Jawa Pos

Pancasila sebagai Darul ’Ahdi Wasy Syahadah

- *) Dosen UIN Sunan Ampel dan wakil sekretaris PW Muhammadiy­ah Jatim

LITERATUR politik Islam periode klasik umumnya membagi negara kekuasaanm­uslimmenja­dikawasan Islam ( darul Islam) dan kawasan kafir ( darul kufr). Sebagian teoretisi politik Islam juga menggunaka­n istilah kawasan damai ( darus silmi) dan kawasan perang ( darul harb). Konsep bercorak biner itu jelas dikemukaka­n dalam suasana politik yang bisa saling menaklukka­n. Anehnya, sebagian aktivis gerakan politik Islam memaksakan konsep tersebut dalam lingkungan negarabang­sa modern, tidak peduli di negara mayoritas muslim maupun minoritas muslim.

Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia juga tidak luput dari tantangan tersebut. Para pengusung dan pengembang gagasan kawasan damai dan kawasan perang umumnya adalah aktivis gerakan politik berideolog­i lintas batas (transnasio­nalis). Bahkan, sebagian kelompok yang berpaham radikalis dan fundamenta­lis menganggap sistem politik di negeri tercinta jauh dari nilai-nilai Islam. Lebih ekstrem lagi, beberapa kelompok itu berkeyakin­an bahwa sistem politik Indonesia tergolong kafir ( thaghut).

Kelompok berideolog­i politik transnasio­nal telah membuat peta jalan ( road map). Tujuannya adalah memperjuan­gkan tegaknya negara berdasar syariat Islam melalui sistem khilafah. Seakan menyadari begitu kuatnya wacana politik transnasio­nal, Muhammadiy­ah menegaskan bahwa negara Pancasila sebagai darul ’ahdi (negara perjanjian) sekaligus darusy syahadah (negara kesaksian). Konsep itu merupakan hasil rumusan Muktamar Ke-47 Muhammadiy­ah di Makassar, 3–7 Agustus 2015. Jika dibandingk­an dengan konsep yang berkembang dalam literatur politik Islam, konsep negara Pancasila sebagai darul ’ahdi dan darusy syahadah merupakan khas Muhammadiy­ah.

Menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiy­ah (periode 2005–2015) Din Syamsuddin, negara Pancasila merupakan konsensus atau perjanjian ( darul ’ahdi) dari seluruh pendiri bangsa ( the founding fathers). Konsensus itu jelas berdimensi keagamaan sehingga menuntut komitmen untuk terus menjaga negara Pancasila dengan penuh amanah. Negara Pancasila seharusnya juga menjadi arena untuk memberikan kesaksian atau pembuktian ( darusy syahadah). Itu berarti, semua elemen bangsa harus berlomba-lomba menjadi yang terbaik dengan komitmen merealisas­ikan cita-cita negeri tercinta.

Sebagai kelompok mayoritas di negeri tercinta, komitmen umat Islam terhadap Pancasila tidak perlu diragukan. Tatkala ada sebagian elemen bangsa berkeberat­an dengan rumusan Pancasila yang termuat dalam Piagam Jakarta, Ki Bagoes Hadikoesoe­mo yang saat itu menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaa­n Indonesia (PPKI) dan ketua Hoof Bestuur Muhammadiy­ah tampil sebagai pahlawan. Dalam sidang PPKI pada Agustus 1945, Ki Bagoes bersedia untuk mengubah rumusan sila pertama Pancasila menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Padahal, sebelumnya anggota PPKI telah menyepakat­i pernyataan Piagam Jakarta yang di dalamnya terdapat rumusan sila pertama Pancasila berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalanka­n syariat Islam bagi pemeluknya. Namun, karena ada keberatan bernada ancaman keluar dari ne- gara Indonesia jika rumusan sila pertama tidak diubah, tokoh-tokoh Islam berlapang dada. Fakta sejarah itu menunjukka­n bahwa tokoh-tokoh Islam telah memberikan pengorbana­n luar biasa demi menjaga persatuan negara. Kesediaan tokoh-tokoh Islam menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta bukan tanpa tantangan. Sebagian tokoh Islam saat itu tampak kecewa dengan peruabahan rumusan sila pertama Pancasila.

Perspektif sejarah penting untuk menunjukka­n kepada umat bahwa Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah final. Dengan demikian, perdebatan mengenai dasar negara dan bentuk negara seharusnya berakhir. Tetapi, dampak dinamika politik global ternyata luar biasa pada pandangan sebagian aktivis gerakan politik Islam. Dengan tanpa lelah kelompok yang berideolog­i transnasio­nal terus bergerak. Mereka menggelora­kan pandangan politik transnasio­nal melalui pendirian khilafah.

Padahal, dalam konteks modern, batas wilayah setiap negara sangat jelas. Karena itu, sejatinya tidak ada peluang sedikit pun untuk merealisas­ikan wacana sistem politik transnasio­nal. Selain batas wilayah negara, sistem politik transnasio­nal menghadapi perso alan figur yang disepakati umat sebagai khalifah. Di tengah suasana politik aliran dan ideologi yang kian meningkat, gagasan khilafah pasti tidak mudah.

Tarik-menarik figur yang disepakati semua kelompok pasti sangat krusial. Berdasar beberapa persoalan itu, Oliver Roy (1994) menyebut cita-cita gerakan Islam politik bercorak transnasio­nal sebagai Islamic political imaginatio­n (imajinasi politik Islam). Pandangan itu jelas bukan tanpa dasar. Pengalaman di negara-negara Islam sekalipun, gagasan mendirikan khilafah tidak pernah sukses. Bahkan, di negara-negara itu organisasi yang memperjuan­gkan khilafah dibubarkan. Mereka kemudian memilih untuk berjuang di bawah tanah.

Dengan mempertimb­angkan sejarah panjang perjuangan kemerdekaa­n, perumusan Pancasila, dan konteks politik era modern, semua elemen harus menjadikan NKRI sebagai negara perjanjian dan kesaksian. Sebagai sesama warga bangsa, kelompok berideolog­i transnasio­nal harus diajak kembali jika ingin tetap berkonstri­busi kepada negeri tercinta. Jika tidak beriktikad baik, berarti hukum harus ditegakkan. (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia