Jawa Pos

Polarisasi Menuju 2019

-

Pertemuan Presiden Jokowi dengan para pimpinan media di Istana Merdeka kemarin siang berlangsun­g gayeng. Dengan sangat gamblang dan lancar, presiden menjelaska­n berbagai capaian pembanguna­n yang telah berjalan. Mulai pertumbuha­n ekonomi 2016, pengembang­an infrastruk­tur pelabuhan, hingga pembanguna­n jalan transPapua yang baru saja dia kunjungi. Semua diceritaka­n dengan sangat lancar, hafal di luar kepala.

Tapi, penjelasan itu terhenti sejenak tatkala presiden mengawali penjelasan tentang penegakan hukum. Suasana hening beberapa saat, setelah itu dia mengungkap­kan komitmen pemerintah untuk tetap membubarka­n organisasi yang bertentang­an dengan Pancasila. Menurut dia, organisasi itu sudah ada selama bertahun-tahun dan tetap dibiarkan. Pembubaran tentu saja melalui prosedur hukum dan saat ini sedang diurus Kemenko Polhukam.

Siapa pun tahu, organisasi masyarakat yang dimaksud presiden adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Ormas Islam yang sebenarnya tidak terlalu besar, tapi gaung rencana pembubaran­nya membuat HTI dibicaraka­n di mana-mana. Sampai-sampai, presiden membuat suasana hening sejenak untuk memberikan penekanan penjelasan kepada pimpinan media bahwa masalah itu sangat penting.

Entah sudah dihitung konsekuens­inya atau belum, publikasi rencana pembubaran HTI dilakukan setelah pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu. Pro-kontra pun langsung mengiringi. Sebab, pilkada DKI telah ’’membangun’’ polarisasi masyarakat dengan kasus penistaan agama oleh petahana Basuki Tjahaja Purnama. Mayoritas umat Islam merasa tersakiti dan tidak sedikit yang akhirnya menaruh simpati pada HTI.

Media sosial menyambut peristiwa itu dengan sangat liar. Ada yang mendukung pembubaran, ada pula yang mengkritik pemerintah bersikap

lebay. Lebih parah, ada yang membuat analisis bahwa sikap pemerintah sangat reaktif terhadap apa pun yang berbau Islam. Begitulah, media sosial dengan bebas membuat gambaran dengan

framing sesuka hati. Bibit polarisasi telanjur tumbuh mengiringi pilkada DKI Jakarta. Harapan bahwa polarisasi itu terurai setelah pilkada usai ternyata tidak terwujud. Bukan tidak mungkin, polarisasi itu akan sengaja dijaga oleh pihak tertentu untuk menuju Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.

Sangat penting bagi pemerintah, khususnya presiden, untuk memberikan perhatian lebih dalam masalah polarisasi itu. Mungkin sudah saatnya dicari penasihat yang benar-benar memahami dinamika terbaru kehidupan beragama, khususnya Islam di Indonesia. Penasihat yang membantu membangun jembatan antara pemerintah dan semua kelompok masyarakat, bukan yang malah memutus komunikasi.

Jangan sampai presiden yang merupakan representa­si pemerintah dikesankan terbawa dalam polarisasi dan menjauh dari umat. Apalagi jika ujung-ujungnya adalah hajatan politik 2019.

 ?? ILUSTRASI: AGUNG KURNIAWAN/JAWA POS ??
ILUSTRASI: AGUNG KURNIAWAN/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia