Esensi Pendidikan: Dari Hominisasi Menuju Humanisasi
SETIAP kali memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), 2 Mei, setiap itu pula kita sebagai bangsa Indonesia, khususnya insaninsan pendidikan, selalu dihadapkan pada pertanyaan reflektif: ”Sudahkah praksis pendidikan tertunaikan untuk menghasilkan insan-insan Indonesia seutuhnya?” Insan Indonesia seutuhnya, dalam perspektif Kemendikbud (2015), adalah orang yang memiliki kecerdasan spiritual (olah hati/kalbu), kecerdasan emosionalsosial (olah rasa), kecerdasan intelektual (olah pikir), dan kecerdasan kinestetik (olah raga). Merunut pendidikan yang bermuara pada tumbuh kembangnya kecerdasan itu, implementasi praksis pendidikan yang merambah tiga cakupan dimensional perlu dilihat kembali. Secara mikro, pendidikan adalah proses kegiatan pembelajaran yang terdapat di satuan pendidikan (sekolah/madrasah). Secara meso, pendidikan adalah suatu upaya dalam rangka penyiapan sumber daya manusia. Dan, secara makro, pendidikan adalah sebuah proses pengembangan budaya.
Yach..., pendidikan diyakini sebagai peranti transformasi yang efektif dalam membentuk calon-calon manusia menjadi manusia. Pendidikan adalah proses hominisasi. Proses pembentukan dari calon manusia yang belum mengerti baik-buruk, benar-salah, mulia-hina, sampai dengan beradab atau biadab menjadi manusia yang mengerti akan kebaikan, kebenaran, kemuliaan, dan keberadaban. Itulah tugas pendidikan yang pertama. Tugas itu harus terselesaikan dengan baik agar manusia Indonesia seutuhnya benar-benar manusia yang sempurna kecerdasan hati dan sosial-emosinya.
Setelah tugas pertama pendidikan tertunaikan, barulah tugas berikutnya menjadikan manusia Indonesia dengan bekal kecerdasan intelektual dan kinestetis yang memadai. Dalam bahasa Ki Hajar Dewantara, membangun manusia Indonesia seutuhnya harus diawali dari pembangunan budi pekerti (olah budi dan rasa) terlebih dahulu baru pengembangan akal-pikirannya dan bukan sebaliknya.
Kalau tugas itu tertunaikan, secara formal-instruksional tugas pendidikan telah usai meski belum selesai. Secara moral-filosofis, tugas pendidikan selanjutnya setelah merampungkan tugas formal-instruksional adalah tugas humanisasi pendidikan. Efektivitas humanisasi dalam pendidikan akan mempertanyakan apakah manusia-manusia Indonesia cukup mampu mengelola kecerdasan yang telah dimiliki untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi pengembangan diri dan kemanfaatan di sekitarnya, baik lingkungan alam maupun sosial. Perilaku culas terhadap sesama, korupsi yang merajalela dalam hampir seluruh lini kehidupan, kerusakan lingkungan di belahan dunia yang kian akut, itu semua tidak dilakukan oleh orang-orang yang bodoh. Justru itu semua dilakukan oleh orangorang pintar dan cerdas. Mengapa bisa terjadi? Sebab, kepemilikan akan kepintaran-kecerdasannya tidak bisa dikelola dengan apik-proporsional bagi kemanfaatan manusia dan semesta alam.
Kecerdasan yang bisa dikelola dengan baik tidak akan melahirkan manusia yang serakah, congkak, angkuh atau sombong. Pengelolaan kecerdasan yang sempurna akan melahirkan manusia yang pintar dan cerdas, tapi tidak minteri dan membodohkan. Kalaupun bisa kaya raya berkat usaha dan kerja kerasnya, dia tetap menjadi manusia dermawan dan tidak memiskinkan. Kalaupun menjadi pejabat tinggi atau pejabat publik karena kecerdasannya, dia tetap merakyat, melayani, dan tidak merendahkan. Itulah hasil pendidikan yang memanusiakan, bahkan menyemestakan. Bukankah begitu?! (*) Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sidoarjo