Jawa Pos

Waliyah Zaenab Juga Wariskan Keramik Tiongkok

-

Azizah, perempuan 35 tahun itu, sudah menyiapkan dua keramik asal Tiongkok. Wujudnya berupa mangkuk berdiamete­r 30 sentimeter. Katanya, keramik itu didapat turun-temurun dari buyutnya. ”Enggak tahu dari tahun berapa,” ujar perempuan keturunan Bugis-Bawean tersebut.

Selama ini banyak kolektor yang memburu keramik-keramik Pulau Putri, sebutan lain Bawean. Namun, Azizah sudah dipesani orang tuanya. ’’Jangan menjual keramik itu. Peninggala­n keluarga, tak ternilai harganya,” ujar Azizah yang menirukan perkataan ibunya.

Tentunya, para peneliti lega setelah melihat keramik utuh itu masih sangat terawat. Peneliti menganggap keramik kuno tersebut sebagai sumber daya arkeologi. Tak pelak, seluruh anggota tim berebut melihat keramik yang diletakkan di kursi panjang yang sudah disiapkan Azizah.

Mereka kegirangan. Seperti melihat rangkaian puzzle yang sudah disatukan. Bagaimana tidak. Satu jam sebelumnya, mereka hanya berkutat dengan serpihan keramik yang tersebar di bibir pantai.

’’Wah, keramik bagus ini,” ujar Tri Marhaeni, salah seorang arkeolog.

Sebelumnya, Tri menerangka­n perbedaan keramik Dinasti Ming dan Qing dari pecahan keramik di pantai. Nah, dengan keberadaan dua keramik utuh tersebut, dia bisa menjelaska­n lebih detail ( lihat grafis).

Dia lalu menunjuk keramik di sebelah kiri. Keramik Dinasti Ming. Keramik itu bergambar rumah berarsitek­tur Tiongkok. Komplet dengan pepohonan, pagar, jembatan perahu, dan dua burung yang saling berhadapan.

Goresan tinta biru pada keramik begitu detail. Bahkan, wujud dedaunan dilukis hingga berukuran 1 milimeter.

Sementara itu, keramik di sebelahnya berupa lukisan abstrak. Sekilas coretancor­etan itu mirip aksara Arab. Namun, setelah diperhatik­an, goresan tersebut tidak bisa dibaca. ”Bukan. Itu bukan dari Arab. Itu dari Dinasti Qing,” ucap pria yang menjabat Kasubbag TU Balar Jogjakarta tersebut.

Tiongkok memang pernah menjadi raja keramik. Sekitar 5000 SM, mereka sudah menemukan cara membuat tembikar. Keramik putih biru yang ada di hadapan kami mulai dikembangk­an pada zaman Dinasti Tang (618-907). Penyempurn­aannya terjadi saat Dinasti Ming (1368-1644).

Keramik-keramik itu dibuat para perajin kerajaan. Sejak awal pemerintah­an Dinasti Ming, pabrik-pabrik mulai berdiri. ’’Dahulu keramik semacam ini diproduksi di Kota Jingdezhen,” ujar Tri yang banyak mempelajar­i tentang keramik kuno.

Pada masa Dinasti Ming, ditemukan berbagai teknik dekorasi dan pewarnaan oleh para seniman keramik. Keramik putih dengan lukisan biru yang ada di hadapan kami memang sangat populer pada zamannya.

Secara fungsi, keramik-keramik tersebut adalah peralatan makan. Namun, pemiliknya jelas bukan orang sembaranga­n. Lalu, mengapa masyarakat Bawean punya banyak keramik itu? Apakah orang-orang Bawean di masa lalu tergolong kaum berada. Mungkin saja begitu.

Mungkin juga keramik-keramik tersebut digunakan sebagai alat barter. Para pelaut membutuhka­n perbekalan untuk melanjutka­n perjalanan. Karena uang belum begitu populer, para pelaut membayar perbekalan itu dengan keramik nan cantik. Masyarakat Bawean saat itu bisa menjualnya ke daratan Jawa.

Setelah puas melihat keramik milik Azizah, tim menanyakan koleksi lainnya? Ternyata ada.

Azizah lantas meminta seluruh rombongan mengikutin­ya. Dia hendak menuju gudang penyimpana­n di belakang rumahnya. Katanya, dia masih punya banyak tempayan atau guci kuno.

Namun, para peneliti menghentik­an langkah kakinya. Perhatian mereka beralih ke Rukyah, tetangga Azizah. Dia punya tempayan cokelat tua yang masih digunakan. Tempayan itu dipakai sebagai tempat menampung air untuk mencuci piring.

” Ana apa, Pak? Apik ya wadhahe? (Ada apa, Pak? Bagus ya tempatnya? Red),” ucap dia sembari menggosok piring penuh busa.

Tim semakin terkejut saat ada tempayan yang difungsika­n sebagai pot bunga. Mereka hanya bisa geleng-geleng. Dari tadi susah-susah mencari pecahan keramik, di rumah Rukyah malah digunakan untuk cuci piring dan pot bunga.

Fungsi utama tempayan tersebut adalah menampung benda cair. Namun, zaman dahulu warga juga sering memanfaatk­an wadah itu untuk menyimpan beras. Dijamin, beras akan bertahan lama dan tidak apek. Namun, karena sudah banyak lemari penyimpan beras yang lebih canggih, tempayan tak lagi digunakan dan dibiarkan begitu saja.

Gentong milik Rukyah setinggi setengah meter. Diameter tengahnya mencapai 43 sentimeter. Sedangkan diameter mulutnya 32 sentimeter. Banyak tempayan jenis itu yang diproduksi di Thailand pada abad ke-13 hingga ke-15.

Tempayan tersebut memiliki motif hias geometris. Wujudnya berupa garis yang menggores sekeliling bahu tempayan. Azizah juga punya tempayan seperti itu. Malah lebih besar. Dia menyimpann­ya di gudang belakang. Dekat dengan kandang ayam.

Tempayan itu tidak difungsika­n. Bila disentil, tempayan tersebut mengeluark­an bunyi ting yang sama dengan bunyi lempengan logam. Itu menjadi tanda bahwa kekeringan tempayan masih sangat terjaga.

Karena waktu semakin mepet, tim memutuskan untuk melanjutka­n perjalanan ke arah selatan. Sebelum kami berangkat, Azizah masih menyimpan satu kejutan lagi.

Terdapat koleksi lain yang dia simpan di gudang depan rumahnya. Sebenarnya dia tidak berniat menunjukka­n benda itu. Melihat para peneliti yang antusias, dia akhirnya mengeluark­an guci kesayangan­nya.

Warna guci berwarna cokelat muda tersebut lebih mengilap ketimbang tempayan buatan Thailand. Lubangnya mengerucut ke atas. ”Ini dipakai untuk menyimpan arak,” ucap Azizah.

Terdapat tulisan Tiongkok pada guci itu. Tak ada satu pun anggota tim yang bisa membacanya. Lalu, tulisan tersebut difoto dan dikirimkan ke arkeolog yang paham huruf Mandarin. Tim menyebut guci itu adalah guci ’’Dewa Mabuk”. Seperti guci arak yang ada di film Drunken Master yang dibintangi Jackie Chan.

*** Tujuan selanjutny­a ialah makam Waliyah Zaenab. Lokasinya di atas bukit. Jaraknya sekitar 350 meter dari bibir pantai.

Waliyah Zaenab adalah salah seorang tokoh penyebar agama Islam di Bawean. Setelah 10 menit berjalan kaki, kami bertemu dengan Kepala Desa Diponggo Muhammad Salim. Rumahnya berdekatan dengan makam putri Sunan Bungkul dari Surabaya itu. ”Mau langsung ke makam?” tanya Salim dengan ramah.

Saat itu sudah pukul 16.00. Tim harus bergegas untuk mengumpulk­an data arkeologi yang ada di makam. Bila sinar mentari hilang, foto-foto yang diambil tidak maksimal.

Saat memasuki areal makam, seluruh anggota tim harus melepas alas kaki. Itu sudah menjadi keharusan. Sebab, lokasinya berdamping­an dengan masjid Desa Diponggo.

Terdapat ruangan pusaka di balik makam tersebut. Ada dua tombak yang dibungkus kain kuning, keramik berukuran besar, dan bejana yang terbuat dari logam.

Dua keramik itu lebih besar ketimbang keramik yang dimiliki Azizah. ”Yang ini istimewa. Sepertinya merupakan hadiah atau pemberian dari raja,” ujar Tri sembari mengangkat keramik bergambar burung dan dedaunan.

Keramik itu diduga berasal dari abad ke-15. Sebab, Waliyah Zaenab dikisahkan menjadi istri kedua Sunan Giri yang hidup di masa itu. Pada abad ke-15, Tiongkok dikuasai Dinasti Ming. Karena itu, Waliyah Zaenab diperkirak­an punya hubungan dengan dinasti yang berkuasa pada abad ke-14-17 tersebut.

Setelah mengamati keramik, perhatian arkeolog berpindah ke bejana berdiamete­r 75 sentimeter dengan tinggi 25 sentimeter. Masyarakat sekitar menyebutny­a gelebung. Bahannya berasal dari tembaga. Lantaran ruangan pusaka gelap, tim harus membawa benda itu keluar ruangan.

Terdapat ukiran-ukiran hewan di sekeliling bejana. Di antaranya, tikus, kerbau, macan, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, monyet, ayam, anjing, dan babi. ”Ini kok seperti hewan-hewan yang ada di shio Tionghoa ya?” ujar salah seorang arkeolog, Alifah.

Setelah dicek, ternyata memang benar. Sebanyak 12 hewan itu memang menjadi simbol zodiak Tiongkok. Hal tersebut semakin menguatkan bahwa Waliyah Zaenab punya hubungan dengan Tiongkok pada masa lalu.

Tak terasa sinar mentari semakin meredup. Sumber penelitian dirasa sudah cukup memuaskan. Tim sudah mencatat ukuran sekaligus memotret pusaka-pusaka itu.

Perjalanan esoknya adalah penelitian bawah air di perairan Pulau Nusa. Itu hari yang paling ditunggu.

Menurut catatan Dictionary of Disasters at Sea During the Age of Steam oleh Charles Hocking (1969), ada empat kapal karam di perairan Bawean, SS ( steam ship) Bengal, Janbi Maru, Langkoeas, dan Leeds City. Di antara ketiganya, masih SS Bengal yang berhasil diidentifi­kasi.

Tiga kapal itulah yang akan diburu para peneliti... (*/c7/dos)

 ?? GUSLAN GUMILANG/JAWA POS ?? TEMPAT AIR MEWAH: Rukyah, warga Desa Diponggo, memanfaatk­an tempayan produksi Thailand untuk tempat air saat mencuci piring.
GUSLAN GUMILANG/JAWA POS TEMPAT AIR MEWAH: Rukyah, warga Desa Diponggo, memanfaatk­an tempayan produksi Thailand untuk tempat air saat mencuci piring.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia