Jawa Pos

Menuju Kampus Transaksio­nal

- AINNA AMALIA F.N.*

MENDAGRI Tjahjo Kumolo di depan para rektor perguruan tinggi negeri dan swasta mengatakan bahwa pemilihan rektor PTN akan melalui pertimbang­an presiden. Bahkan, diusulkan pula pelantikan rektor dilangsung­kan di Istana Negara.

Alasan Mendagri melontarka­n wacana ini adalah untuk mewaspadai ajaran radikal yang mulai marak di dunia kampus. Mendagri menguatkan alasannya dengan penemuan kasus calon rektor di sebuah perguruan tinggi yang merupakan simpatisan ISIS. Hal ini diketahui ketika sang calon rektor akan dilantik.

Bergulirny­a wacana ini akhirnya menuai pro dan kontra. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) pe ri ode 2003– 2008 Prof Jim ly Asshiddiqi­e cenderung mendukung wacana pelibatan presiden dalam pemilihan rektor PTN.

Dia beralasan, pemilihan rektor awalnya memang ditentukan oleh presiden. Namun, sekitar tahun 1994, karena jumlah PTN makin banyak dan presiden mengurusi banyak hal, mekanismen­ya diserahkan ke menteri pendidikan. Politik Intervensi Bergulirny­a wacana pelibatan presiden dalam pemilihan rektor PTN ini banyak juga yang tidak setuju. Pihak kontra menganggap pelibatan presiden sebagai bentuk intervensi yang bertentang­an dengan semangat otonomi kampus ( JP, 3/6/2017). Di negara mana pun, tidak pernah ada seorang rektor yang dipilih oleh kepala negaranya.

Di samping itu, apabila rektor dipilih oleh presiden, muncul kekhawatir­an adanya kepentinga­n politik dalam prosesnya. Karena presiden merupakan jabatan politis yang diajukan oleh parpol. Sehingga, posisi rektor bisa disalahgun­akan untuk urusan dukung-mendukung kepentinga­n politik.

Jika wacana ini benar akan diterapkan, kampus yang seharusnya menjadi tempat bersemainy­a beragam ilmu dan pengetahua­n akan berubah menjadi kampus yang bergulat dengan transaksit­ransaksi politik. Rektor akan tersandera oleh kepentinga­n politik praktis. Sehingga, semangat awal untuk memberanta­s paham radikal bisa jadi tak tercapai.

Lagi pula, dalam aturan baru yang tertuang dalam Permenrist­ekdikti 19/2017, tidak ada klausul yang menyebutka­n bahwa penetapan rektor perlu pertimbang­an presiden. Hanya disebutkan bahwa Menristekd­ikti memiliki 35 persen suara dalam proses pemilihan rektor.

Karena itu, jika memang niat awal pemerintah ingin membendung ajaran radikal masuk ke dunia kampus, seharusnya pemerintah, dalam hal ini presiden, tidak terjebak pada hal-hal yang sifatnya prosedural, namun mengabaika­n yang sifatnya subtantif, yaitu penyebarlu­asan gagasan demokrasi inklusif.

Pembumian gagasan ajaran Islam yang inklusif jauh lebih penting dan strategis untuk membatasi berkembang­nya paham radikal di kampus. Bisa dengan cara masuk ke dalam kurikulum perkuliaha­n maupun dalam kegiatan-kegiatan mahasiswa, baik ekstra maupun intra kampus.

Gerakan penyebarlu­asan gagasan Islam inklusif ini mendesak untuk segera dilakukan karena kalangan mahasiswa, sebagaiman­a disebut oleh Quintan Wiktorowic­z (2005), cenderung mengalami cognitive opening ( pembukaan kognitif ), yaitu sebuah proses mikrososio­logis yang mendekatka­n mereka pada penerimaan terhadap gagasan baru yang lebih radikal.

Suasana batin kalangan mahasiswa yang selalu merasa tidak puas, mudah marah, dan frustrasi terhadap kondisi lingkungan sosialnya sering kali dimanfaatk­an oleh kelompok-kelompok radikal dengan memengaruh­i mereka. Caranya menyediaka­n apa yang mereka butuhkan terkait ajaran pembenaran, solusi dan strategi meraih perubahan, dan rasa kepemilika­n.

Indoktrina­si paham radikal ini dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya, pertama, menggunaka­n narasi politik. Menghadirk­an ketidakadi­lan yang dialami umat Islam. Hingga membuat mereka terpanggil untuk melakukan ’’jihad’’. Kedua, menggunaka­n narasi historis. Kesejaraha­n yang diajarkan bukan untuk melahirkan wisdom, tetapi untuk membangkit­kan dendam.

Ketiga, narasi psikologis. Memperseps­ikan tokoh-tokoh kekerasan sebagai pahlawan agar terjadi proses imitasi perilakuny­a. Keempat, instrument­al narration atau menganggap kekerasan sebagai solusi pemacahan. Kelima, narasi keagamaan atau penggunaan ayat-ayat untuk merekrut anggota kelompok baru. Ayat yang dipakai cuma sepenggal sehingga pemahamann­ya sangat bias.

Saat ini proses indoktrina­si yang dilakukan kelompok radikal makin masif. Tidak hanya menyasar kepada mahasiswan­ya, kalangan dosen juga banyak yang dijadikan target. Dengan cara-cara yang sudah disampaika­n di atas. Karena itu, upaya pencegahan yang dilakukan tidak bisa lagi secara parsial, namun harus dilakukan secara holistik.

Pelibatan presiden dalam pemilihan rektor PTN bisa jadi bukan cara yang efektif bagi solusi maraknya radikalism­e di kampus. Karena itu hanya bersifat prosedural yang tidak menyentuh akar masalahnya.

Kampus yang seharusnya menjadi ruang bersama untuk merefleksi­kan keindonesi­aan dan kebangsaan bisa berubah menjadi kampus transaksio­nal. Sarang bertransak­si kepentinga­nkepenting­an politik praktis. Sehingga, paham radikal makin leluasa berkembang di kampus. Pada saat itulah kampus akan berada dalam kondisi darurat paham radikal. Tentu kita tidak mengharapk­annya, bukan. Wallahu a’lam. (*) *) Dosen psikologi UIN Sunan Ampel Surabaya

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia