Keceplosan Bahasa Lain Didenda Baca Alquran
Pulau Bawean punya Kampung Inggris. Berada di lingkungan Pondok Pesantren Mambaul Falah, Kecamatan Tambak, kampung itu dihuni 300-an santri, baik laki-laki maupun perempuan.
LOKASI Kampung Inggris itu masuk sebuah gang sempit di antara rumahrumah para pemangku ponpes yang cukup berpengaruh di Bawean. Tepatnya, Dusun Tambilung, Desa Sukaoneng, Kecamatan Tambak.
Kampung Inggris tersebut tidak sama dengan Kampung Inggris di Pare, Kediri. Jika di Pare kampung itu merupakan permukiman dengan warga penghuninya, Kampung Inggris di Bawean berada di kompleks pesantren.
Konsep pendidikannya pun bernuansa alam. Tempat belajar untuk santri adalah dhurung atau rumah panggung dalam bahasa Bawean. Atapnya rumbia dengan lantai batu kali. Pagarnya terbuat dari bambu.
Ratusan remaja biasa bercengkerama di kompleks rumah panggung dalam Kampung Inggris itu. Rumah panggung bagian luar digunakan untuk para santriwati (santri perempuan) mengaji. Di rumah panggung sepanjang 15 x 4 meter tersebut, terdapat bangku kayu duduk untuk membaca Alquran. Mereka belajar mulai pagi hingga bakda isya.
”Rumah ini biasanya juga untuk salat,” ujar Makki Ismail, salah seorang ustad di kampung Inggris tersebut, pada Kamis (11/5).
Hari itu, sebagian besar santri sedang berkumpul di masjid. Mereka mengikuti acara nisfu Syakban. Para remaja tersebut bukan hanya pemuda asli Boyan –sebutan Pulau Bawean. Sebagian berasal dari Kalimantan. Menurut Makki, mereka rata-rata siswa MTs Mambaul Falah, lembaga pendidikan formal yang diasuh KH Abdul Aziz Ismail.
”Ada juga santri di kampung bahasa Inggris yang sekolah umum (formal),” imbuh Makki, yang masih kerabat pemangku ponpes.
Karena namanya Kampung Inggris, segala interaksi 300-an santri itu selalu menggunakan bahasa Inggris. Mereka berbicara, berdialog, berdiskusi, dan sebagainya dalam bahasa dunia tersebut. Sesekali terdengar celetukan dengan kosakata asing. Istilahnya, mulai bangun tidur sampai tidur lagi. Antre mandi, makan, sampai bergurau pun menggunakan bahasa Inggris. Casciscus.
Bahkan, di banyak tempat ada tulisan ” berbau” bahasa Inggris. Meski, tidak terpaku pada tata bahasa yang gramatikal. Misalnya, lantai kompleks Kampung Inggris yang menggunakan batu gunung ditulisi ”Suci Open Sandal”. Artinya, setiap santri yang masuk ruang atau melewati jalan bertulisan tersebut harus melepas alas kaki.
Bagaimana jika tidak berbahasa Inggris? Makki Ismail menyatakan, santri bisa kena sanksi. Mereka yang berbicara dalam bahasa lain, baik sengaja maupun tidak, bakal kena denda. Namun, dendanya bukan uang atau barang-barang lain. Denda itu disesuaikan dengan ”budaya” pesantren. ”Dendanya baca Alquran,” ungkap alumnus Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya itu. (c6/roz)