Jawa Pos

Buka Galeri karena Rumah Tidak Bisa Tampung Koleksi

-

Namun, tampaknya ada satu yang khas. ’’Coba ketuk perlahan pakai jari. Dengarkan suaranya baik-baik,’’ ucap Fathoni. Benar saja, saat bagian tubuh guci tersebut diketuk dengan jari, bunyinya ’’ting’’ bukan ’’tong’’ seperti guci singkawang.

Menurut Fathoni, bunyi tersebut digunakan untuk menilai keaslian guci Tiongkok. Perbedaan bunyi itu disebabkan tanah yang digunakan saat membuat guci berbeda. ’’Selain keaslian tanah, lukisannya jadi penentu harga,’’ ungkapnya.

Pria kelahiran Surabaya itu kemudian memperliha­tkan koleksi porselen bentuk lain. Antara lain, patung, piring, serta vas bunga. Semua terlihat bernilai tinggi. Bukan hanya karena tampilanny­a yang mengilat. Gambar-gambar yang melekat di porselen-porselen itu juga indah. ’’Ini porselen bangsawan. Makanya, penggambar­an bunga dan kerajaan dominan,’’ papar Fathoni sambil mengambil sebuah piring berdiamete­r 25 sentimeter.

Terlihat lukisan sebuah bangunan kerajaan di Negara Panda yang bercat emas, lengkap dengan gambar kaisar beserta ratunya yang begitu memikat di piring itu. Barang tersebut terlihat eyecatchin­g meski terletak di tengahteng­ah puluhan koleksi lainnya.

Keramik Tiongkok memang menjadi koleksi favorit Fathoni. Bahkan, ada dua guci yang sangat berkesan baginya. Keduanya bernama rose meiping dragon fire vase. Sesuai dengan namanya, guci-guci itu memiliki motif utama naga api. Latar belakang biru dan tosca dibuat tidak begitu dominan agar motif naga api mendominas­i. Lambang kekuatan serta kekuasaan menjadi simbol bagi naga api. ’’Ini nggak bakal saya jual,’’ ucap Fathoni yakin.

Memang, jual beli produk-produk kuno menjadi usaha sampingan Fathoni sejak 2012. Namun, jalan itu tidak semata untuk urusan bisnis. Pria yang juga bekerja di bidang jasa renovasi rumah tersebut sebetulnya lebih dulu menjadi kolektor. Sejak belia Fathoni rajin berburu barangbara­ng antik. ’’Wah, sejak tahun sembilan puluhan (1990-an, Red) saya suka barang antik. Saat muda saya awali jadi filatelis,’’ ujar pria yang lahir pada 15 Mei 1974.

Masa kecil Fathoni dihabiskan di wilayah Dupak, Surabaya. Keluar masuk pasar loak di sekitar wilayah itu telah menjadi kebiasaan Fathoni dan teman-temannya saat remaja. ’’Tiap ada rilis prangko baru ya saya punya. Sampai sekarang katalognya masih ada. Lengkap,’’ lanjut Fathoni.

Mojokerto, Malang, Tuban, dan Semarang adalah empat kota yang jadi surga barang-barang antik Fathoni kala itu. Kini koleksinya mencapai ribuan. ’’Alasan kok akhirnya buka galeri ya karena rumah saya sudah nggak muat. Wong ini di rumah ibu saya juga masih banyak,’’ ungkapnya.

Dibantu anak sulungnya, Alif Ardiansyah, Fathoni kemudian membuat sebuah situs blog yang memasang foto-foto koleksinya. Respons luar biasa berdatanga­n. Banyak penggila barang antik yang langsung mengontakn­ya. Bahkan, pesanan dari Dubai, Malaysia, dan Amerika Serikat pun banyak diterima. Porselen Tiongkok, mebel pajangan Jawa, dan patung kuningan khas Majapahit jadi best seller.

Kini Fathoni tidak perlu berburu lagi. Dia sudah punya jaringan perombeng di berbagai wilayah. Jika ada barang temuan yang antik, pemburu itu bisa datang kepada Fathoni. ’’Jangan salah. Pemburu mulai dari lelang internasio­nal sampai tukang rombeng di desadesa itu ada jaringanny­a,’’ ucap ayah lima anak tersebut.

Fathoni mengatakan lebih sering menerima barang antik tidak terduga dari tukang rombengan. ’’Kadang temuan mereka malah yang limited edition banget,’’ ucap Fathoni, lantas tersenyum. Soal mempelajar­i nilai kekunoan dan budaya di balik barang itu, Fathoni punya setumpuk buku yang jadi referensin­ya untuk belajar. (c15/dio)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia