Lebih Tertantang Ceramah di Lapas
MAKALAH Ali Ibnu Abu Thalib yang membahas rasa takut kepada Allah dipilih Muhammad Fahri sebagai materi pengajian di Lapas Kelas II-A Sidoarjo Selasa (6/6). Dia mengajak para narapidana (napi) untuk memohon ampun dan semakin mawas diri dalam menjalani kehidupan. ’’Umat muslim wajib menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya,’’ ujarnya.
Menurut dia, sebaik-baiknya bekal akhirat adalah takwa kepada Sang Pencipta. Juga, selalu ikhlas menerima pemberian Tuhan. ’’Di bulan yang suci ini, mari bersama-sama memperbanyak ibadah,’’ katanya. ’’Tapi, bukan berarti terus-menerus tidur karena menganggapnya mendapat pahala,’’ tambahnya. Guyonan ringan itu spontan membuat suasana pengajian menjadi segar. Beberapa napi tampak tersenyum.
Fahri tidak asing dengan lingkungan Lapas Kelas II-A Sidoarjo. Enam tahun terakhir laki-laki 49 tahun itu rutin mengisi pengajian untuk warga binaan. ’’Hampir setiap pekan pasti datang, kecuali kalau ada halangan,’’ tuturnya.
Keterlibatannya dalam kegiatan spiritual lapas bermula pada pertengahan 2011. Sejak mengemban jabatan di Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sidoarjo, dia mendapat tugas mengisi pengajian di lapas. ’’Ustad dari luar sengaja didatangkan untuk mengisi pengajian. Digilir setiap harinya. Jadi, proses mengkaji ilmu agama tidak membosankan,’’ tutur pria yang juga ketua MUI Sidoarjo Cabang Tulangan itu.
Fahri merasa bangga bisa membagikan ilmunya kepada para napi. Memberikan tausiah kepada orang-orang yang tengah tersandung masalah hukum merupakan tantangan tersendiri. ’’Jelas ber beda dengan ceramah di luar,’’ ucap bapak tiga anak tersebut.
Warga Desa Kajeksan, Tulangan, tersebut mengatakan punya kiat tersendiri agar maksud ceramahnya bisa dipahami para napi. Yakni, memilih materi yang ringan dan menyampaikannya dengan selingan guyonan. ’’Dijelaskan secara sederhana saja. Kalau terlalu serius, jamaah justru tidak antusias,’’ ungkapnya.
Fahri yakin cara yang ditempuh bisa membuat hati para napi terketuk. Jadi, setelah bebas, mereka tidak akan mengulangi perbuatan melanggar hukum. ’’Harapannya tentu agar warga binaan bisa berubah menjadi lebih baik,’’ katanya.
Ustad di Pondok Pesantren (Ponpes) Darunnajah, Tulangan, tersebut percaya bahwa warga binaan sebenarnya bukan orang yang berhati jahat. Mereka berurusan dengan hukum karena suatu alasan. Misalnya, faktor kesengajaan lantaran tersudut kebutuhan, menjadi korban fitnah seseorang, atau justru karena tidak sengaja. ’’Dua alasan terakhir paling memungkinkan untuk cepat berbenah. Mereka pasti kapok kehidupannya terbatasi jeruji besi,’’ jelasnya. (edi/c15/ai)