Ekstremis Lahir Akibat Pembiaran dan Ketidakpuasan
Kata radikal, makar, militan, dan teroris makin sering tersiar belakangan ini. Lupakan sejenak kehebohan internasional akibat ISIS. Indonesia kini diguncang isu SARA yang melahirkan aksi-aksi radikal.
BUKANNYA menggunakan kata ’’radikal’’, Prof Dr Sam Abede Pareno lebih memilih istilah ’’ekstrem’’ untuk menggambarkan gerakan perlawanan. Gemas dengan huru-hara perpolitikan dan SARA, Sam menuangkan unek-uneknya ke dalam buku terbarunya. Judulnya padat dan menggelitik: Gerakan Ekstrem Tak Pernah Mati. Lewat judul tersebut, Sam ingin mengutarakan bahwa gerakan ekstrem selalu punya tempat kapan saja dan di mana saja.
Bedah buku itu diadakan di Hotel Santika Jemursari. Acara tersebut di- hadiri puluhan orang dari kalangan akademisi dan media. Ada juga anggota DPR Bambang Haryo. Acara yang dimoderatori Rosdiansyah tersebut menghadirkan Prof Dr Zainuddin Maliki sebagai pembedah buku.
’’Zaman dulu yang disebut ekstrem adalah pribumi. Zaman sekarang ekstrem adalah Islam,’’ ungkap Prof Dr Zainuddin Maliki. Persamaannya, kaum ekstrem adalah mereka yang mendapatkan stigma buruk dan kemudian layak dihabisi.
Zainuddin menyatakan, ekstremisme atau radikalisme tidak bisa lepas dari faktor struktural. Artinya, paham-paham yang disampaikan secara terus-menerus, turun-temurun, dan dengan cara yang radikal itulah yang menumbuhkan gerakan ekstrem. Struktur tersebut seolah-olah memelihara radikalisme sehingga gerakan ekstrem tidak kunjung hilang. Bahkan sampai sekarang.
’’Mengapa kemudian orang melawan dan melakukan radikalisme?’’ Zainuddin melontarkan pertanyaan retorik. Menurut dia, ekstremis bertindak didasari deprivasi. Atau, besarnya kesenjangan antara harapan dan kemampuan untuk mencapai harapan tersebut. ’’Apalagi bila deprivasinya bersifat progresif. Harapan makin tinggi, tapi kemampuan mencapainya makin turun,’’ kata mantan ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur tersebut.
Deprivasi terjadi dengan pemerintah. Rakyat merasa tidak puas pada kepemimpinan yang tidak tegas. Salah satunya terkait dengan kasus Basuki Tjahaja Purnama yang membangkitkan Aksi 4 November (411) dan ekor-ekornya. Sam juga mengakuinya. ’’Saya melihat pemerintah tidak pernah tegas. Presidennya tidak punya pengalaman,’’ tuturnya. Sam juga melontarkan kritik terhadap menteri mengenai kasus dibubarkannya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). ’’(Menteri, Red) tidak tahu bahwa membubarkan organisasi harus lewat pengadilan,’’ terangnya.
Sifat ekstremis, lanjut Sam, tidak hanya melekat kepada kelompok yang dianggap sebagai golongan kiri. Golongan kanan pun termasuk ekstremis, ekstrem dalam membela arus utama. Pemerintah juga tidak luput dari ekstremisme. ’’Pemerintah makin ekstrem. Yang masih terduga saja dihukum, apa itu namanya kalau bukan ekstrem?’’ ujar Sam.
Dia mengakui, membela salah satu kelompok bukan tujuan utama penulisan bukunya. Hanya, publik perlu memahami bahwa pengertian ekstremis tidak sesederhana menempelkan stigma kepada golongan yang dianggap buruk. Sebagai contoh, Sam menyampaikan kisah kemerdekaan. ’’Mereka yang mendesak Bung Karno untuk proklamasi sampai menculik itu disebut ekstremis. Tanpa mereka, apa sekarang kita merdeka?’’ tegasnya.
Ya, di satu sisi, gerakan ekstrem rupanya membawa dampak positif. Lain cerita apabila akhirnya ekstremisme menggiring NKRI kehilangan huruf “K”-nya. Butuh figur yang ajeg dan mampu memobilisasi rakyatnya ke arah pertumbuhan yang positif. “Bukan pemimpin yang akhirnya secara tidak sadar melakukan pembiaran terhadap aksi ekstrem,” tutur Sam.
Sebenarnya, Sam melanjutkan, ekstremisme yang lahir di masyarakat tak lepas dari campur tangan media. Penamaan dan pelabelan ( naming and labelling) dari informasi yang dikonsumsi masyarakat mempengaruhi alam bawah sadar mereka. Bagi yang responsif, tentu akan sigap melakukan tindakan tanpa pikir panjang. Sam mencontohkan peristiwa kerusuhan di Ambon dulu kala. “Karena pers memasukkan identitas kelompok, masalah yang awalnya hanya pribadi antar kernet akhirnya meluas antar golongan. Bayangkan berapa ribu orang yang mati,” katanya. (*/c14/oni)