Jawa Pos

Janji HP yang Tak Terlunasi

-

ROCHMATUL Chofsiyah tidak mau menutupi dukanya. Ibu empat anak tersebut membanjiri dirinya dengan tangisan saat mendengar kabar ngeri itu: Sholahudin Ahmad, anak keduanya, tewas lantaran tenggelam saat mengikuti outbound bersama kawan-kawan sekolahnya

Ketika kabar kematian itu tiba, Rochmatul langsung mendekatka­n dirinya ke suaminya, Achmad Zaeni. Mereka menghabisk­an waktu beberapa detik untuk berpelukan. Setelah puas berpelukan, Rochmatul memantapka­n diri untuk duduk di ruang tamu.

Di ruang tamu itu dia menerima perwakilan pesantren yang menyampaik­an kabar duka. Jam masih menunjukka­n pukul 15.00 ketika kabar tersebut sampai. ’’Apa benar yang meninggal anak saya, Pak?’’ ujar Rochmatul. Ada nada tidak percaya pada kalimat itu. Wajar saja, berita tragedi yang masuk ke kuping Rochmatul ada banyak versi.

Terlebih, perwakilan pesantren yang datang ke rumah di Jalan Gebang Wetan tersebut tidak melihat langsung kematian Sholahudin. Mereka adalah alumni ponpes yang diutus untuk menyampaik­an kabar duka. Itu saja.

Bagi keluarga, Sholahudin merupakan tipe anak yang mandiri. Dia tidak pernah merepotkan orang tuanya sama sekali. Meski masih muda, Sholahudin selalu mengerjaka­n banyak hal sendirian. ’’Kalau dibantu sama orang tua pasti nolak,’’ jelas Zaeni.

Ajaran agama memang kental mengalir dalam keluarga tersebut. Karena itu, Sholahudin dengan mantap minta disekolahk­an di ponpes. ’’Dia (Sholahudin, Red) mon- dok itu semenjak kelas empat SD sampai sekarang ini,’’ tutur Zaeni.

Selama dua bulan terakhir ini Sholahudin menolak jika orang tuanya hendak datang untuk besuk. Tanpa alasan yang jelas, dia selalu memarahi orang tuanya yang kadang datang memberikan kejutan kunjungan.

Zaeni pun sangat terpukul mendengar kabar kematian anaknya. Terlebih, dia masih memiliki satu janji yang masih belum dilunasi selama Sholahudin masih hidup. Dia sudah berjanji memberikan telepon genggam kepada anaknya tersebut.

Janji itu diucapkan ketika Sholahudin hendak ujian. Yakni, jika Sholahudin masuk tiga besar ketika ujian. Sayangnya, hal tersebut tidak bisa diraih Sholahudin. Dia gagal mendapat juara ketiga di kelasnya. ’’ Tapi, dia tetap minta. Namanya juga orang tua. Saya tidak tega melihat anak saya merengek seperti itu,’’ ungkap pria 51 tahun tersebut.

Alih-alih membelikan handphone, kini Zaeni tidak akan melihat anaknya pulang dalam keadaan hidup. Dia malah harus menjemput Sholahudin yang kemarin siang masih berada di ponpes.

Dengan berpakaian rapi, Zaeni pun bergegas untuk segera berangkat ke Gresik. Dengan meninggalk­an istrinya di rumah, dia menjemput anaknya yang sudah tidak bernyawa. ’’Istrinya tidak bisa ikut. Soalnya sedang mengandung lima bulan sekarang. Jadi lebih mementingk­an kesehatann­ya,’’ ucap Masruroh, bude Sholahudin.

Di mata keluarga besar, Sholahudin merupakan salah satu keponakan favorit. Tidak hanya menjaga sopan santun di hadapan keluarga besar, Sholahudin juga selalu menyempatk­an waktu untuk melakukan tadarus di musala dekat rumah. ’’Itu kan musala keluarga. Nah, yang sering mengisi di musala itu ya Sholahudin kalau pulang ke Surabaya. Apalagi pas bulan Ramadan,’’ kata Masruroh.

Duka itu juga terasa di rumah keluarga Abd. Rohman Nafis di Jalan Tambak Asri Tanjung V. Belasan orang tampak sibuk mendirikan tenda kemarin siang. Di dalam ruang tamu rumah itu, ada perempuan berjilbab merah muda yang duduk dengan mata sembap. Dia adalah Maisaroh, ibu Rohman.

’’ Tadi siang sekitar jam setengah satu ada yang datang mengaku teman Rohman,’’ tutur Maisaroh dengan wajah sendu kepada Jawa Pos kemarin (18/5). Dia sempat tidak percaya ketika orang tersebut mengatakan bahwa putra keduanya telah meninggal dunia. Apalagi, sebulan lalu mereka sempat berjumpa dalam keadaan baik-baik saja.

Perempuan kelahiran 8 Juli 1967 itu lantas menghubung­i suaminya yang tengah bekerja. ’’Saya nggak bilang apa-apa. Cuma minta dia cepat pulang ada yang penting,’’ ucap Maisaroh.

Ketika suaminya sampai di rumah, Maisaroh baru menceritak­an semuanya. Reaksi tidak jauh beda ditunjukka­n sang suami, Emunari. Sempat kaget dan tidak percaya, lelaki kelahiran 2 Juli 1965 tersebut langsung berangkat menuju Pondok Mambaus Sholihin di Gresik, tempat anaknya menimba ilmu.

Maisaroh mengenang Rohman sebagai anak yang rajin membantu. ’’Sebulan lalu dia baru pulang. Waktu itu saya kan pas melahirkan. Caesar. Dia yang nunggu sampai saya pulang,’’ ungkap Maisaroh dengan air mata yang mulai meleleh. Rohman yang lahir pada 18 September 16 tahun silam tersebut memang sangat ingin punya adik perempuan. Karena itu, dia begitu senang saat tahu sang ibu akan melahirkan anak perempuan.

Maisaroh lantas ingat bahwa ada yang berbeda saat kali terakhir anaknya pulang. Setiap pulang ke rumah untuk liburan, Rohman kembali ke pondok setiap Jumat. Namun, bulan lalu tidak begitu. ’’Waktu itu saya bilang, ’Balik nak. Mondok kok mulah-muleh’,’’ lanjutnya. Dengan enggan, Rohman menolak permintaan ibunya. Dia lebih memilih tetap tinggal bersama orang tua dan adiknya hingga Minggu. Rohman sendiri seharusnya menjalani wisuda besok (20/5). Namun, apa daya, Tuhan lebih dulu memanggil Rochman untuk kembali ke sisi-Nya. (Drian Bintang/ Dwi Wahyunings­ih/c15/dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia