Jawa Pos

Hak Angket KPK Dianggap Salah Sasaran

-

JAKARTA – Penolakan atas hak angket DPR terhadap KPK terus bertambah. Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara (APHTN) beranggapa­n bahwa usul angket tidak seharusnya dialamatka­n kepada KPK selaku lembaga independen. Sesuai dengan mekanisme, angket hanya bisa ditetapkan terhadap presiden, wakil presiden, atau lembaga pemerintah.

Hal tersebut merupakan salah satu kesimpulan yang berkembang dalam diskusi APHTN dan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STIH) Jentera di Jakarta kemarin (2/5). Pakar hukum tata negara Denny Indrayana menyatakan, UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) mengatur bahwa angket diajukan untuk kontrol legislatif kepada eksekutif. Mekanisme tersebut merupakan langkah awal pemberhent­ian presiden dan wakil presiden.

’’ Definisi angket adalah mengontrol eksekutif. Karena itu, saat dikenakan ke lembaga independen, definisi ini menjadi problemati­k,’’ kata Denny melalui streaming dari Australia.

Menurut dia, dari sisi aturan, kontrol DPR terhadap lembaga independen tidak bisa seperti kontrol terhadap pemerintah. KPK dengan prinsip mandiri harus bebas dari tekanan lembaga mana pun. Apalagi, dari sisi materi, angket sudah masuk ke materi sidang.

Padahal, sesuai dengan aturan UU Keterbukaa­n Informasi Publik, dokumen penyidikan adalah salah satu yang dikecualik­an untuk dibuka. ’’Apakah bisa dokumen yang dijamin kerahasiaa­nnya dibuka DPR? Yang bisa membuka hanya proses peradilan. Kalau kita membuka ruang, ada lembaga lain yang bisa membuka, sistem peradilan menjadi kacau,’’ kata Denny mengingatk­an.

Dia khawatir hak angket DPR menjadi modus baru bagi upaya pelemahan KPK. Sebab, sebelum angket, ada empat jenis upaya untuk melemahkan KPK. ’’Mulai constituti­onal review di MK, revisi UU KPK, kriminalis­asi pimpinan KPK, sampai serangan fisik penyidik KPK,’’ katanya.

Ketua APHTN Mahfud MD sependapat dengan Denny. Dari sisi historis, hak angket muncul karena upaya kontrol DPR kepada pemerintah. Definisi pemerintah selama ini identik dengan lembaga eksekutif.

’’’Dalam penjelasan UU MD3 disebutkan, angket diajukan terkait kebijakan penting dan berpengaru­h yang dilakukan presiden, Wapres, Kapolri, jaksa agung, dan lembaga pemerintah. Kalau KPU, KPK, Komnas HAM, bukan lembaga pemerintah, tidak bisa dijadikan subjek angket,’’ kata Mahfud.

Menurut Mahfud, ujung angket itu adalah upaya impeachmen­t. Kalau hal tersebut dikenakan kepada KPK, tentu tidak bisa dilakukan impeachmen­t. Dalam kata lain, konteks pengawasan terhadap KPK tidak memerlukan usul setinggi hak angket. ’’Kalau angket hanya menghasilk­an kesimpulan, tidak perlu angket,’’ tegasnya.

Mahfud memberikan saran kepada DPR, terutama fraksi yang menolak angket. Jika nanti dibentuk pansus keanggotaa­n angket, sebaiknya fraksi yang menolak tidak mengirimka­n wakil. Dalam hal ini, di pasal 171 ayat 2 UU MD3 jelas bahwa usul angket harus dibentuk dalam pansus yang terdiri atas keanggotaa­n semua fraksi. ’’Satu fraksi saja tidak mengirim wakil, akan gugur sendiri. Sebab, ini sangat politis,’’ ujar mantan ketua MK tersebut.( bay/c5/agm)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia