Tersusun dari Barang Antik
Pada era ketika desain minimalis modern menjadi favorit hampir semua orang, hunian Wahyu Dwi Sari dan Mochamad Sudibyo yang kental dengan nuansa etnik menjadi standout. Sekilas, unsur kayu dan bata merah yang mendominasi membuatnya tampak seperti rumah jo
PASANGAN Sari dan Dibyo sama-sama hobi berburu barang antik. Juga, sama-sama jatuh cinta pada unsur etnik. Kesukaan tersebut dituangkan dalam hunian mereka yang berada di perbatasan Kota dan Kabupaten Malang. Bagian depan rumah terlihat mirip rumah joglo. Dinding bata ekspos berpadu dengan pintu gebyok atau kupu tarung dengan aksen kaca patri.
’’Tapi, bagian pagar dan lisplangnya ini sebenarnya ukiran Kalimantan. Karena bahannya ulin, cocok untuk outdoor,’’ kata Dibyo. Pemasangan pagar di teras rumah dan lisplang tersebut juga mirip rumah adat Betawi. ’’Mungkin lebih pas kalau disebut rumah Nusantara,’’ ujar Sari.
Bisa dibilang, hanya ruang tamu dan dapur yang punya unsur modern. Sisanya full bernuansa etnik dengan dekorasi barang antik. Hampir di setiap ruang ada barang yang punya cerita. Perabot antik yang rata-rata terbuat dari kayu bekas itu merupakan hasil berburu di pasar barang antik. Misalnya, lemari dan beberapa laci di rumah.
’’Bapak (Dibyo, Red) kebetulan punya langganan mebel di daerah Pandanwangi, Malang. Mereka menerima pesanan perabot dari bahan bekas dengan desain lama,’’ jelas Sari.
Selain itu, ada set kursi di ruang makan yang dibuat secara customized. Selain modelnya yang mirip kursi rumah zaman kakek-nenek kita, ada tegel kunci di bagian sandaran punggung. ’’Tegelnya ini yang bikin unik sekaligus mahal,’’ imbuhnya, lantas tertawa.
Sementara itu, pernak-pernik lain seperti lampu dan cermin merupakan hasil berburu di beragam kota. ’’Waktu ditugaskan ke luar kota atau kebetulan liburan, nemu barang bagus, biasanya saya langsung beli. Nanti cocok enggaknya, ya mix and match,’’ ujar Dibyo.
Pria yang bekerja di Bea Cukai Blitar itu menambahkan, tidak semua benda antik di rumah merupakan produk otentik.
Ada yang repro, seperti lampu gantung. Di antara tiga lampu, hanya yang di ruang keluarga yang asli jadul. Demikian juga lampu tempel yang mirip lampu di delman Jawa zaman dulu. Secara fisik, tidak ada perbedaan mencolok. Yang bikin beda, lanjut Dibyo, hanya harganya. Untuk yang repro, hanya dengan Rp 750 per piece, kita sudah bisa mendapatkan yang berkualitas bagus. Untuk yang benar-benar lawas dan antik, satuannya bisa mencapai Rp 10 juta.
Memiliki barang antik tentu harus siap dengan berbagai risiko. Mulai memperbaiki bagian yang cacat hingga sulit mencari padanan. Misalnya, yang dialami Sari dan Dibyo ketika mencari kasur untuk dipan antik. Keduanya memiliki dua dipan antik. Satu bergaya jengki warisan dari ibu Sari serta satu lagi four poster bed dengan tiang berukir.
Karena ukurannya tidak standar dengan kasur atau spring bed masa kini, mereka harus memesan secara khusus. Bahkan, untuk dipan bertiang itu, kasurnya harus berbahan lateks karena bagian alas dipan memiliki lekukan dan siku. Harganya relatif mahal.
Suasana khas rumah tradisional itu juga dipertahankan dengan pengaturan ventilasi dan jendela supaya cahaya dan sirkulasi udara maksimal. Di kamar yang terletak di depan, jendela dibuat lebar dan mengarah ke halaman untuk memaksimalkan cahaya masuk. Untuk kamar utama yang letaknya di belakang, ada jendela yang menghadap ke kolam ikan.
Sementara itu, ruang tengah tersambung langsung ke kolam ikan. Karena dindingnya menggunakan bata ekspos yang rawan meneruskan panas dari luar ruangan, Dibyo mengakalinya dengan mempertinggi langitlangit. Tinggi langit-langit ruang tengah mencapai 5 meter sehingga dari depan, bagian atap terlihat bersusun. ’’Meski tanpa AC atau kipas, suhu dalam rumah nggak panas,’’ kata Dibyo. (fam/c7/na)