Jawa Pos

Persenjata­i Bawean dengan Meriam

-

Sebab, persediaan air dan makanan para pelaut pemberani itu sudah menipis. Pulau kecil itulah satu-satunya harapan. Ada sumber air tawar yang melimpah di Bawean.

Dalam kondisi malam, bukit-bukit kawasan Diponggo terpapar sinar rembulan yang samar. Nakhoda pun mengarahka­n kapal ke arah teluk. Tiba-tiba, braakk! Lambung kapal menabrak karang. Teluk Diponggo memang dilindungi karang penghalang sepanjang 2 kilometer. Hanya pelaut setempat yang mafhum jalur yang aman dilewati.

Muatan yang terlampau berat membuat kapal rusak parah. Para pelaut pun berusaha menyelamat­kan keramik dan guci. Namun, bibir pantai masih sejauh 500 meter lagi. Barang dagangan itu akhirnya tak ter selamatkan. Barang-barang tersebut berserakan ke dasar laut. Bersama kapal dan pelautnya.

*** Tentu, kisah itu hipotesis belaka. Sebab, sebarang keramik di Pantai Diponggo memang sungguh misterius. Ada dugaan tentang kapal karam yang membawa keramik. Diduga pula masih banyak guci berharga yang tinggal di dasar laut bersama bangkai kapal. Tapi, tanpa informasi memadai, ekspedisi akan menjadi seperti mencari jarum di tumpukan jerami.

Sehari sebelum keberangka­tan, salah seorang arkeolog Balai Arkeologi Jogjakarta Tri Marhaeni menceritak­an bahwa pedagang dari Tiongkok memang masuk Nusantara sejak zaman Sriwijaya (600-1100 Masehi).

Arus perdaganga­n semakin tinggi saat memasuki era Kerajaan Majapahit (1293–1500). Saat itu banyak keramik dari Dinasti Ming yang masuk Nusantara. Jejak Majapahit di Bawean diperkuat dengan penemuan Arca Dwarapala. Patung raksasa penjaga yang membawa gada. Reca penthung. Arca itu kini menjadi koleksi Museum Sunan Giri, Gresik.

Untuk mencari tahu serpihan keramik itu, kami harus menempuh perjalanan darat. Perjalanan dimulai dari tempat penginapan di dekat Alun-Alun Bawean hingga Dusun Balong, Desa Diponggo, sejauh 23 km. Kami mengambil rute pantai barat Bawean.

Rombongan berangkat setelah salat Jumat. Mobil Suzuki Carry berwarna hijau sudah disiapkan. Namun, mobil itu hanya bisa diisi delapan orang. Hanya cukup untuk para arkeolog. Regu penyelam pendamping tidak ikut serta dalam perjalanan darat itu.

Jawa Pos juga harus menggunaka­n motor untuk membuntuti mobil.

Untung, jalan Bawean sudah mulus. Hampir seluruh jalan paving yang mengelilin­gi pulau sudah dibenahi dua tahun lalu. Karena itu, perjalanan selama satu jam naik turun bukit tersebut terasa mudah. Tidak seperti dahulu saat jalanan berlumpur dan berlubang.

Begitu turun dari mobil, tim langsung menuju pantai yang jaraknya hanya 2 meter dari jalan raya. Pemandanga­n teluk terlihat jelas di posisi kami berdiri. Suasana masih asri.

Sayangnya, kami datang pada waktu yang kurang tepat. Air laut sedang pasang. Hujan tadi pagi juga membuat air keruh. ”Kalau surut, kita bisa melihat banyak pecahan keramik di sini,” ujar Hery Priswanto, kepala tim peneliti. Dia pernah menyaksika­n itu saat kali pertama datang ke Diponggo pada 2015.

Meski masih abu-abu dan air laut sedang pasang, para peneliti tetap mencari fragmen keramik. Masih ada sisa pasir pantai yang bisa dipelototi dan belum terseka ombak.

Belum lima menit mencari, arkeolog Tri Marhaeni dan Alifah menemukan sejumlah serpihan keramik di gundukan pasir putih. Keramik itu berukuran 5 cm hingga 10 cm. Warnanya sama-sama terang dan cenderung putih. Mereka membersihk­an keramik-keramik dari pasir dan kotoran yang menempel. Setelah sepintas melihat, Tri menyimpulk­an bahwa keramik-keramik yang ditemukan punya perbedaan zaman dan tempat pembuatan.

Salah satu yang mencuri perhatian Tri adalah pecahan keramik dengan lukisan spiral. Garis berwarna biru itu punya motif seperti obat nyamuk bakar. ”Kemungkina­n dari Dinasti Ming. Keramik-keramik dari sana punya simbol-simbol Tiongkok. Biasanya ada simbol spiral, awan, swastika, atau tumbuh-tumbuhan,” jelas alumnus Universita­s Gadjah Mada (UGM) tersebut.

Selain itu, ada pecahan keramik yang berasal dari Dinasti Qing (1644-1912) yang berkuasa setelah Dinasti Ming. Ada bedanya.

Tri menerangka­n, banyak keramik dari Dinasti Ming dan Qing yang diangkut perusahaan dagang asal Belanda, Kraak Porcelain. Dia menunjukka­n salah satu artikel yang ada di internet dari smartphone- nya. Ya, sinyal internet di Bawean sudah bagus. Bahkan, sudah 4G.

”Mirip kan dengan keramik-keramik pecah ini,” ucap dia, membanding­kan motif keramik yang ada di layar

smartphone- nya. Boleh jadi, kapal yang tenggelam di Teluk Diponggo adalah milik Kraak. Atau, mungkin juga kapal tenggelam yang menjadi sumber keramik pecah itu berasal dari pelaut Nusantara yang menjual lagi keramik-keramik tersebut. ’’Selama belum ada bukti, semuanya kemungkina­n bisa terjadi,’’ kata pria yang pernah bertugas di Balai Arkeologi Palembang tersebut.

Dia menuturkan, pedagang Tiongkok masuk ke Nusantara sejak Dinasti Tang. Mereka menjalin hubungan dagang dengan Kerajaan Sriwijaya sejak abad ke-9. Jual beli keramik saat itu sudah terjadi. Namun, komoditas utama yang diperjualb­elikan masih berupa kapur barus, kemenyan, gading gajah, hingga cula badak.

Belakangan fragmen keramik yang ditengarai dari Dinasti Tang ditemukan di Bawean. Pecahan tersebut ditemukan di Teluk Dalam oleh Iling Khairil Anwar, Kasi Purbakala dan Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Gresik. Sayangnya, pecahan itu tidak begitu besar sehingga kebenarann­ya masih perlu dikaji lagi. Pecahan tersebut bisa menjadi titik awal untuk mencari tahu sejauh mana Bawean berpengaru­h di rantai perdaganga­n kuno.

’’Bisa jadi sejak Sriwijaya. Karena stupika (stupa kecil, Red) ditemukan di sini,’’ ucap Iling yang juga memiliki latar belakang arkeolog tersebut.

Selain keramik Tiongkok, ada pecahan keramik produksi Asia Tenggara. Di antaranya, Thailand, Vietnam, dan Burma (Myanmar). Secara kualitas, keramik-keramik buatan tiga negara itu masih kalah dengan keramik buatan Tiongkok. Sebab, teknologi pembuatan keramik paling bagus pada zamannya ya ada di Tiongkok.

Berdasar penelitian sebelumnya, serpihan keramik ditemukan di Pulau Cina. Lokasinya ada di barat Pulau Bawean. Di lokasi tersebut terdapat persebaran keramik, baik yang terkonsent­rasi maupun tersebar di sebelah timur dan utara pulau.

Kondisi mayoritas fragmen keramik yang ditemukan tidak berglasir (tidak mengilap). Sebab, sudah ada pengaruh proses alam yang terjadi di pesisir pulau.

Keramik di Pulau Cina juga ditengarai berasal dari kapal yang terdampar. Jika benar, keberadaan kapal tersebut menjadi temuan tersendiri bagi tim. Bukan tidak mungkin nantinya dilakukan penyelaman.

Namun, misi kali ini sudah dipatok. Sudah ada empat kapal yang difokuskan untuk diselami. Yakni, SS Bengal dan tiga kapal lain yang masih belum teridentif­ikasi.

Setelah tim mencatat dan memoret serpihan keramik itu, perjalanan berlanjut ke selatan. Terdapat kawasan permukiman, Gang Sawandi. Ada dua meriam di kanan-kiri gang itu. Senjata api kuno tersebut dicat hitam dengan ujung merah pudar. Panjangnya hampir 1,5 meter, mengarah ke laut.

Meriam-meriam itu dulunya dipakai sebagai senjata pertahanan darat oleh Belanda. Posisi Pulau Bawean memang dijadikan gudang senjata. Karena itu, keamanan pulau sangat dijaga ketat.

Ada juga meriam-meriam yang ditemukan di kantor koramil setempat. Namun, identifika­si meriam itu tidak terlalu lama. Sebab, konsentras­i tim kali ini tetap pada keramik.

Tim lalu mengunjung­i rumah Nur Azizah. Dia memiliki dua keramik asal Tiongkok yang masih terawat. Tetangga Azizah juga punya banyak koleksi keramik warisan keluarga. Selain keramik, perempuan berusia 35 tahun tersebut memiliki guci arak. Persis dengan yang dipakai dewa mabuk di film Drunken Master yang dibintangi Jacky Chan. (*/c7/c15/dos)

 ?? GUSLAN GUMILANG/JAWA POS ?? SISIR PANTAI: Iling Khairil Anwar (tiga dari kanan) bersama tim ekspedisi Balai Arkeologi Jogjakarta sedang meneliti pantai di Dusun Balong, Desa Diponggo, Bawean.
GUSLAN GUMILANG/JAWA POS SISIR PANTAI: Iling Khairil Anwar (tiga dari kanan) bersama tim ekspedisi Balai Arkeologi Jogjakarta sedang meneliti pantai di Dusun Balong, Desa Diponggo, Bawean.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia