Baca Doa, Bola Api pun Terasa Dingin
Pondok Pesantren (Ponpes) Sabilur Rosyad Al-Utsmani berdiri tepat di jantung kota yang padat penduduk. Ponpes tersebut menjadi salah satu pusat dakwah dan penjaga tradisi pencak silat.
GIRING. Tendang. Umpan. Dan, Gol...! Suara bocah-bocah yang sedang bermain bola api itu terdengar lantang. Mereka adalah santri Ponpes Sabilur Rosyad AlUtsmani. Keceriaan tampak begitu jelas. Terlebih saat menggiring bola api yang cahayanya menyinari ekspresi girang dan penuh antusias itu. Percikan bunga api sesekali mencuat saat bocah-bocah tersebut menendangnya dengan kaki telanjang. Tanpa sepatu atau alas apa pun. Mereka tak merasakan panas atau merintih kesakitan sedikit pun.
Bola api berasal dari bahan sederhana. Para santri mencari kelapa yang berukuran dan bentuknya menyerupai bola sepak. Kemudian, mereka merendam kelapa tersebut dalam minyak gas selama beberapa jam. Umumnya, perendaman memakan waktu lebih dari dua jam. Makin lama terendam, kelapa akan menyerap minyak dan terbakar dalam waktu lama.
Santri hanya memainkan bola api saat malam. Pada Ramadan, mereka kerap memainkannya setelah salat Tarawih dan mengaji. Mereka lebih sering memainkannya pada Sabtu malam. Terkadang mereka juga memainkannya ketika memasuki libur sekolah. Permainan itu memang bertujuan mengejar kegembiraan semata. Sambil menunggu waktu sahur tiba.
Tidak sembarang orang boleh memainkan bola panas tersebut. Sebab, kulit kaki bisa melepuh bila bersentuhan dengan bola api. Para pemain bola api umumnya adalah santri terlatih yang tergabung dalam perguruan pencak silat. Mereka telah mengantongi ilmu kanuragan. Santri mendapatkan pelajaran mistis. Misalnya, berpuasa selama beberapa hari, menjauhi makanan tertentu, dan mengamalkan doa-doa khusus.
Tak terasa panas dan lepuh sedikit pun pada kulit mereka. Meski lubang-lubang kecil timbul di bagian celana dan baju hitam karena tersulut bunga api. ”Seru. Gak sakit dan gak panas nih. Kaya main bola biasa,” ucap salah seorang santri, Victor Ramadhan. Meski telah berbekal ilmu kanuragan, para santri tak lantas lupa diri. Mereka memanjatkan doa dan memohon izin kepada Allah sebelum memulai permainan.
Pembina Perguruan Silat Sabilur Rosyad Al-Utsmani yang juga wasit permainan Taufiq Hidayat memimpin jalannya doa. Mereka membentuk barisan melingkar dengan mata terpejam. ”Apa yang menurut kita panas itu dingin. Dengan rahmat Allah, semoga kita diizinkan. Bismillahirahmanirahim,” ujarnya.
Doa yang berjalan dua menit itu membuka jalannya pertandingan. Selanjutnya, dua tim mengambil posisi masing-masing. Begitu bola api menyala, wasit melemparnya ke atas. Dua tim mulai berebut. Mereka menggiring bola tersebut ke seluruh penjuru lapangan dengan penuh keceriaan. Mereka berupaya mencetak gol. Sambil menunggu giliran bermain, santri lain terlihat meneguk minyak, lalu menyemburkannya pada batang kayu api yang sedang menyala. Semburan api yang memanjang pun muncul.
Pembina Ponpes Sabilur Rosyad AlUtsmani KH Amiruddin Mu’in menyatakan, tim silat beserta kesenian permainan bola api merupakan tradisi yang turun-temurun. Pihaknya melestarikan hal itu sebagai upaya menjaga tradisi dan budaya.
Perguruan Pencak Silat Sabilur Rosyad Al-Utsmani berdiri sejak 1977. Awalnya, pencak silat bertujuan menggaet warga sekitar agar kukuh memegang nilai-nilai agama Islam. Sebab, saat itu warga sekitar hidup dalam kubang kriminalitas. ”Kami tarik perhatian warga dengan atraksi silat,” jelasnya. Perguruan Pencak Silat Sabilur Rosyad Al-Utsmani mengadaptasi aliran silat yang gerakan-gerakannya turun-temurun. (jos rizal/c16/oni)