Jawa Pos

Pohon ”Gaib” Paling Sering Ditawar Pengunjung Pulau Bawean

Sudah 25 tahun Setia Budi menekuni bonsai. Bukan membeli bonsai jadi. Pengelola sebuah penginapan di Pulau Bawean itu lebih suka berburu pohon kerdil tersebut.

- SALMAN MUHIDDIN

BUDI sedang duduk di depan rumahnya yang berhadapan dengan penginapan. Di antara bangunan itu, ada sisa halaman, tapi sudah diplester. Suasana tetap rindang dengan puluhan bonsai yang nangkring di pot. Ada jenis stigi, serut, jeruk kinkit, beringin, wahong, adenium, dollar, dan wali baso.

”Kalau tidak punya banyak waktu, tidak sabaran, susah buat ngebonsai,” ucap Budi membuka percakapan pagi itu, Rabu (10/5).

Salah satu koleksi lelaki kelahiran 19 Oktober 1963 itu adalah tanaman wali baso. Budi menamai sendiri tanaman tersebut. Bonsai itu didapat di salah satu makam wali di Dusun Barat Sungai yang dia singkat baso. Biar mudah diingat katanya.

Pohon itu memiliki batang gemuk dengan tinggi 30 sentimeter. Batang bonsai tersebut berlubang hingga tembus pandang. Lubang itu tidak sengaja terbentuk karena ada tangkai pohon yang patah. Daunnya mirip daun pohon sono. Namun, lebih kecil. Setiap ada ahli botani yang menginap, mereka mena- nyakan tanaman itu. Tiga hari belakangan Bawean diselimuti mendung. Siang itu, matahari akhirnya muncul juga. Budi girang. Tanaman bonsainya akhirnya bisa berjemur. Menurut dia, bonsai doyan panas. Semakin panas, daunnya semakin hijau dan kerdil.

Budi memang punya banyak waktu dan sabar. Hampir seluruh waktunya dia habiskan di rumah. Sebagai pengelola penginapan, dia jarang keluar rumah. Apalagi saat penginapan­nya penuh tamu. Bisa-bisa 24 jam stand by di rumah. Saat senggang, dia sempatkan diri mengguntin­g dan merapikan bonsainya. Kesabarann­ya teruji dengan salah satu bonsai yang berusia 25 tahun berjenis beringin.

Ada lebih dari 20 bonsai yang dia pelihara. Salah satu favoritnya berjenis stigi. Di tempat lain, tanaman itu sering disebut santegi, setigi, atau drini. ”Dulu banyak di pantai Bawean. Sekarang punah,” katanya.

Bonsai sempat booming di Pulau Seribu Bukit itu, sebutan lain Bawean. Sampai-sampai ada komunitas pencinta bonsai Bawean. Perburuan tanaman untuk dibonsai sangat gencar. Tidak hanya di pantai, mereka juga mencari hingga ke perbukitan.

Biasanya, bagi yang hanya ikutikutan, hobi bonsai tidak akan bertahan lama. Namun, Budi bukan penghobi bonsai karbitan. Booming atau tidak, dia tetap menekuni hobi itu.

Budi menyayangk­an sulitnya mencari stigi Bawean saat ini. Mungkin sudah punah. Karena itulah, dia tidak akan melepas bonsai stiginya. ”Ini yang paling sering ditawar orang. Saya bilang jangan, ini kesayangan,” ujarnya.

Pohon stigi juga dianggap sebagai pohon bertuah. Biasanya, dipakai untuk tasbih atau gelang. Namun, Budi mengaku tidak paham ilmuilmu gaib semacam itu. ”Yang saya paham ya cuma untuk bonsai saja. Tidak sampai ke situ,” katanya.

Memasuki musim kemarau, Budi berencana menata ulang rantingran­ting bonsainya. Sebab, beberapa tanaman dia anggap terlalu rindang. Saat musim hujan, dia ogah merapikan secara total. Daun-daun yang diguntingi susah dibersihka­n karena lengket terkena air.

Salah satu tanaman yang dia pelihara sejak tunas adalah pohon cemara. Pohon itu dipelihara sejak delapan tahun silam. Saat ini pohon tersebut sesuai keinginann­ya. Terlihat tua dan kerdil. Cemara itu kini menjadi pohon favorit keduanya. (c6/roz)

 ?? GUSLAN GUMILANG/JAWA POS ?? TELATEN: Setia Budi merapikan daun-daun stigi yang dia pelihara.
GUSLAN GUMILANG/JAWA POS TELATEN: Setia Budi merapikan daun-daun stigi yang dia pelihara.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia