Jawa Pos

Mencegah Dualisme Sistem PPDB H

-

ASIL unas SMP, MTs, dan sederajat sudah diumumkan. Setelah tidak lagi menjadi penentu kelulusan siswa, pro-kontra tentang unas pun mereda. Namun, sebagian daerah masih memburu prestise. Meraih nilai tinggi dengan segala cara. Salah satunya, memilih unas berbasis kertas dan pensil (UNPK). Padahal, bukan rahasia lagi bahwa UNPK paling mudah dicurangi.

Di sisi lain, kabupaten/kota yang lebih berpikir maju memilih menempatka­n integritas sebagai misi utama. Persentase sekolah yang mengikuti ujian nasional berbasis komputer (UNBK) lebih tinggi daripada UNPK.

Jika asumsi tersebut benar, pro-kontra soal unas bisa muncul lagi. Hal itu terjadi seiring dengan rencana dinas pendidikan provinsi yang menggunaka­n nilai unas semata sebagai parameter utama penerimaan peserta didik baru (PPDB) SMA dan SMK negeri.

Sistem itu dirasakan tidak adil. Sebab, jika nilai siswa peserta UNPK lebih tinggi daripada peserta UNBK, kesempatan mereka masuk ke SMA/SMK negeri bakal lebih terbuka. Sebaliknya, siswa peserta UNBK, yang bersusah payah meraih nilai dengan jujur dan integritas tinggi, terancam tersisih.

Selama ini, dinas pendidikan kabupaten/ kota sudah menerapkan jaring seleksi yang dinilai adil. Yaitu, berupa tes potensi akademik (TPA). Hasilnya dipadukan dengan nilai ujian nasional (unas). Ada pembobotan tertentu dengan parameter lain. Gabungan nilai tersebut setidaknya mampu memenuhi asas keadilan dan kesetaraan dalam PPDB.

Akankah sistem gabungan nilai tersebut masih diterapkan kabupaten/kota dalam PPDB jenjang SMP? Jika iya, akan ada dua sistem yang berbeda. Perbedaan sistem PPDB itu bisa melahirkan ketidaksin­kronan antara provinsi dan kabupaten/kota.

Tentu saja, yang menjadi korban adalah siswa dan orang tua siswa. Betapa bingung mereka. Ada dua sistem PPDB dalam satu daerah yang sama. Prinsip transparan­si dan akuntabili­tas akan tercederai. (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia