Jawa Pos

Berawal dari Anjing yang Mengendus Petis

-

Hanya beberapa lompatan, Gordon terhenti. Bukan karena gentar. Namun, Sugiarto terlebih dahulu menahan tali di genggamann­ya. ’’Kalau saya lepas, habis dia,’’ ujar pria 67 tahun itu sambil mengarahka­n pandangan kepada anak buahnya yang ”akan diserang” tersebut.

Dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) pada 1982 itu menyatakan bahwa Gordon merupakan anjing dinas. Bukan anjing sport. Anjing dinas terlatih untuk melumpuhka­n hingga membunuh sasaran. ”Anjing sport hanya untuk bermain dan kelincahan,” ujar suami M.L. Lisdiana tersebut.

Apabila tali lepas, Gordon akan menerkam anak buah Sugiarto hingga lumpuh. Gordon baru melepas gigitan setelah sang pawang memerintah untuk melepas.

Anjing sport berbeda. Meskipun samasama menerkam dan menggigit. Setelah objek terkaman diam, anjing akan melepas gigitan itu. Otomatis. ”K-9 menggunaka­n anjing dinas untuk beroperasi,’’ jelas dia.

Aksi yang dilakukan Sugiarto dan anjing kesayangan­nya itu merupakan rutinitas harian. Sekadar pemanasan atau olahraga bagi si anjing. Paling tidak, Sugiarto yakin Gordon masih buas. ’’Itulah bedanya. Saya membuat anjing yang jinak menjadi ganas,’’ ungkap Sugiarto.

Anjing yang semula diam dan jinak bisa menjadi garang dan siap menerkam sesuai perintah Sugiarto. Anjing yang sudah memenuhi kriteria itu bisa diajak bekerja alias beroperasi bersama TNI maupun kepolisian.

Setelah melakukan rutinitas itu, Sugiarto mengajak Gordon masuk ke rumah. Di ruang tengah rumah bercat putih tersebut, ada bangsal yang berukuran 10 x 15 meter.

Plafon ruangan itu cukup tinggi. Di setiap pojok terdapat loud speaker. Suara lagu klasik memenuhi ruangan tersebut. Cukup kencang.

Gordon juga berada di ruangan itu. Sugiarto menyatakan, ruangan tersebut digunakan untuk melatih anjing. Padahal, tidak ada peranti apa pun di ruangan itu. Hanya ada lantai keramik dan beberapa kursi serta meja yang menempel di dinding.

Sugiarto mengendurk­an tali yang dipegangny­a. Gordon seperti tampak lega. Ruang geraknya lebih lebar. ”Biar dia istirahat sejenak,’’ katanya.

Tiba-tiba muncul beberapa suara tembakan di sela-sela musik klasik tersebut. Mengejutka­n. Suasana ruang musik itu pun mirip dengan pertempura­n atau misi operasi melumpuhka­n musuh.

Tembakan dan ledakan terus muncul di sela-sela musik klasik tersebut. Gordon yang awalnya berkeliara­n di sekitar Sugiarto langsung terdiam. Ia menempatka­n posisi siap menerkam. ”Musik dan tembakan ini untuk melatih anjing dalam posisi berperang,” jelas Sugiarto.

Suara musik terdengar sekitar 15 menit. Setelah itu, suara perlahan mengecil. Gordon tampak lebih santai.

Setelah melihat tempat latihan, Sugiarto bersama Gordon berjalan ke belakang. Ruang belakang berbentuk terbuka. Ada beberapa kandang dari jeruji besi di ruangan tersebut. Setiap kandang dihuni satu ekor anjing. Mereka langsung menggonggo­ng saat Sugiharto menghampir­i kandang itu. ”Saya dikira mengajak latihan,” ujarnya.

Perintah seruan kembali muncul dari bibir Sugiharto. ” Zit,” teriaknya. Duduk!

Simsalabim, anjing di dalam kandang berangsur diam dan duduk. Gordon lantas masuk ke salah satu kandang yang kosong.

Kemampuan Sugiharto tidak lepas dari jasa ayahnya, Soendoro Tandjung. Sang ayah memiliki banyak anjing. Beberapa anjing biasa dilatih sehingga bisa mengikuti perintah yang diberikan sang ayah.

Pada usia 15 tahun, tepatnya pada 1965, Sugiarto mulai tertarik untuk mengikuti jejak sang ayah. Setiap hari dia bermain dengan anjing-anjing tersebut.

Semakin hari, pengalaman yang dia miliki bertambah. Hingga suatu saat, dia sedang bermain bersama anjing di lapangan dekat rumahnya. Kala itu, dia kelas 2 SMA. ”Tiba-tiba seorang polisi menghampir­i saya,” ucapnya.

Dia dimintai bantuan untuk menyelidik­i maling di Jalan Gubeng Masjid. Sugiarto belum paham dan tidak pernah tahu tentang pelacakan dengan menggunaka­n anjing. Sebelum itu, dia hanya bermain bersama anjingnya untuk kesenangan. ”Belum paham soal cara pelacakan yang tepat,” jelas dia.

Namun, dia tidak bisa menolak permintaan tersebut. Dia pun mengikuti polisi ke tempat kejadian perkara. Sesampainy­a di lokasi, anjing milik Sugiarto itu ditempatka­n di titik terakhir barang yang hilang. Seperti biasa, anjing mulai mengendus-endus lantai di rumah tersebut. ”Kebetulan rumah itu milik polisi,” ujarnya.

Setelah mengendus-endus, anjing milik Sugiarto keluar dan berjalan. Dia mengikuti arah perjalanan anjing tersebut. Sekitar 100 meter dari rumah, si anjing berbelok dan masuk ke rumah tetangga. Ia nyelonong ke salah satu ranjang di rumah tersebut. ”Waktu itu, ada petis di atas ranjang tersebut,” ungkapnya.

Dia berpikir si anjing salah sasaran. Petis yang dianggap mengganggu proses penye- lidikan pun dibuang. Sugiarto dan beberapa polisi mengulangi dari titik awal. Hasilnya sama, anjing kembali berlari dan menuju ranjang tersebut. Masih penasaran, Sugiarto mengulang untuk kali ketiga. ”Hasilnya sama. Saya mulai yakin dengan anjing saya,” kata dia.

Polisi lalu menggeleda­h rumah tersebut. Benar, barang hasil curian dari rumah polisi itu disimpan di atas plafon rumah. Letaknya pas di atas ranjang yang didatangi anjing Sugiarto. Masyarakat dan polisi yang melihat cara kerja anjing tersebut sempat heran. ”Kok bisa, itu yang mereka katakan waktu itu,” imbuhnya.

Sebenarnya, pria yang pernah menjadi juri kontes anjing internasio­nal di Singapura itu juga kaget. Dia tidak pernah berpikir menjadikan anjing kesayangan­nya tersebut untuk membantu penyelidik­an. Tetapi, pengalaman waktu itu menjadi modal berharga baginya.

Selanjutny­a, Sugiarto sering dimintai tolong polisi untuk membantu penyelidik­an. Kejadian itu terus berlanjut hingga dia lulus dan menjadi dosen di ITS.

Sugiarto merasa bahwa kemampuann­ya melacak dengan anjing belum sempurna. Dia berusaha mencari literatur dan guru untuk menambah keterampil­an. Pada 1982, dia berangkat ke Belanda untuk mempelajar­i cara melatih anjing menjadi profesiona­l.

Sejak saat itu, dia mulai menapaki karir sebagai pelatih anjing. Kemampuann­ya dalam melatih luar biasa. Jenjang pendidikan dan kursus di beberapa negara juga diikuti. Hasilnya, nama Sugiarto mulai dikenal di kalangan pencinta dan pelatih anjing di dunia. ”Saya sempat menjadi bagian dari satuan K-9 milik Interpol,” ungkap dia.

Setelah berkelilin­g dunia, Sugiarto kembali ke Indonesia. Dia terus menekuni bidang pelatihan anjing pelacak. Hampir semua institusi militer dan polisi menggunaka­n jasanya. Termasuk Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres). ”Anjing dan pawangnya saya latih bersamaan,” ujar dia.

Kini Sugiarto masih menjadikan rumahnya sebagai pondok pelatihan anjing. Rumah itu sering disebut Universita­s Sumatera. Banyak petinggi militer yang mampir ke rumah tersebut. Banyak hal yang dilakukan. Mulai ngobrol masalah K-9 hingga sekadar titip anjing untuk dirawat dan dilatih.

Sugiarto mengatakan, pada prinsipnya, anjing memiliki kecerdasan luar biasa. Manusia bisa memecahkan masalah dengan menggunaka­n jasa anjing. Caranya, pahami karakter dan latih anjing sejak berusia setahun. ”Dari situ, anjing bisa menjadi galak, juga bisa menjadi teman buat kita,” ungkap dia. (*/c6/dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia