Michael, Peter, Jajallah Sate Ayam di Warung...
KLUB Australia Sydney FC pernah merekrut mantan mahabintang Juventus Alessandro del Piero. Di Thailand, Muang Thong United juga sempat mendatangkan eks penyerang andalan Liverpool Robbie Fowler. Sedangkan Pablo Aimar yang pernah membela River Plate, Valencia, dan Benfica juga pernah merumput di tim Malaysia, Johor Darul Ta’zim.
Semuanya bisa dibilang, dalam istilah yang tengah populer di Indonesia, adalah marquee player. Begitu pula mantan pemain Arsenal Jermaine Pennant yang musim lalu berkostum klub Singapura Tampine Rovers.
Apa yang terjadi kemudian? Tak satu pun dari klub-klub tersebut yang kini mengulangi pengalaman tersebut. Artinya, uang besar yang dikeluarkan untuk mendatangkan mereka tak sebanding dengan dampak yang dihasilkan.
Apakah itu juga yang akan terjadi di klubklub Liga 1 yang telah mendatangkan marquee players? Tentu terlalu dini untuk menghakimi. Kompetisi baru berjalan beberapa pekan.
Tapi, yang patut dicatat, di sini, sempat ada jeda sangat lama setelah Pelita Jaya mendatangkan Mario Kempes dan Roger Milla dengan gelombang kedatangan marquee player di Liga 1 musim ini. Dengan segala raihan mereka, bolehlah dibilang Kempes dan Milla merupakan generasi pertama marquee player di sini.
Kedatangan Michael Essien, Peter Odemwingie, Mohamed Sissoko, dan para marquee players lainnya ke Liga 1 memang mendapat sorotan luas. Tak hanya di Indonesia, tapi juga secara global. Sekaligus memicu pertanyaan: di mana posisi sepak bola Indonesia sekarang?
Yang dilakukan Persib dengan mendatangkan Essien memang memperlihatkan tingginya kepercayaan diri mereka terhadap sepak bola dan Persib sendiri. Pelatih PSM Robert Alberts bahkan sempat mengatakan bahwa gaji tahunan Essien hampir sama dengan anggaran semusim klub asuhannya.
Asal ada uang, agen akan berdatangan dan pemain mana saja bakal mudah didatangkan. Lihat yang terjadi sekarang di Liga Tiongkok.
Tapi, begitu uang sudah mengering, simak saja contohnya pada Indonesian Premier League dulu. Satu per satu pemain impor yang didesain sebagai marquee player hengkang ketika itu. Dan, apa yang didapatkan sepak bola Indonesia?
Yang juga patut ditelisik, akankah kedatangan para pemain asing turut membantu atau malah menghalangi perkembangan bakat-bakat muda? Bakal sangat bergantung ke pa da attitude para pemain asing itu sendiri.
Kalau sampai mereka mulai mengeluhkan kondisi lapangan dan fasilitas latihan di sini dengan di London atau Madrid, bisa ditebak kehadiran mereka tidak akan membawa dampak apa-apa.
Sebaliknya, kalau mereka mau berupaya keras untuk beradaptasi, hasilnya bisa jadi bakal positif dan meninggalkan legasi yang patut dikenang. Coba pelajari bahasanya. Atau mungkin ikut rekan-rekan setim menjajal sate ayam atau kuliner lainnya di warung.
Dengan latar belakang Essien, Carlton Cole, atau Odemwingie yang berputar di liga-liga top Eropa, menarik pula ditunggu bagaimana reaksi mereka saat menjalani laga tandang di negeri kepulauan ini. Bayangkan saat mereka kelak harus berganti-ganti pesawat, transit berjam-jam, untuk bisa sampai ke kandang Perseru Serui.
Juga bagaimana jika kelak ternyata eksperimen marquee player ini berhasil? Persib dengan Essien-nya, misalnya. Persib jelas salah satu klub terbesar di Indonesia. Mendatangkan Essien jelas butuh dana besar. Tapi, jika ternyata Persib bisa memanfaatkannya dengan tepat untuk menaikkan profil mereka, akankah itu bakal mengubah mereka menjadi kekuatan regional?
Banyak pertanyaan memang. Dan, jawabannya masih harus ditunggu seiring berjalannya kompetisi. Yang pasti, kedatangan namanama besar semakin meramaikan liga yang sedang berjalan. (*) *Penulis buku ’’Sepakbola: The Indonesian Way of Life’’