Pengorbanan Lembayung Bali
Masih ingat suara lembut Saras Dewi menyanyikan Lembayung Bali yang rilis 2002? Tergolong one-hit wonder karena setelah itu Saras lebih berfokus pada dunia akademis. Meraih gelar doktor filsafat pada usia 29 tahun, istri musisi Coki Bollemeyer itu kini menikmati peran sebagai pengajar. Berikut obrolan dengan perempuan 33 tahun tersebut di Gudang Sarinah, Jakarta, pada Minggu (14/5). Apa yang membentuk Saras menjadi seperti sekarang?
Sebagai orang Bali, secara organik saya dibiasakan berkesenian sejak kecil. Menyanyi, menari, serta membaca puisi, sajak, dan karya sastra. Sejak kecil saya dididik di lingkungan guru. Kakek dan nenek saya, I Made Dhama dan Sunarti Dhama, mengabdikan diri di bidang pendidikan. Saya senang melihat beliau mengajar. Lalu, ketika ke Jakarta untuk kuliah, saya bertemu Purwacaraka, ditanya kenapa tidak coba menyanyi? Saya juga menulis lagu sejak umur 14–15 tahun. Salah satunya, Lembayung Bali. Namun, saat mulai menyanyi, hati saya berkata ingin lebih meneruskan menjadi guru. Lantas, Saras mulai meniti karir di bidang akademik? Seperti sudah menjadi jalannya, saya mengambil kuliah S-1 filsafat di Universitas Indonesia (UI), kemudian mendapat beasiswa S-2 dan S-3 serta ikatan kerja, juga dari UI. Lulus S-1 pada 2004, saya langsung direkrut Departemen Filsafat UI. Awalnya menjadi asisten dosen hingga sekarang mengampu banyak mata kuliah, baik secara mandiri maupun tim. Rampung tesis sekitar usia 25 tahun, lanjut S-3 dan lulus doktor pada usia 29 tahun (Dr Saraswati Putri SHum MHum termasuk doktor perempuan termuda di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI). Pada saat menempuh S-3, saya juga menjadi kepala program studi filsafat FIB UI. Mengapa filsafat? Buat saya, ilmu filsafat bisa menjadi fondasi untuk studi keilmuan apa pun. Karena hakikatnya bertanya, memproses dengan akal budi, kritis, logis, dan rasional. Banyak orang merasa filsafat itu ilmu yang mengawang-awang, abstrak, Menurut saya, itu juga menjadi tanggung jawab para pegiat filsafat di Indonesia untuk merelevansikan ilmu tersebut dengan fenomena sosial yang terjadi sekarang. Hal terbaik yang dirasakan dengan menjadi pendidik? Saya tidak bisa membantah, kebahagiaan saya adalah berinteraksi dengan mahasiswa. Sejak mengajar pada 2003, yang selalu bikin saya semangat ke kampus adalah bertemu mahasiswa. Gagasan mereka cemerlang. Kita sebagai pendidik bertugas sebagai fasilitator, harus tahu cara melayani keingintahuan mereka, berbagi ilmu. Membiarkan mereka menyusun terobosan-terobosan berikutnya. Ada pengalaman berkesan dengan mahasiswa? Awal-awal mengajar, beda usia saya dengan mereka hanya 1–2 tahun. Lucu juga, kami seperti teman. Kalau sekarang sudah lebih jauh bedanya, sekitar 10 tahun. Saya di kampus dipanggil Mbak Yayas. Dengan alumnus atau mahasiswa bimbingan skripsi dan tesis, kami masih berteman sampai sekarang. Ada yang bekerja di instansi, ada yang mengembangkan pertanian di daerahnya. Alangkah bahagianya saya ketika tahu ilmu yang kita diskusikan bisa bermanfaat buat mereka. Lagu Lembayung Bali punya kesan yang amat kuat. Tidak ingin kembali ke dunia tarik suara? Lagu itu dirilis lebih dari 15 tahun lalu, tapi publik masih ingat.
saya buat ketika meninggalkan Bali ke Jakarta. Meninggalkan desa, orang-orang yang disayang, itu pengorbanan. Tapi, tanpa pengorbanan, kita tidak akan mencapai apa-apa.
Banyak pendengar yang bilang, mereka punya kenangan masing-masing dengan lagu itu. Maknanya amat dalam bagi saya. Berkesenian seharusnya seperti itu, karyanya jadi milik orang banyak. Tapi, untuk kembali berkarir menyanyi secara komersial, saya rasa tidak. Saya menemukan hati dan jiwa sebagai pendidik. Support keluarga terhadap pilihan karir Saras? Apa yang saya jalani atas dukungan mereka. Coki sangat support, kami berdua berangkat dari seniman. Kami ingin karya kami bukan untuk tujuan komersial semata. Coki itu tampangnya gahar, di rumah dia orang yang sangat Kami menikah sudah 7 tahun, sebelumnya kenal sudah 8 tahun. Jadi, total sekitar 15 tahun. Saya mengajar berangkat pagi, dia lebih sering malam kerjanya. Butuh kejelian untuk mengatur waktu. Saya beruntung punya suami dia. Kami saling mendukung mimpi masing-masing. (nor/c7/ayi)