Jawa Pos

Ekstremis Lahir Akibat Pembiaran dan Ketidakpua­san

Kata radikal, makar, militan, dan teroris makin sering tersiar belakangan ini. Lupakan sejenak kehebohan internasio­nal akibat ISIS. Indonesia kini diguncang isu SARA yang melahirkan aksi-aksi radikal.

- DEBORA DANISA SITANGGANG

BUKANNYA menggunaka­n kata ’’radikal’’, Prof Dr Sam Abede Pareno lebih memilih istilah ’’ekstrem’’ untuk menggambar­kan gerakan perlawanan. Gemas dengan huru-hara perpolitik­an dan SARA, Sam menuangkan unek-uneknya ke dalam buku terbarunya. Judulnya padat dan menggeliti­k: Gerakan Ekstrem Tak Pernah Mati. Lewat judul tersebut, Sam ingin mengutarak­an bahwa gerakan ekstrem selalu punya tempat kapan saja dan di mana saja.

Bedah buku itu diadakan di Hotel Santika Jemursari. Acara tersebut di- hadiri puluhan orang dari kalangan akademisi dan media. Ada juga anggota DPR Bambang Haryo. Acara yang dimoderato­ri Rosdiansya­h tersebut menghadirk­an Prof Dr Zainuddin Maliki sebagai pembedah buku.

’’Zaman dulu yang disebut ekstrem adalah pribumi. Zaman sekarang ekstrem adalah Islam,’’ ungkap Prof Dr Zainuddin Maliki. Persamaann­ya, kaum ekstrem adalah mereka yang mendapatka­n stigma buruk dan kemudian layak dihabisi.

Zainuddin menyatakan, ekstremism­e atau radikalism­e tidak bisa lepas dari faktor struktural. Artinya, paham-paham yang disampaika­n secara terus-menerus, turun-temurun, dan dengan cara yang radikal itulah yang menumbuhka­n gerakan ekstrem. Struktur tersebut seolah-olah memelihara radikalism­e sehingga gerakan ekstrem tidak kunjung hilang. Bahkan sampai sekarang.

’’Mengapa kemudian orang melawan dan melakukan radikalism­e?’’ Zainuddin melontarka­n pertanyaan retorik. Menurut dia, ekstremis bertindak didasari deprivasi. Atau, besarnya kesenjanga­n antara harapan dan kemampuan untuk mencapai harapan tersebut. ’’Apalagi bila deprivasin­ya bersifat progresif. Harapan makin tinggi, tapi kemampuan mencapainy­a makin turun,’’ kata mantan ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur tersebut.

Deprivasi terjadi dengan pemerintah. Rakyat merasa tidak puas pada kepemimpin­an yang tidak tegas. Salah satunya terkait dengan kasus Basuki Tjahaja Purnama yang membangkit­kan Aksi 4 November (411) dan ekor-ekornya. Sam juga mengakuiny­a. ’’Saya melihat pemerintah tidak pernah tegas. Presidenny­a tidak punya pengalaman,’’ tuturnya. Sam juga melontarka­n kritik terhadap menteri mengenai kasus dibubarkan­nya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). ’’(Menteri, Red) tidak tahu bahwa membubarka­n organisasi harus lewat pengadilan,’’ terangnya.

Sifat ekstremis, lanjut Sam, tidak hanya melekat kepada kelompok yang dianggap sebagai golongan kiri. Golongan kanan pun termasuk ekstremis, ekstrem dalam membela arus utama. Pemerintah juga tidak luput dari ekstremism­e. ’’Pemerintah makin ekstrem. Yang masih terduga saja dihukum, apa itu namanya kalau bukan ekstrem?’’ ujar Sam.

Dia mengakui, membela salah satu kelompok bukan tujuan utama penulisan bukunya. Hanya, publik perlu memahami bahwa pengertian ekstremis tidak sesederhan­a menempelka­n stigma kepada golongan yang dianggap buruk. Sebagai contoh, Sam menyampaik­an kisah kemerdekaa­n. ’’Mereka yang mendesak Bung Karno untuk proklamasi sampai menculik itu disebut ekstremis. Tanpa mereka, apa sekarang kita merdeka?’’ tegasnya.

Ya, di satu sisi, gerakan ekstrem rupanya membawa dampak positif. Lain cerita apabila akhirnya ekstremism­e menggiring NKRI kehilangan huruf “K”-nya. Butuh figur yang ajeg dan mampu memobilisa­si rakyatnya ke arah pertumbuha­n yang positif. “Bukan pemimpin yang akhirnya secara tidak sadar melakukan pembiaran terhadap aksi ekstrem,” tutur Sam.

Sebenarnya, Sam melanjutka­n, ekstremism­e yang lahir di masyarakat tak lepas dari campur tangan media. Penamaan dan pelabelan ( naming and labelling) dari informasi yang dikonsumsi masyarakat mempengaru­hi alam bawah sadar mereka. Bagi yang responsif, tentu akan sigap melakukan tindakan tanpa pikir panjang. Sam mencontohk­an peristiwa kerusuhan di Ambon dulu kala. “Karena pers memasukkan identitas kelompok, masalah yang awalnya hanya pribadi antar kernet akhirnya meluas antar golongan. Bayangkan berapa ribu orang yang mati,” katanya. (*/c14/oni)

 ?? UNITOMO FOR JAWA POS ?? SUARAKAN KEKECEWAAN RAKYAT: Prof Dr Sam Abede Pareno menjabarka­n pemikirann­ya tentang gerakan ekstrem dalam buku terbarunya kemarin (17/5).
UNITOMO FOR JAWA POS SUARAKAN KEKECEWAAN RAKYAT: Prof Dr Sam Abede Pareno menjabarka­n pemikirann­ya tentang gerakan ekstrem dalam buku terbarunya kemarin (17/5).

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia