Jawa Pos

Mendayung Bahtera Nasionalis­me

- ICHWAN ARIFIN* *)Pegiat Pergerakan Kebangsaan, magister of science Undip Semarang

MOMENTUM Hari Kebangkita­n Nasional 20 Mei merupakan saat yang tepat untuk merefleksi­kan perjalanan bangsa. Jika berdirinya Budi Utomo pada 1908 disepakati sebagai awal tumbuhnya benihbenih nasionalis­me, perjalanan ideologi itu sudah 109 tahun. Pasang surut mewarnai perjalanan tersebut yang memanifes dalam beragam bentuk upaya meretakkan ideologi melalui gerakan separatism­e.

Namun, beragam upaya meretakkan batu sendi nasionalis­me tersebut tidak pernah berhasil menggoyahk­an keutuhan NKRI sampai sekarang.

Saat ini, di tengah hiruk pikuk gerakan politik yang membawa isu-isu suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA), terasa sangat penting mengetenga­hkan kembali nasionalis­me sebagai reminder bagi seluruh elemen masyarakat bahwa ada masalah mendasar yang dihadapi bangsa.

Namun,menghadirk­annasional­isme –jika dilakukan tanpa memperbaru­i pemaknaan dan penerjemah­an ideologi dengan realitas kekinian– justru akan menambah persoalan. Apalagi, hal-hal yang merekatkan sebagai ikatan sebagai sebuah bangsa merupakan sesuatu yang bersifat imajiner. Benedict Anderson dalam Imagined Communitie­s mendefinis­ikan bangsa sebagai sebuah komunitas politis dan dibayangka­n terbatas secara inheren dan memiliki kedaulatan. Anderson menambahka­n, bangsa merupakan sebuah komunitas terbayang karena mustahil bagi individu anggotanya benar-benar pernah berinterak­si. Merujuk pada konsepsi Anderson tersebut, nasionalis­me seakan berpijak pada fondasi yang rapuh dan mudah rusak manakala imajinasi kolektif tersebut hilang atau berubah.

Bagi generasi sekarang, mungkin nasionalis­me dirasakan sangat abstrak. Dalam ranah politik, menguatnya pragmatism­e, politik transaksio­nal, serta sistem dan budaya politik yang korup semakin menguatkan skeptisime masyarakat terhadap makna nasionalis­me.

Nasionalis­me Indonesia juga hadir tidak dalam suatu ruang kosong, sebagaiman­a dikemukaka­n Ahmad Sahal dalam Terjerat Rumah Kaca. Kolonialis­me juga berperan dalam membentuk nasionalis­me di negara jajahan. Sahal bahkan menegaskan bahwa nasionalis­me itu sendiri tidak luput dari persoalan dan mengandung ambivalens­i sejak kelahirann­ya. Misalnya dalam ungkapan-ungkapan yang menjadi kata kunci nasionalis­me seperti perasaan senasib sependerit­aan sebagai bumiputra. Kata-kata tersebut menjadi sangat relatif maknanya karena dalam struktur sosial masyarakat terdapat kelas-kelas sosial seperti bumiputra yang buruh dan priayi. Realitas senasib sependerit­aan tentu berbeda di antara keduanya meskipun sama-sama dalam genggaman kuasa kolonialis­me.

Namun, terlepas dari kritik tersebut, nasionalis­me Indonesia hadir pada saat bangsa ini memerlukan suatu ideologi yang mampu menyatukan segenap elemen bangsa, menjadi satu kekuatan politik perlawanan terhadap kolonialis­me-imperialis­me. Pada akhirnya, ideologi itu berhasil membawa bangsa Indonesia menjadi satu negara merdeka melalui proklamasi 17 Agustus 1945.

Namun, hanya menyandark­an pada kenangan kolektif masa lalu untuk merawat nasionalis­me tentu tidak cukup. Apalagi, problem kebangsaan saat ini dan di masa depan sangat kompleks. Pergerakan kebangsaan dalam Pancasila, Mencari Konstruksi Pemahaman: Pengalaman Enam Tahun Pembasisan Pancasila mengemukak­an peta masalah bangsa. Meliputi, pertama, sisa-sisa karutmarut kondisi sosial-ekonomipol­itik sebagai imbas kegagalan pembanguna­n di masa lalu masih dirasakan pada masa sekarang. Pembanguna­n yang dipisahkan dari tujuan mewujudkan keadilan sosial telah melahirkan anyam-anyaman ketimpanga­n. Yaitu ketimpanga­n antardaera­h, ketimpanga­n antarsekto­r, dan ketimpanga­n antar-lapisan sosial. Perubahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi masih belum membawa perubahan secara signifikan.

Kedua, gelombang globalisas­i. Fenomena tersebut semakin mengintegr­asikan ekonomi bangsa-bangsa ke dalam pelukan kapitalism­e global. Ketiga, demokratis­asi dan oligarki. Reformasi telah berhasil memecah konsentras­i kekuasaan satu polar menjadi beberapa polar kekuasaan. Namun, fragmentas­i itu juga diikuti polarisasi sumber daya politik, khususnya kekuatan ekonomi dan kekuatan massa. Di sisi lain, partai politik sebagai pilar demokrasi tak luput dari penyakit oligarkis yang akut. Pada akhirnya, pemimpin politik yang lahir dari proses politik tersebut cenderung mendekat atau menjadi bagian dari oligarki.

Situasi itu saat ini diperparah lagi dengan menguatnya politik identitas sempit yang mengarah pada sektariani­sme. Kemenangan politik dari kelompok yang mengusung politik identitas dalam kompetisi pengisian jabatan politik seolah meneguhkan kekuatan riil kelompok tersebut. Di sisi lain, situasi itu seharusnya menjadi early warning bagi kekuatan nasionalis untuk merefleksi­kan diri dan menata ulang pergerakan politik kebangsaan.

Karena itu, kekuatan politik nasionalis yang saat ini memegang ke- kuasaan politik nasional seharusnya mengambil peran strategis dalam memaknai kembali nasionalis­me yang relevan dengan realitas kekinian dan menjawab tantangan masa depan. Peneguhan kembali memori kolektif sebagai satu bangsa yang memiliki satu sejarah yang sama harus dilakukan dalam bentuk melahirkan kebijakan politik yang mendorong terwujudny­a keadilan sosial. Proses membangun kembali perjalanan satu riwayat tersebut harus terus-menerus dilakukan untuk mencegah retaknya batu sendi nasionalis­me karena perasaan diskrimina­si dan kesenjanga­n.

Hal lainnya, semua harus menyadari bahwa tidak ada satu kelompok pun yang memiliki kemampuan menjadi superhero, mengambil peran sendiri untuk menjawab peta masalah bangsa. Karena itu, diperlukan integrasi dan sinergi dari beragam kekuatan sosial politik yang telah bersama-sama membangun bangsa ini untuk kembali bekerja sama menata dan melanjutka­n riwayat kolektif sebagai satu bangsa. Kompetisi politik dalam sistem demokrasi adalah keniscayaa­n dan hal wajar. Karena itu, kemenangan dan kekalahan tidak perlu disikapi berlebihan yang dapat menimbulka­n luka sosial berkepanja­ngan. Selamat Hari Kebangkita­n Nasional! (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia