Prasyarat Bangkitnya Kawasan Asia
PERTUMBUHAN ekonomi di Asia terus melesat bila dibandingkan dengan negara-negara di Eropa maupun Amerika. Apalagi bila dilihat dari data hard power measures seperti GDP, volume perdagangan, kemajuan teknologi, hingga kemampuan militer, Asia ke depan akan menjadi salah satu kekuatan terbesar di dunia. Banyak pengamat berpendapat bahwa abad ke-21 ini tak hanya dikuasai negara-negara kunci seperti Tiongkok, India, dan Jepang. Tapi juga negara-negara lain seperti Korea Selatan, Vietnam, dan Indonesia. Asia secara keseluruhan akan menggeser dominasi Barat yang selama berabad-abad menguasai dunia.
Meski begitu, ada yang melihat kebangkitan Asia hanya dari GDP dan volume perdagangan menjadi misleading atau bias. Sebab, kawasan Asia masih menghadapi persoalanpersoalan politik, keamanan, sosial, dan ekonomi. Beberapa negara seperti Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan mengalami perlambatan pertumbuhan. Sedangkan India, termasuk Indonesia, masih bertarung dengan masalah birokrasi, korupsi, serta reformasi. Karena itu, kawasan Asia harus diamati dengan perspektif lain.
Profesor Chung Min Lee dari Yonsei University, Korea Selatan, mengatakan, selama negara-negara di Asia tidak mengurangi persoalan-persoalan strategis di bidang politik dan militer, apa yang disebut kebangkitan Asia tidak akan terwujud sempurna. Saat ini secara de facto terjadi perlombaan senjata. Berbagai lembaga menyebutkan bahwa Amerika Serikat masih mendominasi dengan anggaran militer 2016 sebesar USD 611 miliar. Sedangkan total anggaran belanja militer gabungan negara Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Australia, Taiwan, dan Singapura pada 2015 hanya USD 334 miliar. Data Stockholm International Peace Research Institute pada 2010–2014 menyebutkan, 9 dari 20 top importer senjata adalah negara-negara Asia.
Sementara itu, Tiongkok punya ambisi besar mengalahkan pengaruh Amerika Serikat di kawasan Pasifik Barat dengan agresif membangun kekuatan militer di Laut China Selatan. Di luar itu, kawasan Asia merupakan daerah konflik militer. Yaitu Semenanjung Korea, di mana Korea Utara aktif melakukan uji coba rudal nuklir, dan kawasan teluk Taiwan. Lalu India yang berlomba dengan Pakistan untuk menjadi negara yang dominan di bidang nuklir di Asia Selatan.
Selain itu, persoalan politik dalam negeri lebih kompleks. Misalnya, Tiongkok menghadapi serbuan informasi global. Karena itu, ada yang berpendapat bahwa ancaman paling besar untuk negara tersebut tidaklah berasal dari negara-negara seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, atau Jepang. Melainkan dari anak-anak mudanya yang berpendidikan, memiliki wawasan global, dan sudah menjadi ”warga dunia” yang secara terus-menerus menuntut kebebasan serta pemerintahan yang bersih.
Kita juga menyaksikan begitu berambisinya Korea Utara untuk melakukan percobaan-percobaan senjata pemusnah masal. Sementara itu, di Pakistan, meskipun pemerintahannya adalah pemerintahan sipil, militer masih mendominasi. Negeri itu juga terlibat perlombaan senjata nuklir dengan tetangganya, India. Sedangkan di Myanmar, meskipun demokrasi di negara anggota ASEAN itu sudah terbuka, pihak militer belum sepenuhnya mau menyerahkan kekuasaan. Thailand, Malaysia, dan Indonesia juga masih bersusah payah menghadapi praktik-praktik korupsi di berbagai bidang. Di samping masalah korupsi, negeri kita sendiri juga mulai dihadapkan pada masalahmasalah sektarian atau SARA dalam pemilihan kepala daerah.
Atas berbagai masalah yang dihadapi itu, Profesor Lee berpendapat bahwa sebagian besar negara di kawasan Asia masih cenderung lebih nyaman untuk berhubungan atau bersandar pada Amerika Serikat. Terutama jika dibandingkan dengan Tiongkok dalam memelihara keamanan dan kemakmuran kawasan. Namun, tidak dapat disangkal bahwa kawasan Asia telah mengalami kemajuan pesat di bidang ekonomi dan demokrasi. Namun, bila negara-negara itu tidak serius dalam menangani persoalan dalam negeri di bidang politik, sosial, dan ekonomi, meski bangkit, Asia tidak bisa mendominasi dunia. Dalam melihat konstelasi global di kawasan Asia itu, Indonesia tentu harus tetap menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif. Tidak boleh bersandar pada pengaruh satu negara.
Juga yang lebih penting, negeri ini harus lebih bijak dalam menghadapi dinamika politik tanah air yang akhirakhir ini menyangkut kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ketidakseriusan menyelesaikan masalah-masalah itu akan membuat pembangunan nasional terhambat dan Indonesia secara tidak langsung menjadikan dirinya sebagai ”penghambat” kebangkitan Asia. (*)