Surat Keterangan Lunas Diberikan kepada Lima Obligor
Sebagaimana diketahui, kala itu Syafrudin menerbitkan SKL untuk lima obligor BLBI.
Dalam pemeriksaan kemarin, Rizal membeberkan alur proses kebijakan BLBI yang menjadi sumber kejahatan ekonomi terbesar sepanjang sejarah Indonesia tersebut. ’’Ada kebijakan yang salah. Ada juga kemungkinan pelaksanaan yang salah,’’ ujarnya.
Rizal membandingkan skandal SKL BLBI dengan kasus Bank Century. Menurut dia, keduanya sama-sama merupakan kebijakan. ’’Kalau di (kasus) Century, sengaja mau merampok uang negara. Kalau dalam BLBI, inpres (instruksi presiden acuan penerbitan SKL, Red) tanyakan KPK saja,’’ ungkapnya.
Mantan Menko Kemaritiman itu sempat mengungkapkan peran Megawati Soekarnoputri yang pada 2002 mengeluarkan inpres rujukan penerbitan SKL BLBI. Menurut dia, ketua umum PDI Perjuangan itu lebih banyak diam saat membahas BLBI dalam sidang kabinet. ’’Presiden Megawati tidak memberikan keterangan apa pun,’’ terangnya.
Sebagai catatan, SKL BLBI diterbitkan Syafrudin atas dasar Inpres Nomor 8/2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasar penyelesaian kewajiban pemegang saham. Selain Sjamsul Nursalim, ada empat obligor lain yang mendapat SKL tersebut ( selengkapnya lihat grafis).
Rizal mengaku tidak tahu-me- nahu kebijakan SKL BLBI tersebut. Sebab, dia mengakhiri masa jabatannya sebagai menko perekonomian dan ketua KKSK pada 2001 atau setahun sebelum inpres tersebut diterbitkan. ’’Kami diminta keterangan karena mengetahui pengambilan keputusan masalah di BPPN,’’ ujarnya.
Secara umum, Rizal menjelaskan, kebijakan BLBI berawal dari tekanan organisasi Dana Moneter Internasional alias International Monetary Fund (IMF) pada 1998. Indonesia yang saat itu terdampak krisis moneter hebat disarankan meningkatkan bunga bank dari 18 persen menjadi 80 persen. ’’Sehingga banyak perusahaan sehat pada bangkrut,’’ terangnya.
Nah, dari situlah pemerintah mengeluarkan kebijakan pemberian suntikan dana segar berupa bantuan likuiditas untuk menyelamatkan bank-bank di tanah air. Saat itu pemerintah memberikan syarat kepada para pemilik bank agar mengembalikan pinjaman tersebut secara tunai, bukan berupa aset.
’’Pada pemerintahan Habibie dilobi, diganti tidak usah membayar tunai, tapi nyerahin aset saham tanah bangunan perusahaan.”
Dari kebijakan itu, tidak sedikit obligor yang menyerahkan aset bobrok bernilai rendah yang tidak sepadan dengan nominal pinjaman BLBI. Kebijakan itu pun dievaluasi dengan melibatkan perusahaan akuntan.
’’Perusahaan ini harusnya bertanggung jawab. Saya dengar dipanggil dua kali sama KPK tidak nongol. Seharusnya dia tanggung jawab,” bebernya.
Selain Rizal, KPK memeriksa mantan Wakil Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Eko Santoso Budianto. Hanya, dia irit berkomentar tentang kasus tersebut. Sebab, dia sudah tidak menjadi bagian dari BPPN pada 2000. ’’Dulu saya di BPPN. Saya dimintai keterangan karena saya keluar dari BPPN tahun 2000,’’ tutur mantan petinggi PT Berau Coal Energy tersebut.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menerangkan, penyidik memang mendalami kasus tersebut sejak awal kebijakan BLBI dirumuskan. Dari situ, komisi antirasuah ingin menggali proses pengambilan keputusan dan arah kebijakan penyelamatan ekonomi negara tersebut. ’’Untuk memahami itu, tentu tidak bisa melepaskan bagaimana proses sebelumnya,’’ tuturnya.
Pendalaman alur kebijakan itu membuka kemungkinan untuk meminta keterangan pemangku kebijakan lain. Misalnya, pejabat tinggi pemerintahan yang mengeluarkan kebijakan untuk menindaklanjuti persoalan BLBI. ’’Sekarang kami fokus pada rangkaian fakta dan peristiwa yang mau kami dalami,’’ imbuh Febri. (tyo/c5/ang)