Gerakan Silent Majority Pendidikan
BERANGKAT dari kegelisahan, ribuan dosen dan tenaga kependidikan dari 35 perguruan tinggi negeri baru (PTNB) akan menggelar aksi 1805. Mereka hendak memperjuangkan nasibnya yang terluntalunta sekian lama. Aksi 1805 itu membawa tiga tuntutan. Satu, mendesak pemerintah menyelesaikan peralihan status pegawai mereka. Dua, mencabut sistem perjanjian kerja karena alasan ketidakadilan. Tiga, mendesak pemerintah mengevaluasi penegerian PTNB sebelum urusan SDM diselesaikan ( JPNN, 16/5).
Sebagai bagian dari profesi kependidikan, tentu saja kesejahteraan para pendidik semestinya mendapat perhatian lebih serius. Sebab, pendidikan merupakan investasi kemanusiaan jangka panjang bagi kemajuan suatu bangsa. Apalagi, pendidikan merupakan salah satu tolok ukur standar pembangunan manusia di dunia.
Bagaimana tidak, indeks pembangunan manusia (IPM) yang dirilis PBB pada 2015 menunjukkan bahwa posisi Indonesia masih perlu digenjot. Jika dibandingkan dengan negara tetangganya di ASEAN, peringkat IPM Indonesia (ke-100) masih tertinggal oleh Thailand (93), Malaysia (62), Brunei (31), dan Singapura (11). Namun, posisi IPM Indonesia masih lebih baik daripada Filipina (115), Vietnam (116), Kamboja (143), dan Myanmar (148).
Tetapi, kesejahteraan pendidik kita hingga kini menyisakan sejumlah persoalan. Barangkali, sebagai bahan perbandingan, bisa kita tengok hasil laporan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) tentang gaji tenaga pendidik kita di antara negara-negara lainnya. Dari 30 anggota OECD, Indonesia tergolong negara yang gaji pendidiknya sangat rendah. Swiss memberi gurunya gaji USD 68.820 atau sekitar Rp 915 juta (kurs Rp 13.300) per tahun. Di Korea sebanyak USD 47.340 atau sekitar Rp 630 juta per tahun. Di Jepang USD 45.930 atau sekitar Rp 610 juta per tahun. Sedangkan gaji profesi pendidik di Indonesia hanya USD 2.830 atau sekitar Rp 37,6 juta per tahun.
Tragisnya, di tengah kondisi memilukan yang dialami para pendidik kita, justru tersiar kabar praktik korupsi para pejabat dan wakil rakyatnya di sejumlah daerah. Dalam catatan Kementerian Dalam Negeri, pada 2004–2013 setidaknya 2.545 anggota DPRD provinsi dan 431 anggota DPRD kabupaten/kota terseret kasus korupsi. Selama kurun waktu 2006– 2015, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada 425 kasus korupsi di sektor pendidikan dengan melibatkan 618 pelaku di seluruh Indonesia.
Bahkan, dunia pendidikan tinggi kita tak luput dari gurita korupsi. Data yang dipaparkan ICW barubaru ini menunjukkan, ada sekitar 12 modus korupsi di pendidikan tinggi. Mulai praktik suap pemilihan pejabat PTN, korupsi pengadaan barang dan jasa, penjualan aset kampus, urusan kemahasiswaan, hingga suap serta pungli dalam kegiatan riset. Diperkirakan, korupsi tersebut merugikan negara sekitar Rp 424 triliun ( Jawa Pos, 29/10/2016).
Tak heran jika mereka yang terabaikan masa depan nasibnya melakukan aksi protes. Hal itu merupakan bagian dari gerakan demokratis dalam dunia pendidikan kita. Sebab, UU Pendidikan Tinggi (2012) serta UU Guru dan Dosen (2014) menuntut kampus harus menegakkan iklim demokratis dan terbebas dari intervensi kekuasaan. Artinya, civitas academica bukanlah mayoritas terbungkam ( silent majority). Menurut Baudrillard (1992), mayoritas yang terbungkam akan muncul ketika terjadi ekstasi komunikasi. Yakni suatu praktik komunikasi yang mengaburkan batasbatas kenyataan dan kepalsuan, kejujuran dan kebohongan, serta dominasi dan otonomi.
Sejarah bangsa kita menunjukkan bahwa kaum intelektual kampus turut andil dalam upaya kemerdekaan dan kebangkitan nasional. Pada masa kolonial, kaum bangsawan pemikir itu umumnya berlatar belakang pendidikan dari Stovia. Gagasan utamanya adalah antikolonialisme. Alat penyebar gagasannya berupa tulisan. Baik di koran, majalah, buku, maupun selebaran berbahasa daerah, Jawa, serta Melayu. Sejak 1908, gerakan kolektif mereka terumuskan ke dalam organisasi Budi Utomo. Selanjutnya diikuti dengan berdirinya Sarekat Dagang Islam, Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan organisasi pergerakan kemerdekaan lainnya.
Pendidikan tinggi merupakan penjaga moral dan garda depan tumbuh kembangnya ilmu pengetahuan. Ia pun menjadi alat pembebasan dan modalitas perubahan sosial. Di dalamnya berisi sekumpulan homo akademikus yang posisinya menurut Pierre Bourdieu (1994) berada setingkat di bawah Tuhan. Bagi dia, sejak dulu kala dari Yunani hingga Eropa, kaum intelektual (homo akademikusnya) selalu diberi posisi istimewa. Mereka kerap dimintai gagasan dan analisis tentang rekonstruksi dan revitalisasi masa depan kehidupan masyarakatnya.
Karena itulah, pemerintah dan pemangku kebijakan pendidikan perlu mendengar sekaligus mengakomodasi berbagai aspirasi kalangan pendidiknya. Kedua pihak perlu duduk bersama untuk mencarikan jalan keluar. Hal tersebut penting agar kualitas pendidikan dan mutu ilmu pengetahuan di negeri kita dapat meningkat pesat. Bukankah tujuan tertinggi dalam demokrasi pendidikan adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Tanyakan kepada hatimu, Kawan. (*) *Dosen pendidikan kritis dan kajian budaya di Departemen Sosiologi Unesa