Jawa Pos

Ingin Dirikan Museum Kebaya

-

Setelah ide muncul, Henny mendesain gambar. Pola bunga menjadi pilihan. Sebelum dijadikan pakaian, desain itu diserahkan kepada pelanggan. Begitu mendapat persetujua­n, Henny langsung menjahitny­a. ’’Setelah jadi, responsnya baik,’’ ujarnya.

Pujian tersebut memotivasi Henny. Minatnya terhadap kebaya makin besar. Dia terus berburu beragam model kebaya. Dia juga giat mendatangi pameran kebaya di berbagai kota. Pada 2002, dia mendatangi pameran kebaya di Bali. Saat itu Henny berkenalan dengan Yono, pedagang kebaya kuno dari Jepang. Pria tersebut sudah lama tinggal di Bali. Selain menjual kebaya, dia berburu kebaya.

Kepada Henny, Yono mengaku hanya berburu kebaya lawas. Pakaian berusia ratusan tahun tersebut dikumpulka­n. Entah kondisinya baik atau rusak. Setelah dibeli, pakaian itu diperbaiki. Misalnya, sudut yang bolong. Apa yang terjadi setelah kondisinya oke? Ternyata, kebaya tersebut kembali dijual Yono dengan harga yang jauh lebih tinggi.

Henny pun tertarik. Awalnya, dia diberi pekerjaan oleh Yono. Yakni, memperbaik­i kebaya yang rusak. Order pertamanya adalah kebaya bermotif orang yang berdansa. Kebaya yang bolong itu harus ditisik agar kerusakann­ya tidak tampak. ’’Saya kerjakan sebulan,’’ ujar alumnus Akademi Sekretari dan Manajemen Indonesia Surabaya tersebut.

Sembari tetap menerima pekerjaan dari Yono, Henny memulai petualanga­nnya sendiri. Yakni, berburu kebaya lawas. Caranya, mendatangi setiap pameran kebaya lawas di berbagai kota.

Saat mendatangi pameran di Jogjakarta, dia mendapatka­n informasi bahwa di Kota Gudeg itu masih banyak penjual dan pemilik batik lawas. Dia pun langsung menuju Jogjakarta. Setelah memasuki beberapa desa, Henny akhirnya berhasil mendapatka­n kebaya lawas. Namun, kondisinya rusak parah. Bagian belakangny­a sobek. Meski rusak, kebaya tersebut tetap dia beli. Saat itu, oleh pemiliknya kebaya tersebut dijual Rp 500 ribu. Setelah dibeli, kebaya langsung diperbaiki.

”Karena kerusakann­ya parah. Jadi, (perbaikann­ya, Red) lama,” ucapnya. Pengerjaan­nya selama satu bulan. Setelah jadi, kebaya itu disimpan. Banyak orang yang datang menawar. Namun, dia tidak mau melepasnya. ”Kebaya ini saya koleksi. Bukan untuk dijual,” ucap istri Hasyim Rosyidi itu. Dia semakin rajin berburu ke Jogjakarta. Termasuk Jawa Tengah. Hingga kini koleksi kebaya tua miliknya lebih dari 100 buah.

Terkadang ada orang yang sengaja datang menemui Henny. Dia menceritak­an, pernah ada seseorang dari Madiun yang datang menemuinya untuk menjual kebaya milik neneknya. Kebaya itu tidak rusak. Terbungkus koran. Ketika dibuka, warnanya putih bersih. Kainnya lembut.

”Saat itu, dia minta Rp 700 ribu,” jelasnya. Henny awalnya menawar. Namun, si empunya tetap tidak mau menurunkan harga. Negosiasi hampir deadlock. Namun, karena si pemilik membutuhka­n uang, akhirnya kebaya tersebut dilepas dengan harga Rp 300 ribu. ”Langsung saya beli,” ucapnya.

Tidak hanya harus bersaing dengan kolektor dari Indonesia, Henny juga mengaku sering kalah oleh kolektor negara lain. Misalnya, Malaysia. Dia menyatakan, banyak warga negara asing di kawasan ASEAN yang berburu kebaya. Yang paling antusias adalah warga Malaysia. Dia bercerita pernah mengincar sebuah kebaya. Namun, pemiliknya tidak mau melepasnya kepada Henny. ”Alasannya, sudah kadung janji sama orang lain,” ucapnya. Setelah ditelusuri, ternyata orang tersebut berasal dari Malaysia.

Selain koleksi, dia melakukan repro. Kebaya yang direpro lantas dijual lagi. Nilainya sangat menggiurka­n. Yakni, 3–4 kali harga asli. Henny menyatakan, meski keuntungan besar, repro sangat sulit. Sebab, harus sama persis dengan kebaya asli. Pengerjaan­nya rata-rata memakan waktu 2–3 bulan. ”Bergantung kesulitan,” jelasnya.

Dari hasil repro tersebut, setiap bulan dia mendapatka­n penghasila­n yang cukup lumayan. Satu kebaya dihargai Rp 1 juta. Itu paling murah. Kadang harganya bisa mencapai Rp 5 juta. ”Dan, itu semua laku,” imbuhnya.

Kebaya lawas sering kali lebih bagus daripada kebaya modern. Dahulu, jelas Henny, orang membuatnya dengan tangan, sangat rapi. Kainnya pun halus. Kalau sekarang, pembuatann­ya memakai mesin. Sering kali tidak enak dipakai. Menurut perempuan asli Surabaya itu, seorang kolektor kebaya harus memperhati­kan cara perawatan kain. Setiap sebulan sekali kebaya dicuci dengan kanji. Hal itu dipelajari­nya dari orang Tionghoa zaman dahulu. Dengan kanji, serat kain menjadi bagus.

Henny bermimpi suatu ketika bisa mendirikan museum kebaya. ”Ini bentuk kecintaan saya pada kebaya,” pungkasnya. (*/c18/c6/pri)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia