Sempat Ditentang Keluarga, Tempat untuk Curhat
Menularkan ilmu kepada anak berkebutuhan khusus (ABK) butuh ketelatenan dan kesabaran. Tak heran, sedikit yang bersedia mengajar mereka. Namun, hal itu tak berlaku bagi Dwike. Pada usianya yang masih 23 tahun, dia memutuskan mengajar di sekolah luar biasa
MEMASUKI areal SLB negeri yang terdiri atas sekolah menengah pertama luar biasa (SMPLB) dan sekolah menegah atas luar biasa (SMALB), suasananya tampak sepi. Sebab, para siswa sedang mengikuti ujian sekolah (US).
Wartawan koran ini mencari Dwike, guru sekolah tersebut. Karena Dwike belum bisa ditemui, tengah mengajar, saya menunggunya di sebuah ruang tamu. Di tempat itu, berjejer beberapa penghargaan atas prestasi para siswa luar biasa di sekolah di Jalan Ir Soekarno, Kelurahan Sentul, Kecamatan Kepanjenkidul, Kota Blitar.
Tak lama kemudian, muncul guru yang ditunggu, Dwike. Dia menghampiri saya dengan senyum menyapa.
Dwike adalah guru muda di kelas tinggi, baik SMPLB dan SMALB. Dia mengajar siswa tunadaksa dan tunanetra. Dua spesifikasi siswa dengan cacat pada fisik. ”Untuk otak, memang cenderung baik. Bahkan, ada yang di atas rata-rata. Jadi, penalaran mereka lebih baik daripada tunagrahita,” terang Dwike.
Bagi dia, mempertahankan memilih berkecimpung dalam pendidikan luar biasa tidak mudah. Apalagi, awalnya, dia ditentang orang tua dan keluarganya.
Hanya karena kegigihannya, dia bisa mendapatkan sarjana pendidikan dengan nilai yang baik. Dwike langsung diterima di salah satu SLB di Kota Blitar.
Dia memutuskan mengajar di sekolah tersebut karena merasa tak tega ketika melihat ABK tak mendapatkan pendidikan. Selain itu karena di masyarakat masih ada diskriminasi dan penyisihan.
Para keluarga akhirnya memercayai bahwa menjadi pendidik ABK itu merupakan kebanggaan tersendiri. ”Dulu keluarga sempat khawatir karena yang diajar ABK. Tentu mereka mempunyai karakter yang sangat berbeda dari siswa pada umumnya. Saya tidak menggubris dan terus menorehkan prestasi guna meyakinkan keluarga,” ucap guru yang akrab disapa Dwi tersebut.
Berawal dari rasa kepeduliannya terhadap ABK, yang kebetulan ada di lingkungan rumahnya, saudaranya, Dwi tergerak untuk membantu mereka. Yakni, mendidik ABK dengan bekal ilmu yang dipelajarinya di universitas.
Tantangan utama mengajar anak ABK, lanjut Dwi, yakni sulitnya kali pertama mengenal orang baru. Siswa kadang merasa takut ketika didatangi orang baru.
Namun, ungkap dia, dengan pende- katan yang sering dan baik, guru baru akan bisa diterima. ” Tapi, rata-rata ABK, jika diberi pengertian, cenderung mengerti,” tutur lulusan Universitas Negeri Malang (UM) jurusan pendidikan luar biasa tersebut.
Kelas rendah, terutama tunarunggu dan down syndrome atau cacat genetik sejak lahir, harus selalu ekstra. Terutama dalam memberikan pengajaran harus menguasai metode pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan. Lebih banyak pembelajaran mengenalkan lingkungan sekitar.
Untuk guru baru, pendekatan terhadap murid berkebutuhan khusus memang harus ditekankan. Artinya, bukan hanya di dalam kelas, tapi juga saat istirahat. Dengan begitu, oleh para ABK, dia sering dijadikan teman untuk curhat.
Dwi menyatakan, anak-anak biasa menceritakan pelajaran hingga kebutuhan pribadi. (*/ziz/c24/diq)