Rethinking Kebebasan Pers
HARI ini para jurnalis memperingati World Press Freedom Day atau Hari Kemerdekaan Pers Sedunia. Tahun ini Indonesia menjadi tuan rumah. Ratusan jurnalis dari 186 negara berkumpul di Jakarta untuk mengingatkan kembali kepada masyarakat dunia bahwa masih terjadi kekerasan terhadap para jurnalis. Tema Word Press Freedom Day tahun ini adalah Critical Minds for Critical Times: Media’s Role in Advancing Peaceful, Just and Inclusive Societies. Tema tersebut menunjukkan kesadaran bahwa saat ini seluruh dunia sedang mengalami masa kritis.
Dalam situasi seperti itu, media memiliki peran untuk terus memajukan masyarakat yang damai, adil, dan inklusif. Sebesar apa pun ancaman terhadap profesi wartawan, tidak ada alasan untuk berhenti berpikir dan bertindak kritis.
Selain itu, World Press Freedom Day didedikasikan untuk para jurnalis yang kehilangan nyawa dalam menjalankan profesi mulianya. Di Indonesia, kita pernah kehilangan Muhammad Syafrudin alias Udin, wartawan Harian Bernas Jogjakarta yang dibunuh di rumahnya oleh orang tak dikenal pada 1996. Hingga kini, kasus itu belum terkuak dan telah memasuki masa kedaluwarsa.
Ada pula Anak Agung Gede Prabangsa. Wartawan Jawa Pos Radar Bali itu pada 2009 dibunuh kerabat pejabat Pemkab Bangli karena mengkritisi proyek pembangunan di dinas pendidikan.
Nama-nama jurnalis kita yang kehilangan nyawa juga diabadikan di Journalist Memorial di Newseum, Amerika Serikat. Para jurnalis punya tanggung jawab untuk meneruskan perjuangan mereka agar kematiannya tidak sia-sia.
Di Indonesia, masih banyak terjadi ancaman dan kekerasan terhadap wartawan. Baik oleh masyarakat, militer, maupun pejabat. Hal itu sungguh memprihatinkan. Padahal, profesi jurnalis dilindungi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Ketidakpuasan terhadap pemberitaan bisa disalurkan melalui mekanisme yang sudah diatur dalam UU tersebut. Ada Dewan Pers yang bisa menjembatani ketidakpuasan itu.
Di sisi lain, media juga harus melakukan introspeksi. Sejumlah kasus kekerasan terhadap wartawan juga bisa disebabkan kebijakan pemberitaan media yang tidak berimbang dan menyalahi prinsip-prinsip jurnalistik. Dalam hal ini, wartawan menjadi korban kebijakan pimpinannya sendiri dan masyarakat. ’’Musuh’’ wartawan ternyata banyak. Bisa penguasa, militer, preman, masyarakat intoleran, penganut chauvinisme, dan pemilik media.
Karena itu, momentum World Press Freedom Day 2017 harus dimanfaatkan para jurnalis, pemilik media, dan masyarakat untuk menegakkan lagi kemerdekaan pers. Ada pun prinsip kemerdekaan pers adalah demokratis, berkeadilan, dan supremasi hukum. Selamat memperingati Hari Kemerdekaan Pers Sedunia. (*)