Berhasil Sembuhkan Pecandu Narkoba di Sanggar
Di sela-sela kesibukan sebagai anggota polisi, Bripka Arif Harmoko punya concern terhadap pelestarian budaya. Dia menjalankan amanat sang kakek sekaligus membentengi anak jalanan dari jeratan narkoba.
PARA pemain reog dan jaranan sanggar Tunggal Budoyo terlihat bersantai kemarin pagi (1/5). Sambil menunggu pembina sanggar datang, mereka bersolek. Sejam berselang, orang yang ditunggu tiba. Dia mengenakan seragam polisi lengkap.
Ya, berbeda dengan sanggar budaya pada umumnya yang dipimpin para penggiat seni, Tunggal Budoyo dinakhodai seorang anggota korps seragam cokelat. Dia adalah Bripka Arif Harmoko. ”Sudah lama, sejak 2005,” ujar Arif membuka obrolan. Pria 32 tahun tersebut mengaku memperoleh mandat untuk meneruskan aktivitas di sanggar dari kakeknya, almarhum Moestadji. Masih lekat dalam ingatan, pada 2004, Arif baru masuk menjadi anggota kepolisian. Kesibukannya cukup menyita waktu. Akhirnya, dia baru bisa merealisasikan mandat sang kakek setahun kemudian. ”Jangan sampai kesenian itu mati,” katanya, mengenang pesan sang kakek.
Polisi yang berdinas di Provos Polsek Sawahan tersebut ikut bahu-membahu mendirikan sanggar dan membantu mencarikan panggung. Tidak hanya itu, dia berusaha menyempatkan hadir saat pemain reog dan jaranan manggung. Kendati demikian, dia tidak selalu bisa hadir untuk memberikan semangat dan bantuan moral. ”Kalau untuk urusan melestarikan tradisi, atasan ndak mungkin marah to,” selorohnya, lantas tertawa lepas.
Bapak dua anak tersebut juga hadir ketika mereka berlatih seminggu sekali di akhir pekan. Kebetulan, tempat la- tihan itu berada di rumah sang nenek. ”Sekalian sowan nenek,” ucapnya.
Namun, perjalanan mengurus sanggar bukan tanpa kendala. Arif mengakui, yang agak berat adalah mengurus perizinan dan administrasi. Apalagi, sejak 17 Maret 2017, sanggarnya disahkan Kemenkum HAM sebagai badan hukum perkumpulan seni reog dan jaranan campursari Tunggal Budoyo.
Sebelumnya, dia mendaftarkan sanggar tersebut ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Surabaya pada 2006. Sanggar tersebut sudah terdaftar dan memiliki register kartu nomor induk kesenian. ”Tapi, masih dianggap kurang kuat. Diperlukan legalitas untuk nama agar tidak dicaplok kelompok lain,” terang pria asal Pacar Kembang itu.
Meski begitu, Arif tetap berusaha. Dia tidak mau main-main dalam mengurus sanggar. Saat ini sanggar tersebut memiliki 60 member. Mereka berasal dari berbagai kalangan. Mulai penggiat seni, pegawai, anak sekolah, hingga mahasiswa.
Ada juga anak jalanan yang bergabung di Tunggal Budoyo. Tak pelak, dibutuhkan tenaga ekstra untuk mengawasi mereka satu per satu. Arif tidak ingin anggotanya, khususnya anakanak, terlibat dalam pusaran kelam obat-obatan terlarang. Sebaliknya, kesenian harus bisa menjadi wadah bagi mereka untuk berbuat lebih baik. ”Dulu ada yang sukanya minum pil koplo,” ungkapnya.
Arif tak lantas memenjarakan anak tersebut. Dia memilih untuk menampungnya di sanggar itu. Lalu, secara perlahan, anak tersebut dibina untuk ikut melestarikan budaya. ”Alhamdulillah, dia sekarang sembuh dan tidak kepikiran kembali menggunakan pil koplo atau narkoba,” tuturnya.
Pendekatan yang digunakan Arif memang didasarkan semangat kekeluargaan. Meski bertubuh tambun dan suaranya menggelegar, Arif sebenarnya adalah sosok yang lembut. ”Paling penting jaga kekompakan dan seduluran saja,” lanjutnya.
Saat ini dia berusaha mencari solusi untuk memperbaiki sarana pertunjukan. Banyak bulu dadak merak milik sanggar yang telah rusak. Jadi, kondisinya sudah renggang. Begitu juga dengan kepala merak. Lantaran tidak ada dana untuk membeli, kepala merak asli diganti dengan kepala merak buatan. ” Tanggapan (panggilan untuk manggung, Red) makin sepi. Padahal, perawatan termasuk mahal,” tandasnya. (*/ c16/fal)