Jawa Pos

Kostum Hijab Didesain Fleksibel dan Nyaman

-

”Saya berlatih balet sejak usia dua tahun,” ujarnya membuka kisah saat dijumpai di Hotel Fairmont, Jakarta, Jumat sore (28/4) pekan lalu.

Stephanie mengungkap­kan, hobi sekaligus mimpinya tersebut sempat terhenti kala dirinya menginjak usia 9 tahun. Saat itu pada 2010 Stephanie dan keluargany­a menjadi mualaf, memeluk Islam. Dia pun lantas berhijab.

Ketika itulah tantangan mulai menghadang. Dia kesulitan mencari sekolah balet yang bisa menerima murid yang berhijab. Apalagi, waktu itu di dunia memang belum pernah ada figur balerina berhijab. ”Pada titik itu, sempat berpikir mungkin jalan saya bukan di sini,” kenangnya.

Saat itu Stephanie berusaha mengalihka­n impian dengan mengerjaka­n aktivitas menyenangk­an lainnya. ”Saya suka hal-hal kreatif. Saya coba menulis dan mendesain,” ungkapnya.

Namun, semangat yang meletup-letup mendorong sulung tiga bersaudara kelahiran 3 Oktober 2001 itu untuk tak lekas menyerah. Hati dan pikirannya terus menyalakan tekad untuk meraih mimpi menjadi balerina.

Setelah tiga tahun vakum dari balet, Stephanie mulai tergelitik saat melihat sosok Zahra Lari, atlet figure skating berhijab pertama di dunia dari Uni Emirat Arab. Dalam olahraga tersebut juga ada gerakan-gerakan dancing layaknya balet. ”Kalau dia bisa, kenapa saya tidak?” ujar Stephanie.

Sosok inspiratif lain hadir kala Stephanie melihat Misty Copeland, yang berhasil menjadi balerina utama berdarah Afrika-Amerika pertama dalam 75 tahun sejarah American Ballet Theatre (ABT), salah satu grup balet tersohor di Amerika Serikat (AS).

Selain itu, ada Amna Al Haddad, lifter atau atlet angkat besi berhijab pertama di dunia dari Uni Emirat Arab. Juga Noor Tagouri, news anchor berhijab pertama di stasiun televisi AS. Mereka adalah sosok yang konsisten mengejar mimpi di tengah berbagai hambatan yang dihadapi. ”Hati saya tergugah,” kata balerina yang pada periode 2004–2010 rutin tampil di panggung Riverside Theatre, New South Wales, itu.

Stephanie pun akhirnya kembali ke balet ketika menginjak usia 12 tahun. Dia terdorong untuk mematahkan stereotipe balerina dan ingin menunjukka­n kepada dunia. ”Meskipun saya mengenakan jilbab, itu tidak menghentik­an saya untuk mengejar mimpi,” tegasnya.

Kali pertama tampil sebagai balerina di hadapan audiens dengan kostum berhijab, Stephanie mengaku berdebar. Sempat terbetik kekhawatir­an jika dia tidak akan diapresias­i. ”Rasanya amat berbeda. Tapi, respons orangorang di lingkungan saya sangat baik dan suportif,” ungkapnya lega.

Support dari keluarga dan lingkungan sekitar amat besar. Pada 2012 sang ibu yang berdarah Rusia membuka Australian Nasheed & Arts Academy, yang menyediaka­n kelas performing arts, nasyid, balet, dan martial arts untuk anakanak. Dengan begitu, Stephanie bisa kembali melanjutka­n latihan baletnya.

Memang, langkah yang diambil Stephanie tak selalu mulus. Kritik dan komentar pedas tak jarang ditujukan kepadanya. Sebagian orang tidak yakin Stephanie mampu meraih citacitany­a menjadi balerina. Sebagian lainnya menentang Stephanie yang melakukan gerakan balet dengan berhijab. ”Yang seperti itu biasanya di online dan media sosial,” katanya.

Menjadi objek pro dan kontra serta tak jarang mendapat komentar pedas dan nyinyir di media sosial pada usia belasan tahun tentu bukan hal mudah. Bagaimana Stephanie menghadapi­nya di usia semuda itu?

”Saya tipikal orang yang cukup percaya diri. Ketika sesuatu terasa tidak mungkin, ketika orang lain mengatakan saya tidak akan mampu, saya tetap fokus pada tujuan,” paparnya ketika menjadi salah seorang pembicara dalam Resonation, konferensi pemberdaya­an perempuan di The Kasablanka, Jakarta, Sabtu lalu (29/4).

Stephanie pun kembali ke cita-cita awal dengan semangat baru: menjadi balerina berhijab pertama di dunia. Setelah tiga tahun berhenti dari aktivitas balet, dia harus melakukan usaha ekstra. Di luar kegiatan belajar secara homeschool­ing, dia berlatih balet dengan keras selama 25 jam per pekan.

Mengenakan kostum balet dengan hijab, Stephanie tidak merasakan kesulitan. Sebab, kostumnya memang dirancang khusus agar membuatnya tetap fleksibel dan nyaman. ”Soal kostum bukan tantangan utama bagi saya,” ujarnya. Justru, Stephanie tampil memukau ketika menampilka­n koreografi balet dalam modest ballet costume.

Setelah kembali ke jalur mimpinya sebagai balerina, Stephanie mencoba mewujudkan impian besar lainnya. Yaitu mendirikan sekolah performing arts yang terbuka bagi anakanak dan remaja tanpa memandang agama, ras, maupun latar belakang.

Gambaranny­a, sekolah itu nanti punya program-program spesifik untuk memenuhi kebutuhan tiap kelompok. Langkah yang dilakukan Stephanie ialah menggalang kampanye fundraisin­g melalui situs www.launchgood. com pada 2016 untuk mengambil kualifikas­i dan diploma dalam rangka mencapai citacitany­a menjadi pebalet profesiona­l.

Lewat kampanye tersebut, kisah Stephanie menjadi viral dan tersebar ke penjuru dunia. Sebanyak 685 orang berpartisi­pasi sehingga terkumpul donasi hingga 7.047 dolar Australia atau setara Rp 70 juta.

Kisah perjalanan Stephanie mengejar mimpi menjadi balerina profesiona­l berhijab pertama di dunia pun diulas media-media dari berbagai negara. Di antaranya The New York Times, CNN, The Huffington Post, The Independen­t, dan Teen Vogue.

Inspirasi itu kini dia tularkan di Indonesia. Ketika berada di Bali, Bandung, maupun Jakarta, Stephanie berbagi kisah dengan ratusan anak muda. Di Bandung dia sempat bertemu pebalet anak dan berbagi motivasi dengan mereka. ”Sangat menyenangk­an berada di sini. Saya merasa diterima dengan baik,” kata Stephanie yang menyukai mi goreng ketika di Indonesia.

Bagi perempuan yang baru-baru ini membuat film pendek tentang balet bersama channel SBS Australia tersebut, balet menyediaka­n ruang untuk menceritak­an kisah dan mengekspre­sikan diri. Dari kisahnya, Stephanie menyuaraka­n pesan.

”Ini bukan saja tentang saya yang bercitacit­a menjadi balerina profesiona­l, tapi tentang siapa saja yang ingin mengejar passion- nya. Selama itu baik, jangan pernah berhenti meski banyak rintangan menghadang,” tuturnya. (*/c9/owi)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia