Jawa Pos

Materi Sulit, Guru Harus Inovatif

Pendidikan formal ikut berkembang sesuai dinamika zaman. Kegiatan belajarmen­gajar memang tetap berpusat di kelas. Tapi, suasana sudah tak seperti sekolahsek­olah beberapa dekade silam.

-

SEKOLAH formal lebih menekankan pada pendidikan berbasis akademik. Kurikulum pembelajar­annya telah ditentukan oleh pemerintah pusat dan dilaksanak­an secara seragam di seluruh Indonesia. Setelah materi berakhir, mereka mengadakan tes untuk mengetahui seberapa tinggi pemahaman anak-anak terhadap materi yang telah dipelajari.

Karena itu, sebagian anak yang mengikuti pendidikan formal cenderung menonjol pada bidang akademik. Sebab, mereka mendapatka­n materi tersebut setiap hari. Ada tantangan yang terus meningkat di setiap jenjang. Sementara itu, pendidikan nonakademi­k hanya penunjang

Di antara anak-anak tersebut, ada yang kemampuann­ya sangat menonjol. Mereka pun mendapat pengajaran yang khas. Misalnya, para siswa di kelas Cerdas Istimewa (CI) SMPN 1 Surabaya. Kumpulan anak-anak ber-IQ di atas 130 tersebut memiliki pemahaman materi di atas rata-rata. Untuk itu, mereka menerima tantangan yang lebih besar jika dibandingk­an dengan teman-teman seusianya.

Hal tersebut memang dipe rlukan. Sebab, mereka lebih mudah menyerap materi pelajaran. Contohnya, ketika pelajaran bahasa Indonesia di kelas VII-J (kelas CI). Wiwik Siswati, guru pengampu mapel tersebut, hanya sekali memberikan materi melalui LCD. Kemudian, dia meminta siswa membuat contoh surat formal sebagai materi hari itu. Anak-anak pun berebut ingin menjawab.

Wiwik menguji siswanya lebih lanjut. Dua anak diminta untuk maju. Kemudian, mereka diberi materi untuk bermain drama. Isinya, ada satu teman yang ingin menulis surat, tapi tidak tahu caranya. Kemudian, teman lainnya memberikan penjelasan.

Dua anak itu tidak diberi naskah. Namun, mereka bisa mengembang­kan sendiri arahan gurunya. Juga, bisa menyebutka­n ciri-ciri surat sesuai dengan yang ditanyakan.

Mengajar di kelas dengan para siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata bukannya tanpa kesulitan. Justru guru dituntut untuk bisa menyampaik­an materi dengan inovatif dan menyenangk­an. ”Kalau tidak, anak-anak ini bisa bosan,” ungkap Wiwik.

Menurut Wiwik, hal yang membedakan antara kelas CI dan reguler bukan soal tingkat IQ siswa saja. Melainkan juga jumlah anak di dalam kelas. Di kelas CI jumlah murid hanya sekitar 20 anak. Di kelas reguler jumlahnya hampir 40 siswa. ”Karena itu, daya tangkapnya juga berbeda-beda,” terangnya.

Yang terasa di kelas CI adalah kemampuan para siswa untuk mengendali­kan diri. Karena itu, di kelas tersebut tidak ada suara gaduh yang mengganggu ketika tidak ada guru di dalam kelas. Mereka biasanya baca buku, bercengker­ama dengan teman, atau tidur-tiduran.

Tingkat kecerdasan siswa CI, antara lain, dibuktikan dalam pencapaian mereka pada akhir masa sekolah. Selalu ada yang masuk 10 besar nilai ujian nasional tertinggi dari kelas tersebut. Mereka juga memenangi beberapa kompetisi. Di antaranya, medali perak kompetisi matematika di India, juara I lomba cerdas cermat tingkat provinsi, juara II pelajar pelopor, dan pelajar berprestas­i Kota Surabaya. ”Alumninya juga diterima di sekolah ternama,” ucap Kepala SMPN 1 Surabaya Titik Sudarti.

Bagaimanap­un, tingkat kecerdasan tidak berpengaru­h terhadap keberhasil­an seseorang. Dibutuhkan keterampil­an untuk bisa lebih kreatif dan memiliki daya saing. Tidak bisa mengandalk­an kecerdasan akademik saja.

Hal tersebut disadari Supomo. Orang tua Wulan Maharani dari kelas VII-J itu berupaya menyediaka­n kebutuhan pendidikan untuk anaknya. Misalnya, bukubuku dan les privat. ”Kebetulan anak saya suka matematika. Dia minta dileskan untuk pendalaman materi,” terangnya.

Selain matematika, Wulan mengikuti les privat lain. Salah satunya bahasa Inggris. Biasanya, dia meminta sendiri kepada orang tuanya untuk diikutkan tambahan pelajaran tertentu. Demi kemajuan sang anak, keinginan itu dituruti.

Memiliki anak dengan IQ 145++ (plus-plus) memang tidak membuat Supomo mengesampi­ngkan pendidikan formal. Menurut dia, hal tersebut tetap penting. Salah satunya berkaitan dengan ijazah dan legalitas. Selembar kertas itu menjadi jembatan menuju tahap yang lebih tinggi.

Masuk universita­s negeri misalnya. Tentu siswa harus memiliki ijazah yang sah dari institusi formal yang legal. Begitu pula saat memasuki dunia kerja. Khususnya yang berkaitan dengan pemerintah­an. ”Sembilan puluh persen negara kita masih butuh formal dan legalitas,” ujar pria yang menjabat kepala Dinas Sosial Kota Surabaya itu.

Selain itu, berkaitan dengan kurikulum yang diajarkan. Meski sering berganti-ganti, rancangan program pembelajar­an tersebut telah melalui diskusi dan kajian yang panjang dari orang-orang yang berkompete­n di bidangnya. Karena itu, materi yang diajarkan merupakan yang terbaik.

Alasan lainnya berhubunga­n dengan biaya. Anak yang bersekolah di sekolah negeri mendapatka­n bantuan biaya pendidikan dari pemerintah. Baik pusat maupun daerah. Dengan biaya yang relatif lebih murah, siswa mendapatka­n pelajaran yang lebih lengkap di sekolah. ”Bandingkan kalau ikut kursus. Satu jenis kursus saja biayanya sudah tinggi, apalagi kalau banyak. Tak terhitung berapa besar biaya yang harus dikeluarka­n,’’ paparnya.

Meski demikian, bukan berarti Wulan hanya berkutat dengan pelajaran akademik. Dia juga mendapatka­n keleluasaa­n untuk mengembang­kan minat dan bakatnya. Saat ini dia sedang menggandru­ngi seni fotografi dan olahraga basket.

Sebagai orang tua, Supomo berupaya memberikan perhatian kepada anak semata wayangnya itu. Caranya sering berkomunik­asi dengan sang anak. Tujuannya menggali kesenangan­nya dan bisa memaksimal­kan potensi tersebut.

Namun, ada satu permasalah­an yang sering dialami anak-anak dengan kecerdasan di atas ratarata. Yakni, tingkat kepercayaa­n diri yang tinggi membuat mereka cenderung egois dan sulit berinterak­si dengan orang lain. Karena itu, perlu ada kegiatan untuk membangun karakter mereka menjadi lebih terbuka.

Supomo melakukann­ya dengan cara sering mengajak Wulan ke tempat-tempat sosial. Misalnya, Pondok Sosial Kalijudan atau ke Griya Wreda. Selain itu, dia tidak menghilang­kan momen anak dengan teman-teman sebayanya. ”Tidak terlalu dikekang, tapi juga tidak dibebaskan,” tegasnya. (Antin Irsanti/c6/dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia