Telat Lapor, DAK Fisik untuk Daerah Bisa Hangus
SURABAYA – Skema penyaluran dana alokasi khusus (DAK) fisik dirombak. Pemerintah pusat melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyosialisasikan perubahan tersebut pada pemkab/ pemkot se-Jawa Timur kemarin (16/5). Dengan skema itu, program daerah bisa lebih cepat terealisasi.
DAK fisik tadinya diberikan oleh pemerintah pusat secara langsung ke pemkab/pemkot setempat. Dana akan dialirkan kepada satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang terkait dengan anggaran program. Namun, angka anggaran yang harus dikelola Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) terlalu besar. Pada 2015 jumlahnya mencapai Rp 800 triliun untuk semua daerah. Kemenkeu pun mengatur ulang skema pelaporan anggaran dan pencairan dana lewat kantor KPPN daerah. Peraturan tersebut dikemas dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 50/ PMK.07/2017 tentang pengelolaan transfer ke daerah dan dana desa.
Peraturan baru itu sebenarnya sudah diterapkan pada 13 April. Tetapi, prosedur pelaporan dianggap sangat rumit oleh sebagian dinas pemda. Akhirnya, ada daerah yang hingga kemarin belum melaporkan DAK fisik untuk triwulan pertama 2017 ke Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK).
’’Sebenarnya, caranya simpel, cukup melaporkan lewat online,” tutur Kasubdit Pelaksana Anggaran 4 Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Hari Utama. Hari yang menjadi salah satu penyampai materi itu menjelaskan, yang penting semua persyaratan pelaporan harus lengkap. Persyaratan tersebut, antara lain, ringkasan kontrak dan lembar keputusan pimpinan daerah terhadap rekening.
Kemudian, penyaluran DAK fisik dibagi per triwulan (TW). TW 1 mencapai 30 persen, TW 2 sebesar 25 persen, TW 3 sebesar 25 persen, dan sisanya diberikan di TW 4. Untuk mengajukan pencairan TW selanjutnya, pemda harus melaporkan output dan serapan dana dari TW sebelumnya. Pelaporan tidak boleh melewati batas akhir yang ditentukan. ’’Jika tidak, otomatis hangus dan tidak bisa mengambil termin berikutnya,’’ ujar Hari.
Jatim pun, menurut Hari, sudah mencapai angka realisasi DAK fisik yang merata. ’’Rata-rata sudah 30 persen untuk TW pertama,” ungkapnya. Sebab, Jatim memiliki 15 kantor KPPN daerah. Satu kantor KPPN daerah cukup me- nangani 2–3 kabupaten/kota. Hari menuturkan, dengan skema itu, pemerintah daerah dituntut makin tepat waktu dan disiplin dalam menyelesaikan proyek fisik.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan (Dispenda) Surabaya Yusron Sumartono menyebutkan bahwa perubahan skema itu berdampak positif bagi pembangunan fisik. Menurut dia, dana yang tidak masuk langsung ke APBD bukan merupakan masalah yang signifikan. Sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa) tidak terpengaruh seperti yang sempat dikhawatirkan beberapa SKPD di daerah lain.
”Tinggal kecepatan menyerapnya. Kalau proyeknya terlambat, ya hangus,” ujarnya. Untuk mengatasi hal itu, Yusron menyampaikan bahwa proyek bisa dialihkan ke tahun anggaran berikutnya. Namun, konsekuensinya adalah perlambatan penyelesaian proyek. Otomatis, jumlah DAK fisik tahun berikutnya terpotong untuk menutupi proyek yang mangkrak tersebut.
Kemenkeu juga mewanti-wanti agar semua data terkait dengan DAK fisik diunggah satu orang. Karena itu, pimpinan daerah perlu membuat surat keputusan resmi mengenai siapa yang bertanggung jawab dalam sirkulasi pelaporan DAK fisik. Sebab, jika tidak dibuat satu pintu, data versi pemda dengan DJPK akan berbeda. Hal itu sudah berkalikali ditemukan ketika DJPK melakukan kroscek dengan badan pengelola keuangan dan aset daerah (BPKAD).
Ketidaksesuaian juga bisa terjadi pada rekening. Sejak awal, Kemenkeu berpesan agar nama rekening daerah harus dibuat sesuai dengan format, yakni mencatut nama daerah masing-masing. ’’Pemda harus berkoordinasi dengan KPPN untuk menyamakan rekening koran lewat bank daerah.’’ (deb/c16/c14/c20/oni)