Calon Manunggal dalam Pilkada
CALON tunggal dalam pilkada serentak menjadi sorotan khusus. Dalam evaluasi pilkada 2017 lalu, Dr Aang Witarsa Rofik, kepala Subdit Monitoring dan Evaluasi Kemendagri, menyatakan bahwa fenomena calon tunggal menunjukkan kurang siapnya parpol dalam menyiapkan kadernya sebagai calon kepala daerah ( jpnn.com, 3/6/2017).
Bahkan, Aang berharap fenomena calon tunggal tidak terjadi dalam pilkada serentak yang digelar di 171 daerah pada 2018 nanti. Sekalipun aturannya kini telah tersedia, perkara calon tunggal pada pilkada sejauh ini memang masih menyisakan sejumlah persoalan.
Gun Gun Heryanto, presidium Asosiasi Ilmuwan Komunikasi Politik Indonesia (AIKPI), dalam Media Indonesia (9/1/2017) menyoroti keberadaan calon tunggal sebagai sesuatu yang ironis dalam demokrasi. Menurut dia, hal itu ironis karena parpol mengabaikan ruang kompetisi pemimpin dalam pilkada.
Dalam telaahnya, Gun Gun melihat pilkada (1) bukan semata-mata urusan prosedural dan instrumental, tetapi juga harus menguatkan aspek substansialnya. (2) Pasangan lebih dari satu membuat adu konsep dan adu gagasan, ruang dialektika, serta menghadirkan sangat banyak panggung yang menguji kapasitas dan kapabilitas calon pemimpin daerah.
Lantas, bagaimana jika parpol sebagai pemegang kunci pilkada bersepakat atas asas musyawarah dengan menampilkan calon tunggal? Apakah harus ’’mengada-adakan’’ dengan membuat calon ’’boneka’’ agar tidak bercalon tunggal?
Sesungguhnya, berapa pun jumlah calon pasangan dalam pilkada, tidaklah masalah. UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, khususnya pasal 54C, secara jelas telah menetapkan aturan main dalam penetapan calon tunggal.
Lalu, apa masalahnya? Masalahnya, pilkada merupakan perwujudan proses demokrasi. Praktik demokrasi yang baik tentu tidak hanya bersifat prosedural dan instrumental, melainkan juga substansial.
Pilkada 2017 yang diikuti hampir 75 persen pemegang hak pilih, menjadi ujian besar bagi parpol. Reputasi parpol akan menjadi pertaruhan besar dalam menjalankan praktik demokrasi di Indonesia. Fenomena Calon Tunggal Meski belum bisa disebut tren, memang terjadi kenaikan jumlah pilkada dengan calon tunggal. Pada pilkada serentak 2015, terdapat tiga daerah penyelenggara, yakni Kabupaten Blitar, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Timor Tengah. Pada 2017, tercatat ada sembilan daerah yang hanya diikuti satu pasangan calon, yakni di Tebingtinggi, Sorong, Tulang Bawang Barat, Pati, Landak, Kota Jayapura, Maluku Tengah, Kabupaten Buton, dan Tambrauw.
Perlu dicatat, sembilan calon tunggal di pilkada serentak 2017 tersebut adalah para petahana. Itulah yang juga dianggap masalah. Sudah calon tunggal, petahana lagi! Bisa diprediksi, paslon tunggal tersebut akan menang dengan gampang.
Kalangan pegiat demokrasi mengkritik fenomena tersebut. Sebab, dengan ’’dominasi’’ pencalonan tunggal dalam pilkada, rakyat tidak diberi kesempatan memilih. Tidak ada ruang kompetitif yang fair dalam rekrutmen pemimpin. Jika kemudian semua parpol berkoalisi menjadi satu (tunggal), hak itu juga bisa dipandang sebagai upaya meniadakan keberagaman kehendak rakyat.
Pada sisi lain, para pengaju calon tunggal biasanya berprinsip pada asas musyawarah untuk mufakat. Rujukkannya demokrasi dengan karakter sosial budaya Indonesia. Tameng yang dipakai adalah sila keempat Pancasila, yakni Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Logika pengkritik dan pengaju calon tunggal, keduanya bisa diterima. Karena itu, yang bisa menjadi objek penting soal pencalonan pemimpin terletak pada peran partai politik selaku pemegang otoritas perekrut pemimpin.
Pada konteks inilah, parpol harus bisa menjelaskan secara gamblang kepada rakyat atas semua keputusannya. Parpol seyogianya bisa menjelaskan prosedur baku rekrutmen pemimpin, menyediakan instrumen yang bisa melibatkan rakyat, dan mengakomodasi secara substansial kehendak rakyat. Pemimpin yang Manunggal Dalam pandangan saya, calon tunggal, dual, trial, maupun lebih tidaklah masalah. Toh, aturan mainnya sudah ada. Perkaranya, apakah aturan main tersebut telah dijalankan secara sungguhsungguh (substansial)?
Kesubstansialan itu bisa diukur dari peran parpol dalam menjalankan fungsinya bagi rakyat. Meriam Budiarjo (1986) mendeskripsikan, ada 4 fungsi parpol. Yakni, parpol sebagai sarana komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik, dan pengatur konflik.
Sejauh ini, saya masih melihat adanya kesenjangan antara rakyat dan parpol. Setidaknya, sebagai orang yang mengamati dunia komunikasi politik, terlihat parpol tidak secara kontinu menyelenggarakan komunikasi politik. Bahkan, meski tidak semua, parpol cenderung hanya hadir di kala pemilihan.
Jarak komunikasi dan relasi parpol dengan rakyat itulah yang kemudian membuat rakyat bermain dalam ruang instan yang bersifat transaksional. Anda butuh? Saya jual (suara). Itu tentu perkara yang tidak benar dan menyalahi esensi demokrasi.
Keterasingan hubungan antara parpol dan rakyat kiranya memerlukan jawaban. Parpol seyogianya membuat ruang komunikasi publik yang bisa menjembatani kepentingan di antara keduanya.
Jika ruang komunikasi itu terwujud, dampaknya mendorong percepatan kebersamaan dan sekaligus meminimalkan konflik. Dengan demikian, parpol bisa meyakinkan rakyat dan bisa membangun kontinuitas kepemerintahan yang demokratis.
Sebagaimana kata Hans Kelsen, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Yang melaksanakan kekuasaan negara adalah wakil-wakil rakyat yang terpilih. Di mana rakyat telah yakin bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan dalam melaksanakan kekuasaan negara.
Lebih dari perkara calon tunggal dalam pilkada, sejatinya tugas penting parpol dan calon pemimpin ke depan adalah bisa memanunggalkan diri, melebur dalam kehendak rakyat. Itulah sejatinya demokrasi! (*) *) Dosen ilmu komunikasi FISIP Universitas Airlangga