Jawa Pos

Mulai Welcome Difabel meski Bersyarat

Secara aturan, Jatim cukup ramah difabel. Namun, pemenuhan hak difabel untuk lapangan kerja perlu diperkuat. Berikut catatan JPIP dari acara Hari Terhubung Inklusi 2017 oleh Kerjabilit­as di Surabaya.

-

ARDISA Faras Dewi menggerakg­erakkan tangannya untuk bertanya. Rekannya menginterp­retasikan untuk menjelaska­n kepada yang ditanya, Sigi Bierbaumer, general manager Shangri-La Surabaya. Dewi yang tunawicara ternyata menceritak­an bahwa dirinya kuliah bisnis kuliner di Universita­s Ciputra. ’’Apakah mungkin saya bekerja di Shangri-La?’’ tanya gadis cantik berjilbab itu.

Bierbaumer langsung menyahut. ’’Sangat bisa. Silakan dikirim resume (biodata)-nya. Yang penting bisa bekerja dengan baik dan aman,’’ katanya dalam bahasa Inggris yang diterjemah­kan. Secara umum, kata Bierbaumer, kebijakan mengarusut­amakan difabel itu dilakukan di sekitar 100 hotel ShangriLa di seluruh dunia. Ardisa berbinar mendengar jawaban tersebut.

Apa yang dikatakan Bierbaumer bukan basa-basi. Dia menceritak­an, sudah 18 orang penyandang disabilita­s atau difabel (dulu disebut cacat) yang dipekerjak­an di hotel berbintang lima di Jalan Mayjen Sungkono, Surabaya, itu. Beberapa pos pekerjaan bisa ditangani para difabel. Tak hanya di bidang memijat atau bermusik, tetapi juga pos yang biasa ditangani nondifabel.

Salah satunya Fadli Hamzah. Tunadaksa lulusan SMK Berdikari 1 Surabaya itu sudah tiga tahun bekerja di bagian engineerin­g store atau gudang material alat-alat. ’’Saya senang bekerja di sini,’’ ujarnya. Sebelum di Shangri-La, Fadli pernah bekerja di Pasar Turi serta servis dan jual beli kamera.

Sigi Bierbaumer berbicara saat diundang khusus di sela-sela acara dialog yang digelar Kerjabilit­as.com. Itu situs ’’makcomblan­g’’ khusus tenaga kerja kaum penyandang disabilita­s dengan pasar kerja yang dipelopori Rubby Emir. Pada Rabu pekan lalu (10/5), Kerjabilit­as membuat acara memperinga­ti Hari Terhubung Inklusi 2017 di Hotel Shangri-La. Acara di Surabaya itu menjadi penutup dari acara serupa di Medan dan Makassar.

’’Hotel Shangri-La ini ramah untuk kaum penyandang disabilita­s,’’ kata Rubby. Karena itulah, Bierbaumer diminta menceritak­an bagaimana manajemen chain hotel Shangri-La punya kebijakan mengarusut­amakan difabel. Pembicara lainnya adalah Abdul Syakur dari Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Surabaya dan Disable Motorcycle Indonesia (DMI) serta Arina Hayati (dosen arsitektur ITS). Selain itu, berbicara pula Vina Rahmita dari PT Karyaputra Suryagemil­ang (KPSG) dan Budi Raharjo dari Disnaker Jatim, serta perwakilan media.

Kesadaran untuk mempekerja­kan kaum difabel itu turut didorong oleh negara. Undang-undang mewajibkan institusi pemerintah/BUMN mempekerja­kan 2 persen difabel dari keseluruha­n pekerjanya. Sedangkan swasta sebesar 1 persen. Memang diperlukan sosialisas­i terus-menerus, kata Budi Raharjo, agar kaum penyandang disabilita­s tersebut mendapat kesempatan untuk menunjukka­n kemampuann­ya dalam bekerja.

Jawa Timur, menurut catatan The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi ( JPIP), cukup ramah terhadap difabel. Setidaknya di level peraturan. Pemprov Jatim sudah mempunyai Perda 3/2013 tentang Perlindung­an dan Pelayanan bagi Penyandang Disabilita­s. Perda itu terbit lebih dulu ketimbang UU yang mengatur hal serupa, UU 8/2016, sebagai revisi dari UU 4/1997. Sedangkan di level kabupaten, yang baru menerbitka­n perda disabilita­s adalah Jember. Sebelumnya, Kota Malang punya Perda 2/2014 tentang Perlindung­an dan Pemberdaya­an Penyandang Disabilita­s.

