Nigel Farage Terseret Skandal AS-Rusia
Soal Paris Accord, Sikap AS Belum Jelas
WASHINGTON – Biro Investigasi Federal AS (FBI) menarget orang baru dalam investigasi TrumpRusia. Bukan warga AS atau Rusia, melainkan warga negara Inggris. Nigel Farage, mantan ketua United Kingdom Independence Party (UKIP), disebut-sebut punya keterkaitan dengan skandal yang juga menempatkan nama menantu Presiden AS Donald Trump, Jared Kushner, dalam papan target penyelidikan FBI.
”Nigel Farage adalah person of interest dalam penyelidikan FBI soal hubungan istimewa Rusia dan Presiden Trump.” Demikian laporan The Guardian yang kemarin langsung memantik kehebohan di Inggris. Sebagai orang yang masuk radar investigasi FBI, Farage memang belum tentu bersalah atau terlibat dalam skandal yang kini menjadi perbincangan hangat masyarakat internasional tersebut.
Surat kabar Inggris itu menambahkan bahwa status Farage dalam investigasi tersebut masih target penyelidikan. ”Bukan tersangka,” kata sumber The Guardian. Farage memang kenal baik dengan Trump. Dia bahkan sempat sowan ke Trump Tower tidak lama setelah pemilihan presiden (pilpres) AS usai. Farage juga terlihat dalam deretan tamutamu istimewa Trump pada hari pelantikannya Januari lalu.
Meski demikian, dia membantah punya hubungan khusus dengan Rusia dan Trump. Atau, tahu tentang hubungan tidak lazim tersebut. ”Saya tidak percaya semua ini terjadi pada saya. Saya tidak ada kaitannya dengan itu semua. Saya belum pernah ke Rusia. Saya juga tidak pernah berbisnis dengan Rusia,” tegasnya. Tapi, belakangan Farage terlihat akrab dengan Garry Kasparov, politikus Rusia.
Sementara itu, Trump kemarin sibuk mempersiapkan diri untuk mengumumkan sikap AS terhadap Paris Accord. Sejak masih menjadi calon presiden (capres) Partai Republik, Trump menyatakan bahwa dirinya tidak setuju dengan isi Paris Accord. Begitu terpilih sebagai presiden, dia langsung mengagendakan untuk mundur dari kesepakatan tersebut. Tapi, rencana presiden ke-45 Negeri Paman Sam itu ditentang oleh banyak kalangan dari dalam pemerintahannya.
Maka, rencana untuk mening- galkan Paris Accord yang didukung 195 negara lainnya itu terpaksa mundur. Bahkan, sampai 100 hari pertama kepemimpinannya terlewati. Hari ini WIB, Trump baru mengumumkan keputusannya. ”Saya sudah mendengar banyak masukan dari sejumlah besar orang tentang dua-duanya,” kata pengganti Obama tersebut tentang sikap AS terhadap Paris Accord.
Meski Trump belum buka mulut, media AS meramalkan bahwa suami Melania Knauss itu bakal tetap mewujudkan ambisinya untuk hengkang dari Paris Accord. Apalagi, reaksi sekutu-sekutu AS di G7 terhadap argumentasi Trump soal perubahan iklim tidaklah positif. Kemarin negara-negara Eropa masih berusaha mengajak AS bertahan dalam Paris Accord.
”Tiongkok dan Uni Eropa (UE) sepakat untuk tetap menerapkan kesepakatan yang sudah tertuang dalam Paris Accord, apa pun yang terjadi,” kata salah seorang petinggi UE dalam jumpa pers Rabu (31/5).
Sebagai negara penghasil emisi karbon terbesar kedua setelah Tiongkok, peran AS dalam Paris Accord sangat signifikan. Dalam kesepakatan yang tercapai sekitar 18 bulan lalu itu, Obama berjanji untuk menekan emisi gas rumah kaca di AS hingga 28 persen pada 2005. Namun, Trump yang meyakini perubahan iklim sebagai hoax semata tidak ambil pusing tentang semua itu.
Ketidakpedulian Trump terhadap dampak perubahan iklim itu juga membuat Rusia geram. Kemarin Kremlin menyatakan bahwa Paris Accord bisa berantakan meski hanya ditinggalkan oleh satu pendukungnya. (AFP/ Reuters/BBC/hep/c6/any)