Radikalisasi dan Globalisasi Teror
SEBULAN terakhir, dunia diguncang serangkaian serangan teror di berbagai kota di sejumlah negara. Di antaranya, Marawi (22/5), Manchester (22/5), Bangkok (23/5), Jakarta (24/5), Kabul (31/5), London (3/6), dan Teheran (7/6). Melalui medianya, Amaq, Islamic State in Iraq and Syria (ISIS) mengklaim bertanggung jawab atas semua serangan yang menewaskan 377 orang tersebut.
Dalam pernyataannya atas serangan bom di Kampung Melayu, Jakarta, misalnya, ISIS mengklaim, ’’ The executor of the attack on the Indonesian police gathering in Jakarta was an Islamic State fighter’’ ( Reuters, 26/5/2017).
Jaringan teroris global itu ingin mengirimkan pesan perlawanan melalui rentetan serangan teror dalam waktu sekejap. Penembakan di Marawi dan bom bunuh diri di Manchester merupakan pesan kepada jaringan teroris di belahan dunia lainnya untuk bergerak.
Globalisasi informasi memudahkan penyampaian pesan itu secara cepat melalui pemberitaan media massa dan publikasi di media-media sosial. Tergerak oleh pesan itu, teror lantas ditebar di berbagai kota di sejumlah negara. Seiring dengan proses radikalisasi yang terus berlangsung dengan menumpang perkembangan globalisasi, tidak tertutup kemungkinan gelombang teror akan menyapu kawasan lain.
Pengaruh Globalisasi Globalisasi telah mendorong radikalisasi di berbagai kawasan dunia melalui dua proses berikut. Pertama, menurut Mary Kaldor (2006), globalisasi yang memaksakan universalisasi kultur mengakibatkan komunitas masyarakat terpecah belah dalam identitas sosial politik yang berbeda. Identitas seperti etnis, agama, dan ras dijadikan alat perlawanan sehingga kian memperluas konflik yang berujung pada timbulnya perang baru ( new war).
Berbeda dengan perang tradisional yang terorganisasi karena dilancarkan oleh negara, new war berjalan secara tidak terorganisasi dengan melibatkan simbol-simbol identitas untuk memecah integrasi. Karena itu, jaringan teroris selalu menggunakan simbol identitas keagamaan untuk memikat pengikut dan mengumandangkan perlawanan.
Kedua, menurut Jamal Nassar (2010), globalisasi telah memunculkan golongan masyarakat miskin baru yang dibuat frustrasi oleh sistem ekonomi global yang menindas mereka. Walaupun globalisasi meningkatkan kesejahteraan sebagian kalangan, pada saat bersamaan, globalisasi memarginalkan kehidupan banyak orang di negara berkembang. Karena tidak tahan dengan marginalisasi itu, mereka memilih jalan radikal melalui aksi teror melawan kekuatan-kekuatan dominan.
Pelaku terorisme cenderung berasal dari kelompok marginal yang identitasnya terpinggirkan. Melalui solidaritas dalam satu identitas yang dipropagandakan ISIS di medianya, mereka merasa terikat satu sama lain kendati tidak saling mengenal. Karena itu, serangan teror yang terjadi secara beruntun sebulan terakhir bukanlah sebuah kebetulan. Serangan sesungguhnya telah direncanakan dan tinggal menunggu momentum untuk dilancarkan secara bertahap dalam waktu berdekatan.
Teroris Bonceng Globalisasi Selain melawan globalisasi, jaringan teroris memanfaatkan globalisasi. Secara canggih, ISIS memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi untuk menyebarkan ideologi secara universal. Melalui jaringan media Al Furqan Institute for Media Production yang memproduksi propaganda berbasis web, ISIS berhasil menarik minat puluhan ribu orang dari berbagai penjuru dunia untuk bergabung dengannya.
Jaringan teroris dapat dengan leluasa memanfaatkan media untuk kepentingan mereka karena sesungguhnya media adalah sahabat baik teroris. Media televisi yang berkepentingan menyiarkan berita secepat mungkin kepada masyarakat dimanfaatkan jaringan teroris untuk memengaruhi komunitas internasional secara cepat dan murah.
Tampilan gambar visual dari efek aksi teroris semakin mengglobalkan ancaman teror. Penayangan fotofoto korban serangan teror yang mengerikan berpotensi menimbulkan ketakukan masal di masyarakat. Pemberitaan media tentang aksi jaringan teroris merupakan publikasi gratis atas tuntutan mereka.
Sementara itu, internet dimanfaatkan untuk merekrut anggota baru, terutama anak-anak muda galau yang mengalami krisis identitas dan dalam proses pencarian jati diri. Internet digunakan jaringan teroris untuk memberikan pelatihan daring tentang cara merakit bom.
Majalah Inspire yang diterbitkan Al Qaeda, misalnya, pernah memuat tutorial perakitan bom berjudul Make a Bomb in the Kitchen of Your Mom. Karena merakit bom secara otodidak, tak jarang bom tidak meledak secara sempurna. Contohnya, kegagalan Ivan Armadi Hasugihan, 18, dalam meledakkan bom bunuh diri di Gereja Santo Yosep, Medan, 28 Agustus 2016.
Sejalan dengan semakin intensifnya penggunaan media internet oleh anak-anak muda, tren perekrutan pengikut ke depan akan terus digencarkan jaringan teroris di dunia maya. Pola rekrutmen semacam itu berlangsung cepat, tanpa melalui indoktrinasi ideologi secara intensif. Biasanya, mereka yang terekrut memiliki kemampuan amatiran. Meski demikian, mereka tetap berbahaya dan sewaktu-waktu bisa beraksi tanpa diduga.
Karena itu, langkah pencegahan harus dilakukan dengan menggalakkan kampanye antiradikalisme melalui media digital yang melibatkan kolaborasi pemerintah dan semua lapisan masyarakat, termasuk menggandeng komunitas-komunitas muda. Hal itu penting dan mendesak dilaksanakan agar virus radikalisme lenyap dari kehidupan kita. (*) *) Dosen ilmu hubungan internasional Universitas Airlangga