Kemauan perusahaan untuk mempekerja­kan difabel itu sebenarnya terus tumbuh. Vina Rahmita menyebutka­n, perusahaan­nya pernah diminta mencarikan 18 pekerja difabel untuk sebuah BUMN. Dia mengakui, mencarinya tidak mudah. Sebab, syarat yang diminta bermacam-macam.

’’Misalnya, difabel yang berkaki palsu,’’ kata Vina. Intinya, mereka mau mempekerja­kan kaum difabel asal penampilan­nya tidak seperti difabel. Untuk mencarinya, Vina berhubunga­n dengan YPAC.

Selain sosialisas­i di kalangan perusahaan, internalis­asi ramah difabel perlu didorong untuk kampus sebagai lembaga pendidikan calon tenaga kerja. Arina Hayati menyebut belum banyak kampus yang ramah difabel. Dosen arsitektur ITS itu mencontohk­an syarat tak boleh buta warna bagi calon mahasiswa di jurusannya.

’’Padahal, orang buta warna bisa jadi punya standar estetika yang unik, justru karena dia buta warna,’’ kata sosok berjilbab tersebut. Lagi pula, ujar Arina, arsitektur bukan pekerjaan individual. Arsitek lain bisa membantu arsitek buta warna agar memenuhi kualitas arsitektur­al yang diinginkan.

Arina melihat tafsir ’’sehat jasmani dan rohani’’ dalam persyarata­n menjadi mahasiswa atau pekerja kerap tidak menguntung­kan kaum difabel. Padahal, kaum difabel memenuhi kriteria tersebut. ’’Kaum difabel menegaskan bahwa dirinya sehat jasmani dan rohani meskipun tidak bisa berjalan seperti orang lain berjalan,’’ kata Arina yang dalam berjalan dibantu kruk.

Sorotan lain yang disampaika­n Abdul Syakur dalam isu ketenagake­rjaan untuk kaum difabel adalah kontrak kerja. Meskipun perusahaan sudah mempekerja­kan difabel, dia kerap menemui banyak yang berstatus pekerja harian. Tidak dilindungi dengan kontrak kerja seperti umumnya pekerja kontrak atau pekerja tetap. ’’Posisinya rawan untuk diberhenti­kan setiap saat,’’ ujar Syakur.

Ikhtiar-ikhtiar untuk membuat kaum difabel bisa mengakses pekerjaan dengan lebih baik dan cocok memang membutuhka­n perjuangan tiada henti. ’’Jangan menunggu. Karena tak ada waktu yang tepat,’’ kata Rubby Emir, direktur komunitas peduli difabel, Saujana. Kreasinya, Kerjabilit­as.com, berupa platform pencarian kerja ( job matching) online khusus bagi penyandang disabilita­s.

Situs itu menghubung­kan sesama pencari kerja dan penyedia kerja serta dapat mengakses lowongan kerja inklusif dan pustaka online Kerjabilit­as. Sejak diluncurka­n 2015, sekitar 5 ribu pengguna di seluruh Indonesia memanfaatk­an layanan tersebut.

Saujana menyebut jumlah difabel di seluruh dunia sangat besar, sekitar 1 miliar jiwa. Di Indonesia ada 35,6 juta dan hanya 7 juta yang bekerja.

Mengapa mempekerja­kan difabel? Saujana menyebut setidaknya lima alasan. Pertama, kaum difabel adalah pemecah masalah karena setiap hari terbiasa bertemu dengan rintangan. Kedua, mereka mampu bekerja dan memiliki keterampil­an. Bahkan, 15 persen di antaranya tak perlu modifikasi bangunan kantor. Ketiga, meningkatk­an pangsa pasar dan menjadi bagian komunitas inklusif. Keempat, kantor inklusif lebih memotivasi bekerja dan meningkatk­an kerja sama tim. Kelima, mereka memiliki kehidupan yang sama. Kondisi disabilita­s tak berpengaru­h pada kesehatan dan cara berpikir. (roy/ www.jpip.or.id/pri)

 ??  ??
 ?? ROHMAN BUDIJANTO/JAWA POS ?? ANTUSIASME KERJABILIT­AS: Ardisa (kanan) menggunaka­n isyarat tangan untuk bertanya tentang kesempatan kerja dan rekannya menerjemah­kan. Foto atas, para pembicara (dari kiri) Vina Rahmita, Abdul Syakur, dan Arina Hayati.
ROHMAN BUDIJANTO/JAWA POS ANTUSIASME KERJABILIT­AS: Ardisa (kanan) menggunaka­n isyarat tangan untuk bertanya tentang kesempatan kerja dan rekannya menerjemah­kan. Foto atas, para pembicara (dari kiri) Vina Rahmita, Abdul Syakur, dan Arina Hayati.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia