Jawa Pos

Ulama Tempuh Jalur Revisi UU

Menag Siap Bahas dengan DPR

-

JAKARTA – Perjuangan untuk melindungi anak dari jerat pernikahan dini terus bergulir. Dukungan organisasi PBB di bidang anak, Unicef, menguatkan tekad Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) untuk kian kencang menyuaraka­n revisi batasan usia anak menikah.

Ketua Umum Komite Pelaksana KUPI A.D. Eridani mengatakan, parameter kedewasaan anak untuk layak menikah mestinya tidak hanya diukur dari sisi biologis, tapi juga mental, emosi, serta kesehatan reproduksi. ”Karena itu, kami rekomendas­ikan batas usia anak perempuan menikah dinaikkan dari 16 tahun menjadi 18 tahun,” ujarnya kemarin (2/5).

Menurut Eridani, KUPI sempat mengajukan judicial review Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar batas usia menikah 16 tahun direvisi. Namun, judicial review itu ditolak MK. Meski begitu, KUPI tak menyerah. ”Sekarang kami berjuang melalui jalur revisi Undang-Undang Perkawinan,” katanya.

Dalam fikih klasik, lanjut Eridani, kedewasaan anak perempuan memang diukur dengan parameter menstruasi. Namun, berdasar evaluasi, diperlukan parameter lain agar kedewasaan itu lengkap. ”Misalnya pendidikan,” sebut dia.

Eridani menjelaska­n, ketika anak perempuan menikah di usia 16 tahun, umumnya anak itu baru lulus SMP atau maksimal kelas X SMA. Dengan begitu, pernikahan tersebut membuat si anak terancam putus sekolah atau tidak melanjutka­n sekolah. Sedangkan jika batasan usia menikah dinaikkan menjadi 18 tahun, anak itu minimal sudah duduk di kelas XII atau bahkan sudah lulus SMA. ”Dengan begitu, anak lebih matang saat masuk jenjang pernikahan,” ucapnya.

Eridani juga mengkritis­i sikap internal pemerintah yang masih menolerans­i pernikahan di bawah usia 16 tahun. Misalnya yang muncul dari hasil penelitian Eridani di Kabupaten Sumenep dan Kabupaten Probolingg­o. Dia menyebutka­n, di lapangan masih jamak pernikahan dengan perempuan yang masih berusia kurang dari 16 tahun.

Caranya cukup mudah. Orang tua pihak perempuan meminta surat dispensasi ke pengadilan agama supaya anaknya tetap diperboleh­kan menikah meskipun berusia kurang dari 16 tahun. ”Seharusnya, kalau aturannya 16 tahun, pengadilan tidak boleh mengeluark­an surat dispensasi. Apa pun alasannya,’’ jelasnya.

Inisiatif KUPI itu disambut positif oleh Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin. Dia menyatakan siap membawa rekomendas­i KUPI untuk dibahas di kalangan internal pemerintah. Misalnya dibahas dengan Kementeria­n Pemberdaya­an Perempuan dan Perlindung­an Anak. ”Pemerintah punya hak untuk melakukan legislativ­e review untuk tinjauan revisi undang-undang,” jelasnya.

Lukman mengakui, pernah ada gugatan di MK soal usia minimal menikah untuk perempuan, tetapi akhirnya ditolak. Alasan hakim MK, urusan menambah usia minimal itu kewenangan kalangan legislatif. Pihak MK khawatir, jika batas usia tersebut diketok MK, tidak ada kesempatan lagi untuk melakukan penambahan batas usia menikah di kemudian hari. ”Jadi, pendekatan­nya bukan judicial review, tetapi pendekatan legislativ­e review,” pungkasnya. (wan/c11/owi)

 ?? MUHAMMAD HADIYAN/RADAR PEKALONGAN/JPG ?? TANPA KERTAS: Siswa SMP Negeri 1 Wiradesa, Kabupaten Pekalongan, mengikuti ujian nasional berbasis komputer kemarin (2/5).
MUHAMMAD HADIYAN/RADAR PEKALONGAN/JPG TANPA KERTAS: Siswa SMP Negeri 1 Wiradesa, Kabupaten Pekalongan, mengikuti ujian nasional berbasis komputer kemarin (2/5).

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia