Sambutan dari Mendung dan Gula Aren
Ya, yang dikejar oleh Balai Arkeologi (Balar) Jogjakarta memang harta. Tapi, bukan nominalnya yang dikejar. Melainkan nilai kesejarahan benda-benda yang hingga kini masih tinggal di dasar lautan.
PAGI benar tim Balai Arkeologi Jogjakarta berkumpul di Pelabuhan Gresik. Azan Subuh saja belum berkumandang pagi itu, Kamis (4/5). Mengapa harus buru-buru? Toh, kapal cepat Express Bahari juga baru berangkat ke Bawean pada pukul 09.00.
Kedatangan pagi itu beralasan. Mereka harus mencuri waktu untuk loading barang. Ruang bagasi kapal harus benar-benar kosong untuk mendapatkan tempat paling oke.
Sebab, bawaan seabrek. Terdapat delapan scuba set ( peralatan selam) yang harus diangkut dengan dua mobil
Ada baju selam, sepatu katak, tabung oksigen beserta regulator dan slang penghubungnya. Alat-alat itu masih ditambah tas dan koper pribadi milik 12 anggota rombongan peneliti dan penyelam.
Semuanya harus dikumpulkan jadi satu. Sebab, bila ada tas yang terbawa orang, agenda ekspedisi Pulau Bawean bisa kacau. Misalnya, tabung-tabung sudah terbawa, tapi regulatornya hilang. Agenda penyelaman tak bisa terwujud. Padahal, inti perjalanan itu adalah penelitian bawah laut.
Setelah seluruh barang terkumpul di bagasi, tim itu mampir ke rumah Iling Khairil Anwar. Iling adalah arkeolog asal Bawean yang kini menjadi kepala Seksi Purbakala dan Kesejarahan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Gresik. Pengetahuan Iling tentang Pulau Putri, sebutan lain Bawean, menjadi kompas bagi tim Balar.
Kapal akhirnya berangkat pukul 09.02. Hampir tidak ada satu pun kursi yang tersisa. Setelah satu jam perjalanan, Pulau Jawa dan Madura perlahan hilang dari pandangan. Yang terlihat hanya lautan. Tanpa batas. Seolah menyatu dengan angkasa di sudut-sudutnya.
Setelah tiga setengah jam berlayar, kami akhirnya menapakkan kaki di Bawean. Pulau Seribu Bukit itu diselimuti mendung. Awan kelabu menutupi puncak-puncak bukit nan hijau tersebut. Tim balar berharap cuaca ganas tidak menemani selama penelitian.
Di pinggir dermaga, sinar mentari masih sedikit menyinari. Sudah banyak buruh angkut yang menunggu di dermaga. Mereka sudah dipesan penduduk asli Bawean yang pulang kampung.
Untung, tim balar sudah menyewa mobil jauh-jauh hari. Bila tidak, perjalanan 5 kilometer menuju penginapan harus ditempuh dengan jalan kaki.
Saking banyaknya barang, mobil pengangkut harus dua kali bolakbalik. Setelah itu, giliran orangorangnya yang diangkut.
Namun, mobil tidak langsung bertolak ke utara, menuju penginapan Bahagia di dekat Alun-Alun Bawean, tempat tinggal kami.
Kami terus saja ke timur menuju pesanggrahan milik Pemkab Gresik. Sudah ada jamuan makanan laut yang melimpah di gedung peninggalan Belanda tersebut. Cumi-cumi, cakalang asap, sup kepala ikan, dan sambal udang. Cocok dengan perut yang sudah minta diisi. Menu itu pun nyaris tak bersisa. Terlebih, hidangan tersebut dilengkapi minuman dingin gula aren khas Bawean.
Tiga puluh menit setelah mengisi perut, tim langsung melakukan rapat koordinasi. Rapat dilakukan di ruang belakang pesanggrahan.
*** Hery Priswanto adalah ketua penelitian arkeologi maritim Pulau Bawean. Karena itu, dia sudah tidak asing lagi dengan pulau yang berjarak 120 kilometer di utara Gresik tersebut. Sudah tiga kali dia menyambangi Pulau Putri.
Proyek jangka panjang itu dirintisnya sejak 2015 hingga 2019. Tahun lalu peneliti mendapatkan hasil signifikan. Ada satu kapal yang ditemukan di dasar laut, di timur Bawean.
Kapal itu ditemukan di antara Pulau Gili dan Pulau Nusa. Selain itu, ditemukan sebaran keramik asing di sejumlah desa. Mulai di Sawah Mulya, Sungai Rujing, Pudakit, Kumalasa, Gunung Teguh, Sidogedungbatu, Teluk Dalam, dan Kepuh Teluk. Nah, penelitian kali ini mendalami temuan sebelumnya.
Namun, beberapa anggota tim terbilang baru. Meski begitu, ilmu mereka mumpuni. Punya pemahaman khusus di masingmasing bidang ilmu.
Wakil Kepala Balar Jogjakarta Tri Marhaeni punya keahlian tentang keramik kuno. Ada juga Alifah, anggota tim yang ahli di bidang arkeologi prasejarah. Dia adalah pakar zaman batu. Pakar tentang zaman batu. Bukan pakar dari zaman batu, hehehe... Dan, peranti purba itu juga ditemukan di Bawean.
Heny Budi, peneliti Institut Teknologi Yogyakarta (INY) jurusan teknik kelautan, juga turun tangan. Dia bertugas mengidentifikasi karakter terumbu karang, jenisnya, hingga biota laut yang hidup di ekosistem tersebut.
”Karang masif itu karang yang berbahaya bagi kapal. Apa di sini banyak karang jenis itu?” tanya Heny kepada Hery yang sedang menjelaskan peta Bawean. ”Nanti bisa lihat sendiri saat survei lapangan, Mbak,” jawab Hery.
Pria asal Surabaya itu menerangkan rute penelitian dari Bawean bagian barat. Tepatnya, di dekat Pulau Cina dan Pulau Nusa. Di sana ada sisa bangkai kapal yang ditemukan tahun lalu. Pecahan kapal tersebut membentuk serpihan yang memanjang hingga 72 meter. Tapi, sisa kapal apa itu? Entah. Masih belum teridentifikasi.
Nah, tugas tim penelitian adalah menentukan jenis dan asal kapal. ”Nanti tim merekam data fisik, bentuk, dan karakter tinggalan arkeologi bawah air di sana,” ujar Hery. Jarinya bergerak menunjuk titik penyelaman di peta Bawean yang tertempel di dinding pesanggrahan.
Sementara itu, di sisi timur Pulau Bawean terdapat kapal karam yang teridentifikasi sebagai SS ( steam ship) Bengal. Bangkai kapal uap tersebut ditemukan dua tahun lalu.
Menurut catatan Dictionary of Disaster at the Sea during the Age of Steam karya Charles Hocking, pada 1969, terdapat empat kapal yang tenggelam di perairan Bawean. Selain SS Bengal, terdapat kapal Janbi Maru, Langkoeas, dan Leeds City. Tiga terakhir tidak diketahui keberadaannya. ”Kapal-kapal itu masih misteri,” ujar alumnus Jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.
Posisi kapal-kapal tersebut sejatinya sudah diincar dengan memakai titik koordinat. Dan itu rahasia. Tujuannya, tidak ada pencuri yang memanfaatkan data tersebut untuk menggarong bangkai kapal.
Namun, titik tersebut bisa saja meleset. Karena itu, penyelaman tersebut juga dibantu para nelayan Bawean yang mengantar kami.
Hampir di seluruh kawasan Bawean memang ada kapal yang tenggelam. Usianya sudah tua banget. Ada yang menghuni dasar lautan selama seabad lebih. Sebab, banyak kapal yang karam pada era 1800-an. Saat Belanda menjadikan Bawean sebagai pangkalan laut. Semakin tinggi lalu lintas laut, kemungkinan kapal karam juga kian tinggi.
Bawean memegang peran penting dalam jalur pelayaran masa lalu. Bukan karena kekayaan alamnya yang bisa diperjualbelikan. Melainkan letaknya yang strategis sebagai tempat transit pelayaran masa lalu. Tidak mengherankan, pulau kecil itu diperebutkan sejak zaman Majapahit.
Banyak sisa perdagangan masa lalu. Salah satunya fragmen keramik dari Dinasti Ming dan Qing yang berserakan di Teluk Diponggo. Diduga, pecahan keramik itu berasal dari kapal karam yang berada tak jauh dari bibir pantai.
Namun, harta yang dikuak memang masih banyak. Berserak di dalam lautan. Menunggu dikunjungi, menanti dilestarikan... (*/c6/dos)