Sandyakala
MAHASISWI asal Tulungagung ini rambutnya panjang hampir sepinggang. Sedikit berombak. Memak ngandan-andan. Ibarat bunga kelapa. Namanya Jendrowati. Kekasihnya Sastro, seorang mahasiswa beda jurusan tapi seangkatan. Sastro-Jendro dikenal sebagai Romeo dan Juliet-nya kampus berbunga itu.
Bila tiba sandyakala alias senja, Jendrowati suka sekali duduk di kursi anyaman rotan. Tepatnya di halaman kafe depan telaga kampus mereka. Guguran ungu bunga bougenville kerap menghinggapi rambutnya yang hitam kehijauan rada teriap-riap angin telaga.
Setiap langit memerah hingga menjelang jingga, teman-temannya sekampus selalu mengosongkan singgasana tersebut. Seakan mereka telah bermusyarawah-mufakat bahwa kursi bersejarah itu, di sandyakala, cuma khususon buat Jendrowati tanpa kudu melalui pemilu dan proses sikut-sikutan lainnya.
’’Nanti kamu pengin mas kawin apa, Jen?” tanya Sastro. Pemuda semi gondrong itu duduk di rerumputan samping Jendrowati sambil melemparlempar guguran kuntum bunga kacapiring ke telaga.
’’Apa saja, Sas. Heuheuheu... Asal jangan uang palsu,” Jendrowati memanja.
Mahasiswa-mahasiswi yang bersembunyi di balik tiang kafe, pohon cempaka, ketapang, dan lain-lain tak sabar menunggu episode yang mereka nantinantikan: adegan rutin Sastro menggamit tangan Jendrowati. Jen bangkit dari kursi rotannya. Lantas Sastro-Jendro berdiri bergandengan. Sejoli ini menjadi siluet berlatar senja.
Seorang mahasiswi tak mau lagi mengintip kemesraan itu. ’’Bosan!” alasannya. ’’ Endingnya sudah bisa ketebak.”
Ada dosen yang sampai membahasnya di ruang kuliah mahasiswi itu. ’’Zaman terus berubah. Hampir semuanya berubah. Tapi kalau tidak ada satu pun anasir yang tetap, ajek, dan rutin, manusia malah kelimpungan,” jelasnya.
Pak Dosen mengimbuhi bahwa kata ’’budak” boleh berubah jadi ’’buruh” atau ’’asisten rumah tangga”, tapi mesti ada minimal satu unsur yang tetap, yaitu matahari terbit dari timur. Kalau matahari ikut-ikutan pencitraan, ikut-ikutan jaim, berubah misalnya terbit dari utara, wah, mo- dyar orang-orang. Demikian juga nilai rupiah. Rupiah boleh pasangsurut. Rakyat yang menangis pun boleh tambah banyak atau tambah sedikit. Intinya, boleh berubah. Tapi dasar negara kita tetap. Yaitu, kabarnya, masih Pancasila.
Celetuk seorang mahasiwa di kelas itu, ’’Pak, siapa tahu mereka selalu bikin siluet berlatar sandyakala untuk memberi kuliah rutin kepada kita. Bahwa, biarlah kita semua hanya melihat mereka happy tanpa dapat melihat airmata yang mungkin tetes di antara keduanya.’’ So sweeeeeeet... Plok plok plok...
Memang tak dapat dimungkiri bahwa para mahasiswa dan mahasiswi besar kemelelehannya pada pasangan Sastro-Jendro. Kata orang bijak, suami-istri yang dipertemukan oleh jurusan yang sama cenderung garing, kurang romantis. Sastro-Jendro berbeda. Mereka lain jurusan tapi dipertemukan oleh passion maupun minat yang tunggal dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat, atau melalui UKM kampus dan sebagainya.
Kejutan terjadi. Ending SastroJendro bukan siluet gandengan tangan. Jendro ngamuk gegara Sastro tersinggung atas candaan Jendro agar mas kawinnya kelak bukan uang palsu.
’’Kita selalu kampanye, Sas, agar orang-orang mampu ngebedain sampah organik dan anorganik. Blusukan dua semester lebih! Tapi kamu sendiri malah ndak mampu ngebedain mana serius dan mana guyon. Kamu nih, ya, kek orang baru ‘’ ’mualaf’ jadi Pancasilais saja!” Jendrowati mengumpat Sastro. Mendadak ia akan beranjak meninggalkan tepi telaga, tapi mengaduh kesakitan. Kepalanya tertengadah kuat-kuat. Ujungujungrambutnyamenyelinappada anyaman rotan singgasananya. Sastro mengurai setiap rambut kekasihnya yang terselip-selip itu. Sehelai demi sehelai. Hingga mimi dan mintuno ini menjadi siluet berlatar senja. (*)