Jawa Pos

Bikin Kotor, Denda Jatuh

Perwali 10/2017 Resmi Berlaku

-

SURABAYA – Jangan coba-coba bikin kotor Surabaya. Siapa saja yang sengaja mengotori lingkungan akan didenda. Itu peraturan yang ada dalam Peraturan Wali Kota (Perwali) 10/2017.

Memang, sampah masih menjadi salah satu problem besar di Surabaya. Terutama sampah domestik yang mencapai 2.900 ton per hari

Meski pemkot punya sistem pengolahan sampah yang jempolan, kalau ada warga yang masih suka buang sampah sembaranga­n, semuanya sia-sia.

Perwali yang mengatur sanksi administra­tif berdasar Perda 5/2014 itu sudah berjalan sejak April. Meski demikian, masih tetap ada yang nekat membuang sampah sembaranga­n.

Tim yustisi dari dinas kebersihan dan ruang terbuka hijau (DKRTH) bahkan terus beroperasi setiap hari. Mengintai siapa pun yang diamdiam membuang sampah di tempattemp­at yang tidak semestinya.

Selama ini tim yang bekerja bareng satpol PP kecamatan tersebut terus mencari pelaku yang membuang sampah sem- barangan. Biasanya, operasi dilakukan pukul 00.00–04.00. Itu adalah ”jam favorit” untuk menimbun sampah di titik-titik fasum yang seharusnya steril dari sampah.

Siti Komfoh, salah seorang anggota tim, menyatakan bahwa masih banyak warga yang suka buang sampah sembaranga­n. Padahal, aturan sudah ada. Memang belum ada pelaksanaa­n teknis soal pemberlaku­an denda. ”Kami masih sosialisas­i dulu,” ujarnya.

Sekretaris DKRTH Aditya Wasita menerangka­n, sebelum ada perwali, pembuang sampah hanya diberi pembinaan. Biasanya, KTP pelaku akan ditahan dan diminta ke kantor DKRTH untuk diberi sosialisas­i.

Namun, menurut Aditya, hal itu belum membuat jera masyarakat. ”Kita juga tidak bisa menindak karena belum ada aturannya,” katanya.

Kini dengan adanya perwali, masyarakat harus siap kena denda atau disebut dengan uang paksa. Sejumlah nominal yang diatur dalam perwali itu adalah bentuk ganti rugi dalam pemulihan lingkungan akibat sampah tersebut.

Menurut Aditya, sebetulnya masyarakat diminta untuk mengambil kembali sampah yang ketahuan dibuang. Namun, jika mereka menolak, akan ada uang paksa yang dihitung per hari hingga sampah tersebut dibersihka­n. ”Jadi, kalau kami cek sudah dua hari tidak dibersihka­n, ya dendanya dikalikan dua,” imbuhnya.

Aditya menegaskan, dalam aturan tersebut, nominal uang paksa adalah biaya keterlamba­tan. Karena itu, semakin cepat masyarakat membereska­n sampahnya, semakin sedikit denda yang dibayarkan.

”Kalau hari itu juga diambil, ya enggak kena denda,” katanya.

Namun, masyarakat juga bisa menolak mengambil kembali sampahnya. Menurut Aditya, masyarakat cukup langsung bayar uang paksa saat itu juga dan kewajibann­ya membersihk­an sampah akan gugur. ”Misalnya, di sungai. Kan nggak mungkin untuk ngambil,” ujarnya.

Memang, jika masyarakat tidak sanggup membersihk­an, pemkot akan menggantik­an tugas tersebut. Tapi, warga harus membayar biaya pemulihan yang nominalnya dihitung berdasar volume sampah ( lihat grafis).

Selama ini kawasan ”favorit” bagi pembuang sampah sembaranga­n biasanya di dekat pasar rakyat. Atau di tempat-tempat dengan penerangan yang kurang. Salah satunya di kawasan Sidotopo.

Pada operasi terakhir, sepuluh orang tertangkap basah membuang sampah di pinggir jalan. Namun, sanksi tersebut belum sepenuhnya diterapkan karena masih disosialis­asikan. ”Paling nggak tiga bulan sosialisas­i dulu,” tambahnya.

Tidak hanya mengatur sanksi bagi pembuang sampah sembaranga­n, perda itu juga menerapkan denda bagi masyarakat yang tidak mengolah sampahnya dengan benar. (kik/c6/dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia