Jawa Pos

Tidak Ingin Dipindah Tugas hingga Pensiun

Sujono telah mengabdika­n diri selama 30 tahun di sebuah sekolah terpencil. Yakni, di SDN Kedungpelu­k 2, Dukuh Bangoan, Desa Kedungpelu­k, Candi. Hatinya pun telah terpaut begitu erat dengan warga setempat.

-

SESOSOK pria berdiri di depan pintu kelas SDN Kedungpelu­k 2 sejak pukul 06.00 Senin lalu (15/5). Wajahnya begitu ramah. Dia sesekali melemparka­n senyum hingga membuat matanya tampak menyipit. Meski usianya sudah 55 tahun, dia tetap terlihat bugar.

Tidak lama berselang, dua siswa kelas VI, Moh. Abdurrozaq dan Lailatul Mauliddiya­h, tiba di sekolah. Mereka berjalan kaki tanpa membawa tas dan buku. Hanya satu kotak pensil berisi alat untuk mengerjaka­n soal ujian sekolah (US) yang mereka bawa.

Pria berambut putih dengan kemeja batik itu langsung menyambut dua siswanya tersebut. Sambutan penuh semangat agar mereka mampu mengerjaka­n soal US dengan baik dan benar.

Sosok itu adalah Sujono. Guru yang telah mengabdi selama 30 tahun di SDN Kedungpelu­k 2. Sebuah sekolah di tengah tambak. Jarak dari pusat kota menuju sekolah tersebut sekitar 22 kilometer

Aksesnya pun begitu sulit. Meskin bisa dilalui lewat jalur darat, jalannya jelek.

Saat itu Sujono ikut tidak tenang ketika kedua siswanya melaksanak­an US. Namun, dia yakin mereka bisa mengerjaka­n soal dengan baik. ’’Siswa kelas VI hanya dua anak,’’ kata guru kelas IV dan VI itu.

Sujono menatap Rozaq dan Lailatul dengan penuh harap. Keduanya diharapkan bisa segera mentas dari jenjang SD dengan nilai baik dan melanjutka­n pendidikan ke jenjang SMP. ’’Tahun depan kami tidak punya siswa kelas VI karena kelas V tidak ada murid,’’ ujarnya, lantas menghela napas.

Suami Sunyalik tersebut memang begitu dekat dengan murid-murid di SDN Kedungpelu­k 2. Begitu juga warga di Dukuh Bangoan. Sebab, hampir sebagian besar orang tua murid di SDN Kedungpelu­k 2 merupakan mantan muridnya sendiri. ’’Sebagian besar warga sini kan murid saya. Dulu orang tuanya, sekarang anaknya,’’ katanya, lantas tersenyum.

Ya, Sujono memang sudah 30 tahun menjadi guru di SDN Kedungpelu­k 2. Ketika itu usianya masih 24 tahun. Masa lajangnya diisi dengan mengabdi sebagai guru di sekolah terpencil di Sidoarjo. ’’Kali pertama menjadi guru pegawai negeri sipil (PNS), saya langsung ditugaskan di SDN Kedungpelu­k 2, tepatnya sejak 1987,’’ tuturnya.

Namanya guru muda, keinginan untuk mendapatka­n tempat mengajar di tengah perkampung­an pun ada. Namun, Sujono berusaha untuk menjalanin­ya dengan ikhlas. Dia harus mendidik anak-anak yang tinggal di tengah tambak yang aksesnya masih sangat jelek. ’’Jarak dari rumah ke sekolah 20-an kilometer. Saat itu jalan masih belum dipaving. Jadi masih tanah lembek,’’ ungkap pria yang tinggal di Desa Jinten, Kecamatan Tulangan, tersebut.

Sujono masih ingat betul ketika kali pertama bertugas di SDN Kedungpelu­k 2. Jalanan yang masih berlumpur membuat Sujono harus berjalan kaki dari ujung Desa Banjarpanj­i menuju ke sekolah. Sepeda motor bututnya terpaksa dititipkan di salah satu rumah warga. Dia menyusuri pematang tambak yang berlumpur dan licin. Sekitar 5 kilometer jarak yang harus ditempuh. ’’Kalau hujan bisa sampai dua jam saya jalan. Airnya pasang bisa naik sampai ke jalanan,’’ ucapnya.

Namun, yang ada di benak Sujono saat itu hanya ingin mencerdask­an anak-anak para buruh tambak. Bangunan gedung SDN Kedungpelu­k 2 saat ini jauh lebih layak dibandingk­an kali pertama Sujono bertugas di sekolah tersebut. Pada 1987 sekolah itu masih berupa rumah panggung yang terbuat dari papan kayu. Kalau hujan, ruang kelas pun sering banjir. ’’Belum ada listrik lagi,’’ katanya.

Ya, hampir 30 tahun dia mengajar di SDN Kedungpelu­k 2, penduduk Dukuh Bangoan sama sekali tidak teraliri listrik PLN. Begitu juga sekolahnya. Penduduk setempat hanya memanfaatk­an genset atau aki untuk kebutuhan listrik. Itu pun tidak bisa lama karena biaya yang dikeluarka­n banyak. ’’Belum ada sebulan ini PLN masuk. Warga Dukuh Bangoan sudah teraliri listrik PLN,’’ ungkapnya penuh bersyukur.

Sujono mengungkap­kan, ketika kali pertama mengajar jumlah siswa di SDN Kedungpelu­k 2 cukup banyak. Ada 18 anak. Mulai kelas I hingga VI. Bahkan, sekolahnya pernah mendapat sekitar 30 siswa. Saat itu guru yang mengajar ada empat, termasuk kepala sekolah. ’’Sekarang sudah tiga tahun berturut-turut ini jumlah siswanya hanya 12 anak,’’ paparnya.

Seluruh guru yang pernah mengabdi di SDN Kedungpelu­k 2 kini banyak yang dipindahtu­gaskan di sekolah kota. Hanya Sujono yang belum pernah pindah sama sekali hingga kini. ’’Jujur, saat kali pertama ditugaskan, saya berharap segera dapat dipindahka­n,’’ ungkapnya.

Belakangan ini Sujono ditawari pindah ke sekolah yang lebih kota. Namun, tawaran itu ditolak. Dia tidak tega meninggalk­an SDN Kedungpelu­k 2. Hatinya sudah terpaut dalam dengan warga Dukuh Bangoan. Dia pun bertekad ingin mengabdi hingga pensiun. ’’Ini dari hati nurani saya,’’ paparnya.

Sujono juga telah membuat surat pernyataan resmi ke badan kepegawaia­n daerah (BKD) bahwa dirinya tetap ingin mengajar di SDN Kedungpelu­k 2 hingga akhir tugas. ’’Sudah kadung melekat dengan warga sekitar. Ingin menuntaska­n tugas saya sampai pensiun nanti,’’ ungkapnya.

Sujono mengatakan, dirinya juga tidak segan mendatangi rumah warga untuk membujuk anak-anaknya agar mau bersekolah. Dia ingin seluruh warga di Dukuh Bangoan pintar dan bersaing dengan anak-anak di wilayah kota. ’’Sejak ada listrik anak-anak semakin giat belajar,’’ tuturnya.

Sujono memang bertahan menjadi guru di SDN Kedungpelu­k 2 hingga sekarang. Dia ingin mewujudkan generasi bangsa yang lebih maju. Sebab, anak-anak buruh tambak juga memiliki hak yang sama dalam mendapatka­n pendidikan yang layak. Apalagi ketika melihat salah seorang muridnya bisa sukses menjadi apa yang dicita-citakan. ’’Ada murid saya bisa menjadi polisi dan pedagang sukses. Saya ikut bangga,’’ ujarnya. (*/c15/hud)

 ?? BOY SLAMET/JAWA POS ??
BOY SLAMET/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia