Jawa Pos

Makan Kita Bersatu

- Catatan AZRUL ANANDA (123)

PUSING dengan isu perpecahan dan toleransi? Ayo kita makan-makan untuk menyelesai­kan masalah bangsa dan bernegara! *** Ketika stuck/ nyangkut mencari inspirasi menulis, saya biasanya iseng bertanya kepada beberapa orang untuk usulan tema

Biasanya usulan-usulannya sangat beragam, membantu bola ide di kepala saya memantulma­ntul sampai ketemu tema yang paling pas berikut keunikan dan kelucuanny­a.

Pekan ini agak beda. Pekan ini semua yang saya tanya memberikan usulan yang sama: Isu perpecahan, toleransi, dan kekhawatir­an terhadap masa depan Indonesia.

Karena ini kolom suka-suka dan sebaiknya tidak serius, tentu saya tidak ingin menulis soal itu. Apalagi sudah banyak yang menulis soal itu, baik dengan cara serius ataupun mencoba santai. Tulisantul­isan saya terdahulu juga sudah banyak yang ”menyenggol” tentang masalah ini.

Ketika terus stuck, saya pun makan. Dan saat makan, saya baru sadar kalau saya tidak pernah menulis tentang makanan. Pernah menyinggun­g soal diet dan hal berkaitan tentang makanan, tapi tidak pernah tentang makanan.

Dan kalau dipikir-pikir, makanan adalah sumber dari segalanya, bukan? Kalau tidak ada makanan, urusan makan menjadi sumber dari segala kemarahan, kekecewaan, kerusuhan, dan hal-hal violent lain.

Makanan juga menjadi alat pemersatu nomor satu, alat untuk menyelesai­kan masalah nomor satu.

Berantem atau berselisih dengan orang? Ketika berdamai, paling enak makan-makan. Lama tidak bertemu dengan teman? Ayo kita kumpul dan makan-makan. Ingin menjalin hubungan dengan seseorang? Paling asyik (bahkan romantis) sambil makan-makan. Ingin mengenalka­n orang yang dicintai dengan keluarga? Ya juga dengan makan-makan.

Bahkan, saat menjalani pernikahan pun, acaranya mengajak semua yang dikenal (dan yang tidak dikenal) di acara makan-makan.

Pertemuan bisnis pun paling enak dengan makan-makan. Mau yang lebih luas lagi? Demonstras­i sebesar apa pun bakal berhenti ketika ribuan orang itu sudah kelaparan saat jam makan. Kalau makanan datang, segalanya tenang. Kalau tidak kunjung ada makanan, waduh, bisa berbuntut ke hal-hal paling tidak diinginkan.

Makanya, ketika ada demonstras­i besar, selalu diiringi dengan banyak orang berjualan di pinggir jalan.

Apa pun tujuannya, apa pun masalahnya, pokoknya harus ada makan-makan.

Dan Indonesia ini surganya makanan, bukan? Cobalah melihat sekeliling, makanan sebenarnya sudah membuat kita lebih mengenal, lebih toleransi, dan lebih mencintai suku bangsa lain.

Banyak orang Jawa cinta nasi padang. Banyak orang Betawi suka mencoba nasi rawon. Banyak orang Manado suka penyetan.

Lihat restoran-restoran masakan Indonesia yang top. Masyarakat Tionghoa suka memenuhiny­a, atau bahkan menjadi pemilik dan kokinya. Begitu pula sebaliknya, makanan Tionghoa sudah menjadi menu sehari-hari banyak masyarakat yang lain. Bagi yang muslim, makanannya disesuaika­n menjadi halal.

Karena selera makannya sudah saling bersilang tidak keruan, jadi seharusnya sudah tidak ada alasan untuk saling membenci dan menghina.

Tidak perlu lah memikirkan terlalu tinggi tentang bagaimana hidup berbangsa dan bernegara yang baik. Kadang-kadang terlalu filosofis, terlalu ”tinggi”, tidak bisa diartikan dan diterapkan secara praktis.

Mari kita semua sepakat, bagaimana caranya supaya kelak kita semua bisa selalu makan-makan bersama.

Kalau berhenti berantem dan saling mencurigai (apalagi mengadu satu sama lain), kita semua bisa fokus bekerja dan membangun diri sendiri dan orang lain di sekitar kita.

Gak usah mikir orang terlalu banyak, kita sendiri saja dan orang-orang di dekat kita. Nantinya semuanya maju, punya kemampuan untuk makan lebih. Kemudian punya kemampuan untuk makan-makan bersama orang lebih banyak, dan lebih banyak lagi, dan lebih banyak lagi.

Bukankah lebih enak duduk bersama sambil makan-makan? Mulutnya disibukkan untuk mengunyah makanan lezat, bukan untuk berteriak-teriak dan mencaci maki satu sama lain.

Toh banyak berteriak dan mencaci maki pada akhirnya juga belum tentu membuat kita bisa makan lebih banyak, atau makan lebih enak.

Sudahlah, buat apa terlalu pusing sama hal-hal yang tidak konkret dan tidak jelas. Ayo fokus membuat hidup sendiri dan lingkungan terdekat lebih baik.

Kalau sejahtera, kita bisa makanmakan lebih banyak dan enak.

Kalau lingkungan kita sejahtera, kita bisa sering saling traktir untuk makan-makan lebih banyak dan enak.

Kalau masyarakat satu negara bisa lebih sejahtera, semua akan lebih asyik makan-makan daripada saling mencaci maki.

Ayo bersihkan mulut kita dari segala cacian penuh kebencian. Ayo penuhi dengan aneka ragam makanan Indonesia yang luar biasa! Ayo makan-makan! Itadakimas­u! (*) Catatan Tambahan: Andai Anda bertanya apa makanan favorit saya, jawabannya kompleks. Ayah saya dari kawasan Madiun, jadi mungkin secara genetik saya suka nasi pecel. Ibu saya Banjar, jadi mungkin secara genetik saya juga suka ikan. Saya ”besar” di Amerika, jadi tentu suka steak dan burger. Saya sekarang fokus olahraga sepeda dan jaga badan, jadinya doyan salad dan pasta. Restoran favorit saya –maaf kalau jauh– ada di San Francisco. Namanya Yuet Lee dan mereka punya cumi goreng paling enak sedunia. Kesimpulan­nya: Anggap saja saya ini global citizen sejati, selera sedunia mengumpul jadi satu…

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia