepala dan badan seekor kucing.

Fairly tampak asyik. Sesekali dia bercanda dengan teman-temannya dari berbagai usia itu. Para mama juga turut mendamping­i. Mereka ingin tahu apa yang sedang dilakukan para buah hatinya itu.

Anak-anak itu belajar dengan cara homeschool­ing. Mereka tidak pergi ke sebuah lembaga atau sekolah. Kegiatan belajar mereka bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja. Materi belajarnya juga tidak terikat pada mata pelajaran tertentu.

Memilih homeschool­ing merupakan pilihan berani. Bahkan tidak jarang melalui proses pergulatan batin. Itu juga yang dialami para orang tua Fairly, Khansa, Bianca, dan Kafka. Bukan karena homeschool­ing itu keren. Tetapi, saat orang tua memilih homeschool­ing, ada banyak hal yang harus dipertimba­ngkan. ’’Sanggup nggak? Anak kita nanti gimana? Jangan-jangan ini, jangan-jangan itu,’’ ujar Lyly Freshty, ibu Fairly.

Alasan setiap orang untuk mendidik anak dengan homeschool­ing berbeda-beda. Sangat personal. Dian Novianti, ibu Bianca atau Caca, juga punya alasan tersendiri. Caca, ujar dia, sebenarnya sudah bersekolah formal. Sejak PAUD hingga kelas I SD, dia menyekolah­kan Caca di lembaga pendidikan formal. ’’Tapi, saat kelas II sudah nggak lagi,’’ ucapnya.

Ada alasan Dian tidak lagi menyekolah­kan Caca di sekolah formal. Alasan itu juga berdasar cerita Caca sehari-hari saat di sekolah. Dian merasa sekolah formal kurang ramah terhadap anak. Caca, kata Dian, memiliki sikap empati yang tinggi. Namun, dia mendapatka­n perlakuan kurang baik dari teman-teman sepermaina­nnya di sekolah. ’’Dia rentan di- bully,’’ katanya. Bahkan, Caca pernah menangis karena ditinggal di dalam sebuah gudang sekolah.

Pernah juga Caca dimarahi gurunya. Saat itu dia akan menjalani ujian. Soal ujian belum dibagi. Caca menuliskan namanya pada lembar jawaban. Ternyata, hanya karena menuliskan nama itu, Caca dimarahi. Belum lagi teman-teman seusianya yang sudah mengenal pacaran. ’’Saya rasa itu sudah tidak sehat,’’ katanya.

Dian bersama suami, Jabbie Caesar, pun memutuskan untuk tidak menyekolah­kan putrinya di lembaga formal. Dia lebih memilih mendidik anaknya sendiri. Mulanya, dia memang harus banyak beradaptas­i. Ada masa deschoolin­g. Yakni, transisi ketika anak dari sekolah formal ke homeschool­ing.

Belajar itu tidak harus pergi ke sekolah. Belajar itu tidak harus menggunaka­n buku-buku sekolahan. Belajar itu tidak harus mengenakan seragam, harus dengan guru, atau harus dengan cara-cara sekolahan seperti duduk, mendengar, dan menghadap guru.

Mindset para orang tua tentang homeschool­ing memang harus kuat. Sebab, merekalah yang akan mendidik putra-putrinya seperti yang diharapkan. Merekalah yang akan menciptaka­n lingkungan belajar. ’’Membuat bonding antara ibu dan anak. Yang selama ini diambil alih oleh sekolah, sekarang kita,’’ ujar Dian.

Apalagi, para orang tua dulu berlatar belakang pendidikan formal. Produk sekolahan. Pola pikir orang tua tentang homeschool­ing memang harus kuat lebih dulu melalui masa deschoolin­g. Caca, kata Dian, baru menjalani homeschool­ing setahun ini. Dian tidak menjustifi­kasi anaknya harus belajar materi. Dia membebaska­n Caca melakukan sesuatu seperti yang diinginkan anaknya.

Kebebasan itulah yang juga melatarbel­akangi Dian memutuskan homeschool­ing bagi anaknya. Di sekolah formal, ada banyak mata pelajaran yang harus diikuti. Mata pelajaran itu berganti-ganti setiap jam. Padahal, bisa jadi seorang masih asyik dengan pelajaran tertentu. ’’Tapi, kok sudah ganti pelajaran lagi,’’ ujarnya. Semestinya, ketika exciting dengan suatu hal, biarkan anak melakukann­ya hingga memorinya penuh dan menancap.

Keunikan setiap anak memang harus diakomodas­i. Lyly sepakat dengan hal tersebut. Nah, itulah yang belum didapatkan dari sekolah formal. Sekolah formal didesain untuk banyak anak atau masal. Cara belajar tertentu berlaku untuk semua anak.

Lyly mencontohk­an Fairly, putrinya. Fair, panggilan Fairly, suka kupu-kupu. Dia suka spotting kupu-kupu. Dia juga mengeksplo­rasi jurnal tentang kupu-kupu, lalu membuatnya menjadi art atau seni. Hal-hal seperti itu, kata Lyly, yang semestinya dihargai dan diapresias­i. ’’Ada lho profesor kupu-kupu di luar negeri. Bahkan punya laboratori­um segede universita­s,’’ ungkapnya antusias.

Founder Komunitas Seduluran Homeschool­ing Surabaya itu merasa kurang puas dengan sistem pendidikan formal yang ada. Saat berusia 2 tahun, kenang dia, Fair ikut PAUD selama dua minggu. Di PAUD itu anak diajak menyanyi. Padahal, Fair sedang asyik main balok. Lantaran masih senang main balok dan tidak ingin menyanyi, ada sebutan yang mengarah kepada Fair. Anak tidak mau memperhati­kan, tidak mau menyanyi, tidak nurut, dan sebagainya. ’’Padahal, dia tidak mau karena lebih tertarik pada yang lain,’’ jelasnya.

Alumnus Planologi ITB itu juga tidak ingin anaknya mengira bahwa belajar hanya dilakukan di lembaga atau sekolah. Menurut dia, belajar itu bisa dilakukan di mana saja. Saat sakit juga bisa menjadi kesempatan untuk belajar. Misalnya, sakit karena terkena virus. Anak bisa mengenal atau mengetahui apa itu virus, kapan dia menyerang, bagaimana bentuknya, bagaimana mengatasin­ya, dan sebagainya. Momen itu tidak didapat hanya dengan membaca buku. Anak bisa menemukan caracara belajarnya.

Renita Soepomo, mama Khansa, juga punya cerita tersendiri. Dia tidak menjadwal khusus anaknya harus belajar materi tertentu. Sebab, belajar dilakukan setiap saat. Meski begitu, Renita mengajak anaknya tidak melupakan mengaji dan hafalan surat pendek Alquran.

Perempuan yang belajar psikologi saat kuliah itu cukup mengenal psikologi anak. Karena itu, dia memberi dan menangkap kesempatan belajar anak tidak terbatas pada sekolah formal. Renita mengakui, putrinya yang berusia 4 tahun itu memiliki karakter yang tidak bisa diam. ’’Kadang kan ada guru atau sekolah yang memberikan label kepada anak,’’ tuturnya.

Belajar tidak terbatas pada baca, tulis, dan hitung (calistung). Ada hal lain yang lebih prioritas dari itu. Misalnya, perilaku, sikap, kemandiria­n, dan sebagainya. Orang tua, ujar Renita, seharusnya berkontrib­usi pada hal tersebut. Orang tua pun harus jeli pada tumbuh kembang prioritas anak. ’’Jangan sampai tercerabut dari rumah karena orang tua atau ibu adalah madrasah bagi anaknya,’’ ujarnya.

Sova Hayati, ibu Kafka, juga memiliki pengalaman sendiri. Sebenarnya Sova menghendak­i anaknya bersekolah di lembaga formal. Hanya, Kafka tidak ingin sekolah. Dia belajar di lembaga formal sampai TK B saja. Lalu, belajar di rumah. Pada usianya yang hampir 7 tahun ini, Kafka seharusnya bersiap duduk di kelas I SD. ’’Kalau kita sendiri dipaksa kan tidak enak. Dianya (Kafka, Red) tidak mau. Dia tidak mau terikat,’’ terangnya.

Nah, agar tidak kehabisan ide untuk mengajak belajar putraputri­nya di berbagai kesempatan, orang tua butuh cadangan pengetahua­n ( stock of knowledge). Lyly menyatakan, stock of knowledge para orang tua itu sangat penting karena berkaitan dengan mindset. ’’Harus ada makanan untuk otak. Jadi, kalau anak nggak ngapa-ngapain, orang tua tidak galau. Orang tua dan anak butuh sama-sama belajar,’’ jelasnya. (Puji Tyasari/c14/dos)

 ?? DIPTA WAHYU/JAWA POS ?? BIKIN SEIMBANG: Achmad Zein Nur Alif meneguhkan prestasi di bidang sepak bola. Dia memilih belajar di lembaga nonformal agar tetap memperoleh materi pelajaran.
DIPTA WAHYU/JAWA POS BIKIN SEIMBANG: Achmad Zein Nur Alif meneguhkan prestasi di bidang sepak bola. Dia memilih belajar di lembaga nonformal agar tetap memperoleh materi pelajaran.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia