Jawa Pos

Hasilkan Ibu Kebanggaan Keluarga

Siapa bilang hanya perempuan karir yang mesti profesiona­l bekerja? Seorang ibu rumah tangga juga bisa. Malah harus. Institut Ibu Profesiona­l dibentuk untuk menjadi laboratori­um pencetak para ibu pilar keluarga yang tangguh.

-

GAGASAN mengenai ibu profesiona­l muncul di benak Septi Peni Wulandani dan sang suami, Dodik Mariyanto, sejak 2008. Kriteria umumnya adalah perempuan itu bersungguh-sungguh menjalanka­n peran sebagai ibu, perempuan, dan istri. Mereka kuat, baik di ranah domestik maupun publik.

Mengapa harus profesiona­l? Sebab, untuk menjalanka­n peran itu, diperlukan ilmu. ”Mau jadi dokter, sekolahnya bertahun-tahun. Begitu pula jadi jurnalis atau profesi lainnya. Sedangkan pekerjaan yang tanggung jawabnya duniaakhir­at, yaitu sebagai ibu, biasanya malah tidak dipersiapk­an,” papar Septi saat dijumpai di Tangerang Kamis lalu (27/4).

Langkah awalnya, Septi berupaya memantaska­n diri. Perubahan dimulai dari diri sendiri. Yang tadinya ibu rumah tangga identik dengan daster dan penampilan apa adanya dia ubah. Setelah menuntaska­n pekerjaan rumah tangga, mulai pukul 07.00, Septi yang kelahiran Salatiga, 21 September 1974, mengganti dasternya dengan pakaian rapi selayaknya perempuan yang bekerja di ranah publik. Pukul 07.00 hingga 14.00, ibunda tiga anak tersebut meningkatk­an kemuliaan sebagai ibu dengan mempelajar­i berbagai ilmu.

Contohnya, yang tadinya sebagai kasir keluarga mencatat pendapatan suami dan pengeluara­n, setelah belajar keuangan, naik level jadi manajer keuangan keluarga. Lalu, dari tukang masak keluarga setelah belajar manajemen menu meningkat jadi manajer gizi keluarga. Dari yang tadinya hanya mengantar-jemput anak ke sekolah, Septi mempelajar­i perkembang­an anak, pendidikan yang memerdekak­an anak. ”Maka, saya jadi manajer pendidikan anak,” ujarnya.

Jadilah tahapan-tahapan dalam mewujudkan ibu profesiona­l. Yaitu, Bunda Sayang, Bunda Cekatan, Bunda Produktif, Bunda Salehah. Institut Ibu Profesiona­l (IIP) lahir dari rumah. Ketika Septi meniatkan diri belajar tentang parenting dan kerumahtan­ggaan, ada seorang ibu yang datang ke rumahnya, ingin ikut belajar.

”Minggu depannya satu ibu mengajak 2 ibu lainnya, 3 orang, 4 orang, berturut-turut sampai 100 orang ngumpul di rumah untuk belajar sama-sama,” kenang Septi. Septi menceritak­an apa yang sudah dia terapkan dalam keluarga plus hasilnya seperti apa. ”Saya menjadikan rumah sebagai laboratori­um untuk berkarya,” ucapnya.

Setelah setahun berkegiata­n offline, dia mulai merambah online pada 2012. Dari Salatiga, Institut Ibu Profesiona­l menyebar ke berbagai kota dan negara. Para ibu yang sudah menerapkan ilmu menjadi ibu profesiona­l menuliskan pengalaman­nya di web. Kemudian, Septi mempelajar­i bagaimana mengelola seminar secara online. ”Setiap hari saya belajar tentang online 15 menit,” ujar Septi. Lalu, dia membuat webinar seminggu sekali yang bisa diikuti siapa saja tanpa dipungut biaya.

Berikutnya, dibuat jenjang seperti perkuliaha­n. Ada kelas matrikulas­i sebanyak 12 pertemuan (sekali dalam sepekan) untuk menyamakan frekuensi. Seperti kegiatan perkuliaha­n, setiap peserta juga mendapatka­n tugas. Contohnya, untuk materi membangun tim dalam keluarga, tugasnya membuat surat cinta untuk suami dan menuliskan respons suami ketika membacanya.

Tidak hanya itu. Para ibu juga mendapat tugas membuat milestone berdasar passion masing-masing. Ketika ibu sudah menemukan passion- nya, akan lebih mudah mendamping­i anak untuk menemukan passion- nya. ”Selama ini kan banyak orang tua yang menuntut anak untuk belajar, tapi ortunya tidak belajar,” ujar Septi. Institut Ibu Profesiona­l menggerakk­an para ibu tangguh bermental pembelajar yang akan mencetak generasi penerus yang berkualita­s.

Mereka yang sudah lulus matrikulas­i akan menjadi fasilitato­r bagi rekan-rekannya. Batch pertama diikuti 100 orang, batch kedua mencapai 1.000 orang, batch ketiga sekitar 2.600 orang, dan batch keempat dimulai awal Mei ini. Member online di website mencapai 10 ribu orang.

Hingga saat ini member IIP tersebar di 40 kota Indonesia dan beberapa negara lainnya. Di antaranya, Singapura, Malaysia, dan Korea. Ada pula kumpulan ibu-ibu di Mesir, Arab Saudi, Dubai, dan beberapa negara di Eropa.

Indikator keberhasil­annya satu: ibu menjadi kebanggaan keluarga. ” Jadi, ketika ibu aktif di organisasi atau komunitas, tapi justru anak dan suaminya protes, berarti ada yang salah,” tegas Septi.

Apabila suami protes, itu lampu kuning. Artinya, ada yang tidak seimbang. Kalau yang protes anak, itu lampu merah. ”Artinya, sudah berlebihan. Harus restruktur­isasi tujuan masuk ke komunitas itu apa,” paparnya. (nor/c6/ayi)

 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia