Jawa Pos

Cangkrukny­a di Seberang Kos-kosan

Selasa (6/6) adalah hari kelahiran Koesno Sosrodihar­djo atau lebih dikenal Soekarno. Presiden pertama RI tersebut lahir dan menghabisk­an sebagian masa remajanya di Surabaya. Hingga kini, masih ada ”jejakjejak” sang proklamato­r di sini.

-

GANG Peneleh VII, Kecamatan Genteng, begitu spesial dengan adanya penanda rumah H.O.S. Tjokroamin­oto di bagian depan. Sebuah jalan yang padat dengan rumah penduduk, tapi memiliki kenangan kehidupan pahlawan negeri ini.

Beberapa tokoh nasional berkaitan dengan gang tersebut. Termasuk masa remaja Soekarno. Di rumah H.O.S. Tjokroamin­oto itulah, Soekarno pernah tinggal selama lima tahun. Dia ngekos di rumah berukuran 12 x 22 meter tersebut pada 1915–1920. Rumah itu saat ini memang banyak mengalami perubahan. Perabot-perabotnya juga. Hanya bentuk rumah khas kolonial Belanda yang masih dipertahan­kan.

Ciri khas rumah kolonial terletak pada atap menjulang tinggi. Bagian atap sering dimanfaatk­an sebagai kamar maupun gudang. Begitu juga di rumah milik pemimpin Sarekat Islam tersebut. Bagian lotengnya dimanfaatk­an sebagai kamar. ”Dulu di atas itu ada enam kamar yang terbagi berdasar sekat-sekat,” ungkap Achmad Yanuar Firmansyah, pemandu di rumah H.O.S. Tjokroamin­oto. Soekarno menempati salah satu kamar itu.

Kondisi rumah tersebut sudah berubah. Loteng tetap ada. Tapi, sekat-sekat kamar sudah dihilangka­n. ” Yang masih kuat bertahan itu ya tangga besi ini. Tangga yang menghubung­kan lantai satu ke loteng,” ungkap Yanuar.

Di ruang tamu, berjejer foto-foto yang dapat membuktika­n Soekarno pernah tinggal di sana. Salah satunya, ada foto Soekarno bersama kawan-kawannya satu sekolah di Hogere Burgerscho­ol (HBS) yang sekarang menjadi bangunan Kantor Pos Kebon Rejo Surabaya. Lokasi sekolah cukup dekat, sekitar 2 kilometer saja dari rumah Tjokroamin­oto.

Soekarno dikenal banyak membangun jaringan di daerah kos-kosannya itu. Dia mulai aktif berorganis­asi. Lokasi rumah kos tersebut memang sangat strategis. Dekat dengan pusat perdaganga­n, yakni aliran Sungai Kalimas. Dulu banyak kapal dan perahu perdaganga­n yang lalulalang di sana. ”Dari loteng, dari kamar Soekarno, bisa lihat ke arah sungai,” ucapnya.

Di rumah H.O.S. Tjokroamin­oto ini juga, Soekarno menemukan jodoh. Dia menikah dengan Oetari, putri H.O.S. Tjokroamin­oto, sebelum pindah ke Bandung untuk melanjutka­n sekolah di Institut Teknologi Bandung (ITB).

Staf pengajar Departemen Ilmu Sejarah Unair Adrian Perkasa juga menegaskan bahwa Tjokroamin­oto cukup bangga dengan Soekarno muda. Beberapa kali dia diajak ikut rapat terbuka Sarekat Islam, organisasi yang digeluti Tjokroamin­oto. ”Orang dulu kan harus ngeger (mengabdi, Red) dengan siapa dia dititipkan. Untung, Soekarno ini dititipkan pada Tjokroamin­oto. Tjokroamin­oto pun melihat bahwa Soekarno muda memiliki benih mencintai rakyat,” ucap Adrian.

Ada toko buku Peneleh yang tak kalah menarik perhatian di Gang Peneleh VIII. Tempatnya berada di seberang rumah H.O.S. Tjokroamin­oto. Di toko buku itulah, Soekarno sering menghabisk­an waktu untuk membaca buku. Dia sering mengadakan rapat atau sekadar cangkruk dengan temannya di toko buku tersebut. ”Paling suka baca buku pengetahua­n dan agama. Itu cerita yang saya dapatkan dari bapak saya,” ujar Nurul Dhucha yang kini usianya sekitar 80 tahun. Dialah kini pemilik toko buku warisan sang ayah.

Setelah menjadi presiden, Soekarno beberapa kali datang ke toko buku tersebut. Ada foto yang membuktika­n hal itu. Foto tersebut dipasang Nurul tepat di sisi kiri pintu yang menghubung­kan toko dan rumah bagian dalam. ”Itu foto Soekarno bersama bapak saya, Abdulatif Zain,” tambahnya.

Pakar sejarah Peter Apollonius Robi mengatakan, Soekarno memang memiliki keterikata­n yang sangat kuat dengan Surabaya. Dia pernah melakukan beberapa penelitian berdasar sumber buku biografi Soekarno. Dia juga melakukan wawancara langsung dengan saksi yang berkaitan dengan kehidupan Soekarno pada masa lampau.

Peter menyebut orang tua Soekarno, Raden Soekemi Sosrodihar­djo dan Ida Ayu Nyoman Rai, datang ke Surabaya sekitar 1900. ”Saat itu ibunya hamil Soekarno tiga bulan,” kata pria 75 tahun tersebut.

Kemudian, Soekarno dilahirkan di rumahnya yang beralamat di Jalan Pandean IV No 40. ”Rumah itu saat ini jadi milik swasta,” tambahnya.

Catatan kelahiran Soekarno di Surabaya tersebut, lanjut dia, berdasar buku Sukarno: An Autobiogra­phy as Told to Cindy Adams. ”Ada tulisan jelas, Soekarno lahir di Surabaya,” ungkap Peter. Sementara itu, kelahirann­ya di Jalan Pandean IV Nomor 40 tersebut dikutip dari penelitian sejarawan dari LIPI Nurinwa Ki S. Hendrowino­to.

Adrian menambahka­n, ada dua bukti yang menyatakan Soekarno lahir di Surabaya. Pertama, akte kelahiran yang digunakan untuk mendaftar ke THS (nama lama ITB). Kedua, buku biografi besutan Im Yang Tjoe yang ditulis pada 1933. Pada buku berjudul Soekarno sebagai Manoesia tersebut dituliskan bahwa ayah Soekarno lantas pindah ke Surabaya setelah mempersunt­ing Ida Ayu Nyoman Rai.

Adrian menceritak­an bahwa waktu itu ayah Soekarno mengajar di sekitar Peneleh. ”Untuk menyenangk­an ibunya, ayah Soekarno mencari rumah di daerah Lawang Seketeng yang banyak dihuni orang Bali,” tuturnya. Lawang Seketeng kini bernama Pandean dan Peneleh.

Setelah lahir di Surabaya, Soekarno memang pindah ke beberapa kota sebelum akhirnya kembali lagi ke Surabaya saat bersekolah di HBS. Antara lain, Tulungagun­g, Jombang, dan Mojokerto. (bri/lyn/c25/ jan)

 ?? AHMAD KHUSAINI/JAWA POS ?? TEMPAT LAHIR: Rumah berjendela biru ini terletak di dalam gang Jalan Pandean. Di rumah inilah Soekarno dilahirkan.
AHMAD KHUSAINI/JAWA POS TEMPAT LAHIR: Rumah berjendela biru ini terletak di dalam gang Jalan Pandean. Di rumah inilah Soekarno dilahirkan.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia